Di Belakang Toa Kita Semua Sama

Ini akan jadi pagi yang tenang, gue membatin. Gue tengah berada di sebuah kota kecil di Sulawesi Utara. Memang sih, penginapan gue berdampingan dengan pasar. Tapi pasar ekstrim harusnya belum buka pagi-pagi. Paling banter kokok ayam jago kepagian, ditipu Roro Jonggrang, jika memang ada legenda sejenis di pulau ini. Tapi ah, jika pagelaran gaib semalam suntuk tidak membangunkan gue, apalagi bunyi-bunyi natural semacam itu.

Pukul 5 pagi.

“Pooji Soookoooorrr Kita Ucapkan atas Pageeee yang ceerah… Mari sooodaraa kita samboot dengan madah poojiaaann..” Diiringi kidung-kidung madah pujian yang disiarkan lewat toa di atas menara di tengah pasar itu.

Gue terbangun dari tidur yang baru gue awali dua jam sebelumnya. Tertawa tertahan, setengah geli, setengah kesal, menyadari ternyata, di belakang toa, kita semua sama…

Resep Kurus

“Gy kok loe bisa kurusan sih?”

“Gampang, gue makan ati.”

“Ah, gue juga makan ati, tapi malah jadi gendut!”

“Lah loe salah! Makan atinya pake nasi!”

Salah satu pertanyaan paling sering kuterima dari handai taulan media sosial adalah bagaimana gue bisa menyisihkan 15 kilo berat badan gue dari masa pandemi dalam kurun waktu kurang dari setahun.

Gue berupaya memberi tips yang sungguh-sungguh gue lakukan tapi memang tidak pernah punya dampak berarti pada kegembilan, seperti berenang setiap hari (suer beneran, tapi gue juga makan nasi goreng sepiring munjung tiap hari habis berenang), intermittent fasting (dari jam 10 pagi hingga jam 2 siang), maupun menjadi mangistarian (ini tentunya supaya dagangan gue tambah laku).

Setiap saran itu disambut tatapan skeptis penuh curiga seolah gue telah menyembunyikan rahasia pamungkas turun temurun dari selir tersayang Kaisar Dinasti Tang. Maka, hari ini, gue akan mencetuskan istilah diet gue yang sejati. Bersiap meniru dan dapatkan tubuh impian Anda! It’s calorie deficit diet.

Be Kind, Save Money: Matematika Kebaikan

Berapa harga sebuah kebaikan?

Bagaimana caranya membeli cinta?

Bisakah bertransaksi ketulusan?

 

Tidak ada uang yang sepadan dengan sebuah kebaikan, demikian kata orang miskin. Jargon klise.  You can’t measure kindness, kata orang… Or is it? Sebagai bagian dari rakyat jelata yang tentunya mempercayai jargon itu, gue akan mencoba menunjukkan bahwa kebaikan bisa dikuantifikasi dalam takaran nilai yang biasanya itung-itungan banget: bisnis. 

Mencari yang Ingin Dicari

“This is not the city to be alone,” ia berkata. Gue menoleh, mencari asal suara and there he was, di pelataran rumah Juliet, di pagi musim gugur yang mengigit dinginnya, dengan jemari tangannya bersembunyi di overcoat cokelat, yang senada dengan rambut dan mata coklat jernihnya. 

 

“Well, I don’t exactly have a choice, except…are you going to be an option?” Gue merespon.

“I can be a fantastic tour guide, not to mention we may look good together,” ia menjawab lagi, sambil menyodorkan lengannya untuk digamit. It could be a scam, tapi siapa peduli. Gue juga tidak punya banyak uang untuk ditipu.

 

It’s strange how a wish and a prayer work.

Dua Lembar Kutang dalam Kerusuhan Mei

“Ci, enci nggak ikutan ngejarah di Ramayana situ?” suara Tetangga Tante yang pada tanggal 14 Mei 1998 itu masih tinggal di rumah keluarga besar di Tanah Abang memecah lamunan. Tante nggak langsung menjawab. Masih bingung. Meski kabar belum mudah tersebar seperti zaman now, si Tante udah curi dengar tentang penjarahan serta kerusuhan yang tengah berlangsung. Dan ia punya feeling: meski etnis Cina banyak disebut di insiden ini, kayaknya posisinya bukan sebagai yang menjarah.

 

“Saya barusan ikutan, Ci, ada mobil yang bawa ke Jatinegara situ, rame-rame ma anak kampung sini. Eh tapi pas nyampe, udah mau dibakar tuh Ramayana, daripada jadi gosong ye kan, saya sabet aja nih BH 4 potong, langsung saya keluar, jalan kaki sampe sini!” tetangga Tante terus nyerocos, mengabaikan ekspresi Tante yang masih melongo.

 

“Saya udah nggak ngeliat ukuran lagi, Ci, tapi kalau Enci mau, nih saya bagi dua buat Enci BH-nya!” ujar tetangga sambil mengulurkan dua lembar BH merek Triumph itu lewat pagar rumah Tante. “Ati-ati ya Ci, jangan kemane-mane dulu, lagi rame di luar!” ujar tetangga sambil berlalu pulang ke rumah.

Skinker Because I Ker(e)

“Dok ini saya dikasi rangkaian perawatan dari Korea, kira-kira cocok nggak ya dipake?”
“Bentar, saya lihat dulu bahannya, siapa tahu sama, jadi numpuk,” ujar Bu Dokter Kulit mengambil sekelompok tabung-tabung kecil bewarna krem dan baby blue manis itu dari tangan gue.

Seperti biasa, di hari-hari sebelum pandemi itu, gue sedang menemui Bu Dokter untuk kontrol penyembuhan jerawat semuka yang melanda gue. Setiap 10 tahun sekali seperti rencana pembangunan jangka panjang, gue memang harus menghadapi badai jerawat. Letup-letup gendut meradang yang membuat muka gue yang sudah lebar itu bertambah ekstra minimal 15%.

Langganan gue adalah Bu Dokter di RSCM yang tidak suka meresepkan obat-obatan mahal. 20 ribu sudah dapat obat OTC yang bisa ditebus di apotek kesayangan Anda di manapun berada. Tentu bukan opsi yang bergengsi, termasuk bagi seorang teman yang merekomendasikan seven steps of beauty ala Korehe yang ia percayai sakses membuat wajahnya mulus bagai pualam. Emang bener sik dia mah emang cakep aja.

Sayang kalau tidak dipakai, guepun membawa satu set tabung tersebut untuk dibawa ke Bu Dokter. Siapa tahu bisa mendukung upaya obat jerawat rakyat jelata untuk elevasi kulit wajah gue. Biar naik kelas kayak mbak-mbak K-Pop.

Kamu Hanya Bisa Menerbalikkan Mobilmu Satu Kali Seumur Hidup

Siapa pembaca budiman yang pernah menerbalikkan mobilnya ketika menyetir? 

Gue pernah. Iya, 4 roda di atas gitu.

Suatu ketika setelah lepas usia 17 tahun, gue meneruskan tradisi keluarga untuk belajar nyetir. Papih menjadi instruktur. Kami muter-muter Kelapa Gading, hingga sampai batasannya dengan Priok. 

Seperti pada pelajaran menyetir pada umumnya, mobil gue mati di tanjakan. Tarik rem tangan, genjot gas. Demikian papih memberi instruksi. Oke sip. Rem tangan ditarik maksimal, gas digenjot juga maksimal. Lalu rem tangan dilepas. Terbanglah starlet putih mini kami. Kalau zaman dulu udah ada Instagram reel, pasti jadinya kayak di pelem-pelem. 

Ketika Happy Sampai Sembuh Hypoxia

“Bu, kadar oksigen yang bagus tuh berapa sih? Kok gue tes di 88-92?” gue bertanya di suatu sore pada seorang teman dokter.

“Gak tentu, Gy, orang tuh beda-beda, jadi yang penting tahu soal kadar yang biasa dan memantau apakah naik atau turun dari kadar yang kita biasa,” demikian Bu Dokter menjawab.

Ahhh..ok sip! Gue berpikir riang dalam hati. Saat itu sudah dua minggu gue merasa tidak enak badan. Demam pengsan sih enggak, lebih kayak kena flu tahunan tapi napas terasa sesak. Parnoan karena illness of the year lagi gahar-gaharnya beredar, gue memutuskan membeli oksimeter mungil di Toped.

Three Times a Lady: COVID Edition

Ada orang yang menyambangi restoran yang sama setiap harinya, guna menyantap makanan yang sama. Kalau untuk gue, hal ini berlaku untuk penyakit. Pernah kena Hepatitis A empat kali hingga punya stok antibodi yang cukup untuk seumur hidup, minimal 10 tahun, kini badan gue juga nggak mau ketinggalan tren, koleksi ‘illness of the year’ (or of the decade) COVID-19 hingga tiga kali. Iya, badan aku sinkron sama hati; sama-sama suka mengulang kesalahan yang sama.

Wani Piro Nihi: Yang Berani Dibayar Orang Indonesia di Negara Sendiri

“Mbaknya baru pertama kali ke Nihi?” tanya guest captain kami, sambil mengamati gue yang sibuk motret sana sini. Batu dipotret. Kelapa dipotret. Kayak kerjaan selama enam tahun ini bukan ngamatin foto buah.

“Ya iyalah Kak! Mana berani orang lokal kayak saya dulu main ke Nihi, nggak mampu!” gue mencetus, sambil terus lanjut foto-foto demi memenuhi kebutuhan konten selama tiga bulan. Biar kesannya kayak Brody Jenner, nggak pulang-pulang dari Nihi.

“Rasanya mampu, tapi dihabiskan di luar negeri,” jawabnya enteng, sambil melompati bebatuan menuju villa kami.

Plak. Demikian jawaban itu menampar seperti goyang-goyang kepala kuda Sumba yang tak sengaja mengantuk kepala ketika sedang berenang di laut. Lumayan bisa bikin gegar otak. Bener juga sih… dalam hati gue membatin, meski tentunya yang keluar dari mulut adalah bantahan satu kali lagi, “ya tetap nggak mampu lah! Ke luar negeri juga nggak segitu!”

Sambil mulai menggasak minibar villa yang menampilkan vodka-gin-whiskey mengalir tiada henti, gue mulai memikirkan pernyataan si mbak guest captain, apakah betul gue juga telah menghargai yang jauh lebih dari yang dekat. Memang, alkohol itu suka membuat orang merenung kebanyakan.