A Proud Bitch

It’s just another day in the city, dimana setiap orang yang menggunjingkan yang lainnya, dan dimana setiap orang merasa dirinya lebih baik dari yang digunjingkan atas standard moralnya masing-masing.

Dan sebagai bagian dari hari yang biasa itu, seorang kenalan dengan gaya biasa menyarankan agar gue tidak terlalu dekat dengan kenalan yang lain, perempuan murahan bahkan gratisan ga punya harga diri yang  menggunakan kewanitaannya untuk mendapat kemudahan dalam hidup.

Sambil memasang topeng dan senyum ‘karir’, gue menjawab halus, “Woman, I lived with hookers before, I think I should be able to handle a bitch.” Gue mengangkat gelas kopi stirofoam gue dan meninggalkan lawan bicara ternganga.

Gue tersenyum geli saat itu, sambil menyusun daftar ‘prestasi’ dalam hal per-bitching-an, yang mungkin akan membuat gue menerima sanksi sosial sama beratnya dengan kenalan yang dijauhi itu:

  •  Seringkali tidak diminta bayaran saat naik taksi di Singapura, hanya karena ia tersenyum dan mengajak ngobrol hingga sang supir lupa menyalakan argo. Atau argo-nya nyala, namun digratiskan setelah menyatakan alasannya bergaya pakaian yang mungkin dihadiahi hukum cambuk di beberapa Negara adalah karena ia mau ikut casting atau baru pulang syuting.
  • Menabrak mobil dan berkata, yess! Cowo lagi!. Hal itu berarti ia tidak perlu membayar ganti rugi dan jika beruntung, justru tidak perlu menanggung biaya membetulkan mobilnya sendiri.
  • “Get me a guestlist in the club, and I’ll do the rest to ensure there will be freeflow drinks too…”
  • Pernah berjalan-jalan di mall tanpa uang, kartu ATM, hp dan kartu identitas, tapi somehow berhasil masuk ke klub fitness, makan enak, dan pulang dengan mobil.

Ohhh! Seandainya dia tahu, gue pasti akan langsung dimasukkan dalam DPO alias Daftar Pengucilan Orang!

 

Gue berpikir heran: Bagaimana mungkin seorang perempuan bisa berpikir sebegitu rendahnya pada perempuan lain yang mengeksplorasi keperempuanannya, sebuah kelebihan unik setiap perempuan. Lawan jenis saja tidak keberatan tuh!

 

Dan lebih prihatin lagi, mengapa lantas perempuan yang mendapat dianugerahi sedemikian oleh Tuhan jadi harus malu dan menyangkal kelebihannya itu. Bukannya sama aja dengan salesman yang tampangnya ‘enak dilihat’ dan mahir berbicara sehingga mudah dapat client dan ordernya laris? Tapi ketika itu terjadi pada perempuan, mengapa menjadi hina untuk jadi menarik?

 

Bagi kaum salesman, kemampuan verbal dan penampilan dianggap sebagai modal berusaha. Sedangkan jika oknumnya perempuan, kami makhluk gratisan, yang malas berusaha tapi banyak maunya. Padahal, hukum alam berlaku bagi siapapun: Ga ada yang gratis dalam hidup ini. Dan perempuan pun ber’modal’, untuk mendapatkan mau yang banyak itu.

 

Sama seperti warga dunia lainnya, setiap perempuan pun wajib membayar dengan menggunakan alat pembayaran yang sah. Hanya valuta yang kami gunakan memang bukan mata uang kesayangan kita semua, Rupiah.

 

Memangnya iuran gym untuk membentuk perut kotak-kotak yang bisa dipakein baju ngatung itu ga pake duit? Memangnya pump shoes 12 senti yang membuat kaki selalu berada dalam posisi orgasme itu ga pake duit? Memangnya sekolah di perguruan tinggi bergengsi sehingga kami bisa mengutip filsuf-filsuf kuno itu ga pake duit? Memangnya untuk mendapatkan segala sesuatu secara gratis dengan penampilan dan omongan itu ga pake duit?

 

Tentu tidak! Ada biaya operasional yang kami catat dalam buku akuntansi kami, yang nilai gunanya akan berkurang seiring dengan waktu dan penggunaan. Sekarang, bagaimana supaya modal tetap itu menunjang upaya mendapatkan ‘untung’?

 

Meskipun sebenarnya neraca ini sudah imbang sejak awal. Tujuan utama investasi ini adalah untuk diri sendiri, berupa rasa percaya diri dan senang melihat diri di kaca. Kami tidak berdandan untuk menyenangkan orang lain. Objek pertama yang diuntungkan dengan penampilan prima adalah diri sendiri.

 

Tapi tanpa dimaksudkanpun, apa yang ada di tempat umum dapat dinikmati semua orang. Jadi mengapa tidak sekalian mengambil retribusi? Itulah sebabnya kami semakin menolak disebut perempuan gratisan. Biar kata modal yang ditanam cukup besar, untung yang didapat bukan mata pencaharian utama sebagian besar perempuan yang disebut ‘bitch’ itu.

 

Kalau masalah mahal-murahnya, semua kembali tergantung pada harga yang ditetapkan serta kemampuan menawar. Sebuah barang menjadi mahal dan uang jadi murah jika membayar lebih tinggi dari nilai barang/jasa tersebut. Kita jelas tidak tidur dengan supir taksi. Sebuah senyum sumringah untuk harga perjalanan selama 20 menit di Singapura, rasanya masih reasonable

 

Lagipula perlu diingat, produk yang dibarter disini adalah feminitas, bukan tubuh perempuan itu sendiri. Gue pernah terlibat pembuatan film dokumenter tentang pelacuran di Batam yang diberi judul ‘innocence for sale’. Kenaifan dan kepolosan tubuh yang diperjualbelikan.

 

Perempuan yang terlibat belum tentu rela menggadaikan diri. Mungkin ditipu, mungkin kepalang basah, mungkin terpaksa keadaan. Saat men-transcribe interview, gue pun ikut terenyuh miris melihat nasib para wanita ini. Mereka bahkan tak punya kuasa mengatur penjualan paksa tubuh yang ditawar begitu murah.

 

Sedangkan dalam hal bitching, gue lebih suka menyebutnya feminity for sale. Jika hanya fakta fisik yang dilihat, gue sudah pasti out dari permainan ini dari jauh-jauh hari. Cantik pun tidak, feminin banget pun tidak.

 

Tapi memang bukan fisik semata yang dieksplotasi, melainkan fakta bahwa kami perempuan: Rupa sebagai seorang perempuan, cara berpikir sebagai perempuan, cara bersikap dan sisi feminitas yang tak bisa tersangkalkan muncul sejak dilahirkan sebagai perempuan.

 

Lagian , bentuk eksploitasi terjadi atas kesadaran penuh si pemilik diri. Lebih dari melihatnya sebagai bentuk perendahan harkat wanita dengan mengeliminasi nilai tubuh yang tak ternilai, gue malah merasa kaum ini memberi ‘nilai tambah’ bagi sisi keperempuanan seseorang.

 

It’s about claiming ownership of your own body. Menyadari apa yang ada dalam diri seseorang, dan mengembangkannya secara maksimal untuk keuntungan sang empunya tubuh. Daripada sebaliknya, memasrahkan diri digunakan sekehendak hati oleh orang lain demi kesenangan orang lain pula.

 

Dan jika seluruh potensi bisa dikerahkan secara maksimal, Anda akan terkejut dengan kekuatan yang ada pada diri seorang perempuan: Mendapat ganti rugi dari pengedar yang memberi paket shroom kurang manjur hingga ngemplang bayar ganti rugi menabrak mobil. Jika dikehendaki, apa sih yang nggak bisa didapatkan perempuan yang menginginkan sesuatu?

 

Tapi gue juga tak mau memaksa semua perempuan mengikuti jejak langkah ini. Akan selalu ada orang-orang semacam kenalan gue, yang bakal melongo ngeri dengan metode ‘jual diri ’yang baru dipaparkan.

 

Lagipula, prinsip ekonomi berlaku di aspek hidup apapun. Semakin banyak penawaran saat permintaan tetap akan berakibat turunnya harga. Harga gula saja merosot pasca panen karena banyak yang numpuk di gudang Bulog. Terlalu banyak stok bakal merusak pasaran. Bisa-bisa harga diri benar-benar merosot tajam!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *