China Renaissance

Gue melenggang di trotoar selebar lima meter, sambil menikmati sate ampela ayam bumbu pedes sepanjang 30 cm seharga 10 ribu Rupiah. Di kiri dan kanan, berjejer gedung-gedung pencakar langit berisi hotel mewah, pusat perbelanjaan dan perkantoran. Sepeda mengantri sabar di jalur khusus sepeda. Sedangkan Bentley, Jaguar bergaul dengan Wuling berhenti tertib di zebra cross ketika gue menyeberang.

 

Gue mengarah ke Stasiun MRT super modern yang bersih kinclong bak baru disikat Sunlight. Turut mengantri tertib seperti warga lainnya, yang semuanya tampil trendi dengan baju bermerk keluaran terbaru, warna-warna pastel, putih dan hitam. Sebelumnya, tentu gue sudah membuang sisa tusuk sate ampela tadi di tempat sampah khusus yang memisahkan sampah organik dan non-organik. Tidak ada yang salah buang, tidak ada yang buang sembarangan.

 

Tidak, gue tidak sedang berada di Singapura negara tetangga pujaan kita semua itu. Apalagi di kota-kota di Eropa yang kejayaan masa lampaunya semakin luntur. Gue di Guangzhou, salah satu kota di China. Demikian juga pengalaman gue ketika berada di Beijing, Shanghai, atau bahkan kota-kota sekunder mereka seperti Xian dan Shenyang.

Sesaat gue teringat mereka yang khawatir bakal diserbu tenaga kerja murah asal China. Gue terkikik kecil. Ge-Er amat sih nih negara gue takut Orang China kepengenan tinggal di Indonesia. Kalau gue warga negara PRC pasti nggak betah tinggal di negara lain! Kotanya mana ada yang secanggih dan sebagus kota-kota di China!

 

Gue harus mengakui, sebagai orang Indonesia pada umumnya, gue pun awalnya memandang sebelah mata peradaban China. Pengalaman gue empat tahun lalu mengunjungi Beijing, Shanghai, Qingdao dan Guangzhou tidak memberi impresi positif.

 

Baru naik pesawat saja sudah berantem serobot-serobotan, padahal di belakang mereka nggak ada orang lagi. Di atas pesawat, pramugari sibuk bolak balik mengingatkan warga China yang asyik mondar-mandir dan ngobrol sama tetangga dengan suara yang bikin lumba-lumba jadi budeg, saat pesawat baru mau take-off.

 

Begitu mendarat, gue disambut kabut tipis polusi yang ketika tersingkap, menampilkan sepasang suami istri pakai baju macam piala Oscar. Emas mengkilap ujung ke ujung. Dan tentu saja, yang paling ngetop, berdoa komat-kamit tiap kali masuk WC bahkan di mall mewah sekalipun, takut-takut ada ‘penampakan’ sisa pengguna sebelumnya.

 

Tapi nampaknya gue juga kurang piknik. Dalam rentang waktu yang cukup singkat itu, China sudah membangun begitu pesat, begitu maju hingga berada di sana, gue langsung merasa sebagai masyarakat miskin dari peradaban tertinggal.

 

“Berani-beraninya orang Indonesia menghina orang China!” cetus Oknum R saat kami selfie-selfie norak di distrik bisnis di Shanghai. Banyak bangunan baru tinggi menjulang. Disney punya menara jam sendiri di tengah-tengahnya. Bagi gue, ini adalah bisnis distrik terkeren di dunia.

 

Sudah tidak ada lagi fasilitas umum dekil dan belarakan. Infrastruktur diperbaiki hingga stasiun MRT di Xian terasa seperti baru dibuka plastiknya. Sebelum macet, kota Shenyang sudah membangun jalan dua tingkat dan sistem MRT terbaru, untuk persiapan pertumbuhan penduduk 10 tahun lagi. Sekarang, bahkan Singapura memesan gerbong MRT ke China. Teknologi terbaru, gedung tertinggi, kereta tercepat, semua ada di China.

 

Jika di Indonesia ada Revolusi Mental, di China ada Revolusi Toilet. Sebuah kampanye mengubah pola kebersihan rakyat China. Semua toilet dibetulkan, dibuat rapi hingga yang mau mengotori jadi malu sendiri. Seorang penjaga diupah untuk menjaga semua toilet.

 

Dan yang paling penting, perbaikan infrastruktur ini juga diikuti perbaikan sikap. Sudah tidak ada lagi orang China yang meludah sembarangan, Be-Ol nggak disiram atau anti-mainstream alias melawan arus di jalan.

 

China renaissance,begitu kami menyebutnya. Seolah-olah negara ini bangkit tiba-tiba, menyerukan revolusi kebudayaan, yang mengubah rakyatnya dari level savage menjadi manusia berbudaya, berteknologi tinggi dan selangkah lebih elit dibandingkan penduduk bumi lainnya.

 

Gue mengagumi sambil cenderung miris, mengingat nasib Indonesia. Bener deh, menertibkan Indonesia itu nggak ada apa-apanya. Nertibin orang China gak mungkin bisa pake mulut doang. Nggak ada yang tersinggung juga nggak ada yang nurut. Kalau perlu pakai capital punishment!

 

Di setiap stasiun MRT ada petugas yang memegang tongkat trisula. Mereka yang menyerobot, lawan arah, bawa barang berbahaya atau barisnya nggak lurus bakal dicucuk lehernya dengan tongkat ini. Nggak bisa berkutik dan harus nurut.

 

Guna menghindari mereka yang suka desek-desekan, sistem pintu MRT di China dibuat tidak bisa membal. Kalau sudah waktunya ketutup ya ketutup aja, bodoamat ada yang kejepit. Kalau tidak dibuat seperti itu, pintu MRT ga bakal bisa ketutup dan macet seluruh sistem kereta cepat!

 

Toa yang bergaung setiap saat menyerukan dilarang meludah dan dilarang membuang sampah sembarangan terasa tidak cukup. Gue membayangkan ada petugas khusus, berdiri di atas semi mimbar di taman umum. Kerjanya, mengawasi perilaku masyarakat dan menegur dengan toa raksasa. Eh itu yang lagi mau ngambil pager, nggak boleh! Balikin! Eh itu rumput nggak boleh diinjek! Wooi itu yang buang sampah sembarangan, ambil lagi sampahnya masukkin ke tong!

 

Tapi mereka menyadari bahwa itu adalah untuk kebaikan mereka, lalu menuruti pendidikan karakter yang ekstrim itu, dan akhirnya tampil menjadi manusia berbudaya. Tidak terbayang kalau revolusi ini terjadi di Indonesia. Demonya pasti berjuta-juta umat, atas nama perlakuan yang tidak manusiawi, manusia tiran, pencemaran nama baik, blahblahblah.

 

Padahal, orang Indonesia cenderung penurut, mau ikut aturan, selama dibimbing dan diawasi. Hanya dalam waktu 3 tahun pemerintahan Ahok, Jakarta dibuat manut sama aturan. Petugas parkir mau pakai mesin otomatis yang tidak mudah dikorupsi. Sungai tiba-tiba bersih. Pedagang kaki lima dibuat berjejer manis di tempat yang seharusnya.

 

Sayang, meski lebih berkesempatan jadi terdepan di dunia, orang Indonesia juga mudah kesinggungan, mudah terbakar isu, hingga akhirnya niatan memperbaiki martabat bangsa berakhir berantem aja.

 

Menatap pantulan gedung-gedung pencakar langit di sungai jernih Guangzhou, gue merenung sedih. Renaissance Guangzhou dimulai saat Asian Games tahun 2010. Pada tahun 2014 gue ke Guangzhou, gue masih menemukan sisa-sisa peradaban pra-reinasance. Gedung kumal ala-ala Penjaringan, dan seafood hidup dijual di teras bandara. Tapi di tahun 2018, Guangzhou sudah betul-betul hidup dalam masa post-renaissance.

 

Di Jakarta, Asian Games dilaksanakan bulan depan, tapi gue tidak bisa membayangkan Jakarta akan mendekati setidaknya kota tersier di China. MRT memang sudah 90% rampung, tapi apa gunanya jika dalam 1-2 bulan kembali kotor, tidak aman, dan tidak terawat.

 

Memang, masih ada manusia China yang yang doyan ngegerubuk sarapan buffet di hotel atau nyolong manggis di pameran. Mereka yang kita bilang masih hidup di era pra-reinassance. Tapi tanda-tanda perubahannya sudah ada, sedangkan di Jakarta belum.

“Bisa lah Gy, Jakarta juga jadi kayak Guangzhou!” Oknum R berseru semangat

“Hah? Gimana caranya?”

“Cari tahu siapa gubernur Guangzhou nih, kita tarik jadi gubernur Jakarta!”

 

Di balik sana Gubernur Guangzhou lagi ketawa-ketawa ngenye mendengar tawaran kami. Enak aja elu mau nyuruh-nyuruh gue benerin kota lu, ntar gue malah dipenjara. Mending gue beresin kota-kota lain di China, yang sudah siap mengalami era Reinassance! Elu mah masih pengen hidup di dark ages!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *