“Ci, Cici Chinese ya?” tanya dua pemuda tanggung rambut belah tengah dengan kaos hitam bergambar band lokal yang tak sempat gue lihat namanya.
Seperti kebanyakan masyarakat Tionghoa Jakarta pada umumnya, gue sedang merayakan siang Imlek kami dengan tradisi yang khas: ngemall, saat pertanyaan diluncurkan. Ponakan-ponakan sudah rapi jali berkostum Cheongsam mau membelanjakan angpao pertama mereka dengan lego dan tiruannya. Namanya juga turunan Cina.
Mendengar pertanyaan itu wajah gue langsung menegang. Mata yang nggak seberapa besar dipicing-picingkan. Kuda-kuda dipasang. “Iya,” gue menjawab dengan nada tinggi di depan. Defensif. Siap diikuti dengan, emang kenapa?
“Wah, selamat imlek ya Ci! Kionghi!” ujar keduanya hampir serempak, lalu dengan ceria seperti saat menghampiri, berlalu. Tidak menunggu angpao, tidak punya motif apapun mengucapkan selamat. Meninggalkan gue setengah ternganga, gini doang? Nggak perlu pasang bodi dan membela diri? Sesaat gue menarik nafas lega. Gue tidak dalam bahaya.
Gue kembali fokus ngantri giliran foto di selfie spot di lantai dasar mal, sambil memikirkan betapa mendalamnya trauma kami sebagai keturunan Tionghoa, dipanggil Cina.
Kalau dipikir-pikir lagi, what could go wrong? Gue ada di mall, yang lagi pajang replika pagoda tujuh tingkat sampai mentok di lantai atas. Rame pula. Kerusuhan massal berbau rasial, sangat sulit dibayangkan diawali dengan latar ceria semacam ini.
Seandainya terjadi name-calling seperti di Tanah Abang saat Pilkada DKI 2017 lampau, yang belain masih lebih banyak di sini. Lagipula so what kalau dipanggil dasar Cina, gue sudah tahu SOP-nya.
Tetapi tanpa disadari, tanpa dipertanyakan asal usulnya, dalam hal ini dipertanyakan ke-Cina-annya, tetap menjadi sebuah ketakutan tersendiri, bahkan bagi gue, yang selalu mencina-cinakan diri. Secara refleks gue menegang ketika pertanyaan itu diluncurkan. Sesaat gue merasa insekyur, apa eyeliner hitam arang gue sudah luntur?
Seolah-olah itu adalah awal dari sebuah investigasi tentang seberapa layaknya kami berada di negeri ini. Dan bahwa kita dalam posisi terancam, siap terusir, pas lagi asik-asiknya belanja miniso.
We cannot heal what we do not face, demikian pesan utama novel grafis Chinese Whispers karya Rani Pramesti tentang refleksinya sebagai keturunan Cina atas kerusuhan rasial 1998. Rasa takut itu masih ada. Entah hingga kapan lagi akan ada. Berkat dipaksa ganti nama, disuruh buat surat bukti kewarganegaraan, jadi korban kerusuhan massal, dan tentunya diseret-seret sebuah pilkada berbau SARA.
Dan fase pertama menghadapi trauma itu adalah mengakuinya. Bahwa memang penyebab rasa takut itu belum hilang. Tidak cukup dengan jargon, ‘jangan takut, udah nggak ada kok diskriminasi itu’. Kerusuhan rasial, politik identitas, itu nyata, benar terjadi, dan ada pihak yang dikorbankan.
Dalam beberapa hari lagi Indonesia akan merayakan pesta demokrasi. Sebuah hajatan, yang setiap kalinya keturunan Cina selalu deg-deg-an. Gue lagi nggak ya yang jadi bahan kampanye hitam dan dikorbankan? Dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya, penumbalan belum terjadi secara masif. Dan seperti sifat manusia Indonesia yang baik, kita mudah melupakan dan memaafkan.
Tetapi gue tahu luka yang dilupakan tidak bisa sembuh dengan sendirinya. Maka gue nulis lagi. Untuk halo-halo lagi pada ingatan yang mulai mengabur. Tentang kejahatan yang hingga kini tidak pernah diakui. Tentang korban-korban yang hingga kini cuma dianggap hasil konspirasi. Bahwa semua itu sungguh terjadi dan membuahkan trauma mendalam yang hingga kini belum kelar.
Meskipun, sebagai bagian masyarakat yang terlalu bucin sama negeri ini, gue juga tetap punya harapan. Di balik rasa deg-deg-syur yang terasa seperti ketika menerima pesan dari gebetan yang udah ngeghosting, ada desiran rasa lega juga menerima ucapan selamat dengan ceria dari pemuda tanggung yang jelas tidak beretnis Tionghoa.
Ada kehangatan ketika sebuah keluarga full jilbab, mengenakan luaran Cheongsam lalu berfoto di depan replika pagoda 7 tingkat tadi. It’s a celebration for all, seperti makan ketupat saat lebaran meski bukan Muslim, atau menerima kado sinterklas meski bukan Kristen. Dan Indonesia memang negara yang siap merayakan beragam acara itu.
So I too, have to acknowledge the fear, and work on it. Seperti gue berterima kasih kepada dua pemuda tanggung yang memperlakukan kecinaan gue dengan cara yang amat kasual, dan turut merayakannya.
“Terima kasih, ya,” gue menjawab tegas. Terima kasih telah membiasakan kata Cina seperti yang sebenarnya gue kampanyekan, terimakasih telah memberi lampu ijo bahwa perayaan ini baik adanya, terima kasih telah jadi bagian dari selebrasi ini, as a diverse nation.