Pura-pura toleran

“Mbak, Markus Horison itu Islam apa Kristen, sih?” supir taksi memecah lamunan gue yang sudah berlayar ke pulau impian, saat memasuki gerbang Ancol untuk pergi tahun baruan di Pulau Kaliage.

“Hah? Kayaknya Islam, deh, Pak, kan suaminya Kiki Amalia, Kiki-nya Islam,” gue menjawab asal.

“Iya, saya juga pikir begitu, tapi kemarin anak saya yang umur tujuh tahun nanyain, papa, kok namanya kayak yang di alkitab, saya jadi bingung, saya jawab aja, ini Markus-nya lain, bukan yang di alkitab, tapi yang di Al-Quran.”

“Emang di Al-Quran ada Markus?”

Apalah arti sebuah nama, begitu kata pujangga. Nama bisa punya arti apa saja dan tidak mencerminkan apapun. Tentu saja, Shakespeare, si pujangga itu, hidup di jaman yang kurang majemuk.  Di jaman itu, orang-orang satu daerah tak punya ide nama-nama selain yang sudah populer di daerah. Orang Inggris namanya John, orang Makassar namanya Hassanuddin.

 

Manusia berbeda agama berbeda ras hidup di daerah yang sama, sambil sesekali bertemu dalam perang salib.Biarpun tidak suka manusia yang berbeda, mereka tidak perlu terlalu waspada menghadapi perbedaan, sehingga tidak perlu menunjukkan kebencian terlalu sering.

 

Sedangkan di era globalisasi semacam sekarang, manusia selalu diuji dengan kenyataan bahwa John dan Hassanudin bisa bertemu dalam dunia nyata dan saling jatuh cinta. Padahal, tidak ada revolusi yang mengubah sifat.  Manusia modern ini tetap punya sifat yang tidak berkembang dari abad lampau: tidak toleran dan tidak membaur.

 

Hanya karena ingin disebut beradab, manusia menyembunyikan sikap tak suka berbeda itu.Namun bukan berarti kecenderungan untuk membeda-bedakan itu hilang. Tetap saja terkadang sifat biadab membakar hidup-hidup atau merajam batu macam masa jahiliyah itu keluar, seperti insiden kriminal di Jawa yang baru terjadi.

 

Sedangkan dalam hidup sehari-hari, membeda-bedakan dilakukan dengan cara yang lebih rahasia, dengan melihat ‘pertanda-pertanda’ lalu diam-diam tidak mau bergaul, seperti kasus nama.

 

Nama dijadikan metode terpraktis untuk memilah-milah warga masyarakat tanpa perlu bertanya yang menyinggung, selain mengecek KTP. Kata pujangga yang lain, nama adalah doa. Tidak ada orang tua di muka bumi ini yang mengharapkan anaknya akan pindah agama. Maka seseorang hampir pasti diberi nama yang sesuai nafas agama yang dipeluknya. Nama mencerminkan identitas agama/ras.

 

Dan karena masih ingin memilah-milah berdasarkan agama/kesukuan, maka nama dijadikan penentu awal apakah sang empunya: a) bisa dibawa pulang tanpa menimbulkan  amurka orang tua, b) cukup jadi teman pertanda harmonisnya kehidupan antarras, c) (dalam kasus Jess anak pak supir) patut dijadikan idola sepak bola.

 

Seorang teman dari tanah Batak berdarah Kristen pernah mengomentari pacarnya dari tanah Pasundan, “Untung nama loe ga ada Muhammad-muhammad-nya ya, kalau ada, gimana caranya gue ngenalin loe ke nyokap gue?”

 

Demikian juga dengan stereotipe dan ciri-ciri keagamaan atau ke-ras-an yang lain. Daripada bertanya, mengklarifikasi langsung dengan bergaul dengan suku yang dicurigai sengkek, malah menggunakan stereotipe ini untuk berjaga-jaga waspada dan menjauh.

 

Padahal, tidak ngomoingin juga tidak menyembuhkan paranoid manusia dari abad lampau akan perbedaan, malah menimbulkan kesalahpahaman. Stereotipe yang tidak diklarifikasi langsung sering kali menyebabkan kerugian yang tidak perlu, seperti kehilangan peluang bisnis karena tak mau berdagang dengan suku tertentu.

 

Sedangkan pemisahan berdasarkan nama juga sering membuat masalah. Gara-gara globalisasi, kaidah penamaan menjadi semakin rancu. Impor media sudah memberi inspirasi baru pada orang tua akan nama-nama yang tidak berakar, membuat kekacauan tatanan dunia.

 

Seorang teman pernah salah PDKT lantaran pria yang dikenalnya punya nama Christian Natalio. Beliau bersorak gembira karena nama tersebut adalah nama yang sangat Kristen. Christian Natalio memang dinamai sedemikian karena lahir di hari Natal. Tapi Christian Natalio adalah seorang muslim.

 

Lebih parahnya, karena terbiasa menyembunyikan sifat tidak toleran, manusia modern jadi masuk kepercayaan palsu bahwa, we ARE tolerant. Kita menghormati kok, agama orang lain negara kita kan ada enam agama. Namun begitu melihat jemaah satu agama  yang punya cara doa beda saja langsung bergidik, ihh, kok ada mereka sih? Mereka kan bukan wakil agama kita, mereka kan kafir.

 

Atau, kita menghargai  hari besar umat lain kok, mereka ngerayain ya ngerayain aja, tapi kita nggak perlu ngasi selamat. Sedangkan dalam kasus nama,  keberagaman kita hargai kok, buktinya kita menerima manusia berbeda nama dalam timnas.. Tapi kalau memang segitu tolerannya, mengapa jadi persoalan siapa yang jadi idola sepak bola berdasarkan agamanya?

 

Dan karena tidak sadar bahwa tidak toleran, terus mengembangkan sikap itu bahkan menyebarkannya. Gue gak yakin si anak pak supir lahir dengan kemampuan memilih idola berdasarkan agama. Rasanya ada peran curi dengar dari tetangga dan handai taulan yang mempengaruhi. Cara memilih idola berdasarkan latar belakang ini diturunkan ke generasi penerus.

 

Why don’t we just talk about it? Daripada jadi masalah yang dianggap nggak ada tapi ternyata tetap ada? My own version, mungkin dengan ketak-ketik post ini, atau dengan buku terbaru, Excuse-Moi. Gue tidak bermaksud membela suku per suku, atau punya pandangan kebangsaan yang mendalam. Gue cuma ingin membiasakan diri ngomongin hal yang relevan bahkan di hidup anak berusia tujuh tahun sekalipun, namun selalu disembunyikan.

 

Gue tidak janji dengan ngomongin, sikap enggan berbeda itu akan langsung hilang. Dalam sebuah diskusi pluralisme, wakil salah satu aliran agama protes keras lantaran pembawa acaranya gay. Ia tidak sadar, bahwa uji pluralisme yang paling aktual sedang terjadi di ruangan itu..saat bertemu orang yang menjalani hidup tidak sesuai dengan ajaran agamanya..

 

Tapi setidaknya, setelah berbagai dialog pluralisme yang dihadiri gay, si tokoh agama mulai menyadari  bahwa rasa toleransi dan pemahaman terhadap sesuatu yang berbeda itu terbatas. Mungkin dari situ, ia jadi terbiasa melihat  (berantem) dengan perbedaan, dan malah bisa sungguh-sungguh menganggapnya tidak menjadi masalah.

 

Siapa tahu dengan begitu jemaat se-paroki bisa menerima keberadaan Pastor Muhammad Ibnu Fajar tanpa ia perlu menggunakan nama babtisnya. Dan Jess si anak pak supir tidak perlu bingung mau mengidolakan Markus Horison atau Irfan Bachdim.

 

Perjalanan singkat menuju dermaga tanpa disadari berakhir. Gue turun dari taksi dan melihat deretan kapal yacht yang ada di hadapan gue.

“Yang mana kapal kita?” gue bertanya.

“Yang Michael,” teman seperjalanan menunjuk sebuah kapal dengan nama di body-nya.

Seolah ketularan latah Jess, gue berkomentar, “wah, berarti kapalnya Kristen.”

 

 

PS: Kalau mau ikut untuk lebih terbiasa menyadari perbedaan dan pembedaan, join us on Thursday, 24th February 2011 jam 14-16.00 di Istora Senayan Jakarta (Kompas Gramedia Fair) untuk bedah buku terbarukyu, Excuse-Moi. Bakal ada pembicaraan seru (yang tidak hanya dari gue seorang) tentang SARA yang selalu seru!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *