About Truly Asia

“Siap-siap ditipu, ya,” demikian pesan gue kepada Udako sesaat setelah mendarat di Malaysia. Udako menatap gue heran, “emang Malaysia isinya penipu semua?”

 

“Oh you never know, pokoknya, diterima aja dengan lapang dada,” gue menjawab sambil memikul tas yang karena pertimbangan biaya, tentunya tidak gue masukkan ke dalam bagasi sebuah maskapai yang itung-itungannya cukup rumit itu.

 

Ini bukan karena gue, seorang Indonesia, punya rasa nasionalis berlebih dan pecinta sepakbola, sehingga karenanya harus membenci setiap manusia berkewarganegaraan Malaysia yang telah mencurangi kami dengan laser, meskipun Indonesia juga kalah dari Arab Saudi, Turmekistan, Thailand dan Singapura, dan meski mereka semua gak ada yang pake laser.

 

Tentu saja, gue, seorang Indonesia, objektif dan menjunjung tinggi perdamaian dunia, mendasarkan peringatan itu atas pengalaman yang teruji dan terbukti.

 

 

Malaysia adalah negara liburan terdekat gue, saat masih tinggal di Singapura dulu. Gue sering menyambangi negara ini demi memanfaatkan kekuatan dolar Singapura untuk makan sushi di Johor Baru yang setelah dipotong ongkos, mungkin hanya untung 5 dolar Singapura. Atau menempuh untuk perjalanan satu malam hura-hura demi berpesta dengan substansi yang lebih mudah didapatkan di negeri Jiran.

 

Malaysia adalah versi bebas dari tempat gue tinggal, penjara Singapura. Meskipun begitu, tidak sekalipun gue tertipu oleh jargon Truly Asia atau menganggap Malaysia adalah negara yang lebih baik daripada Singapura, let alone, ingin pindah tinggal di sana.

 

Bagi gue, Malaysia adalah.. errr… the ugly Singapore….Gue dapat merasakan betapa negara ini dibangun dengan sistem yang sama dengan Singapura, namun dijalankan dengan cara yang kurang sempurna, Negaranya memang bersih, rapi, dengan segala konsekuensi inhuman yang terasakan, tapi…nanggung.. Pokoknya kurang maksimal lah gitu.

Sistem transportasinya cukup lengkap, ada sejenis MRT, monorel, express train, pokoknya semua yang diimpikan Indonesia itu. Tapi keterhubungannya menyesatkan. Sistem penanda arah dan indikator waktu menunggu di stasiun modelnya macam nanya petunjuk Eyang Subur. Cocok-cocokan. Kalau gak sreg bisa tersesat.

 

Sedangkan sistem taksinya seprimitif era taksi Prestasi. Hampir sama dengan menyerahkan diri pada rampok, terutama di daerah turis. Mereka pantang pakai argo dan memasang tarif senilai 45 ringit untuk perjalanan sejauh 5 menit saja.

 

Airport dan mallnya sih memang cenggih. Oh tapi itu airport KLIA yang untuk pesawat mahal. Kalau mendaratnya di Low Cost Carier Terminal alias LCCT, sama saja dengan mendarat di terminal 1A Soekarno Hatta, atau terminal bus Boon Lay di deket kampus NTU gue, sebelum direnov.

 

KL juga punya Bukit Bintang yang digadang jadi saingannya Orchard Road. Iya bener, Orchard Road yang ditambah serbuan jambret bermotor dan jalanan gompal-gompal di sudut yang kurang terawat.

 

Dan untuk fasilitas yang mendekati sempurna ini, gue sudah dapat merasakan semua pengalaman kurang manusiawi yang nyaris bisa disamakan skalanya dengan negara yang sempurna cenderung robotik sehingga harus mengorbankan beberapa nilai luhur kemanusiaan.

 

Rasisme terselubung? Check. Gue selalu diketok harga, diserobot dan tidak diutamakan oleh setiap penjual nasi lemak di seantero kota. Sebaliknya, saat mau beli nasi hainam gue juga langsung menerima bentakan “ALL PORK HERE! YOU EAT NO PORK GET OUT” *atau mungkin: semua di sini juga pake babi kali, klo loe nggak makan babi, pergi aja loe!

 

Perlakuan kurang manusiawi atas nama menjalankan peraturan dan perintah? Check. Check. Check. Saat mau nonton Psy di satu konser akbar Asia Tenggara, payung polkadot gue dibuang, dikira senjata terselubung. Permen Obat Batuk Ibu dan Anak gue juga dibuang, dicurigai ecstasy.

 

Tapi yang paling menyakitkan, mereka membuang obat batuk gue. Satu-satunya perlindungan gue yang memastikan bahwa antibiotik yang gue minum di saat bersamaan, tepat guna menahan usus buntu gue biar nggak pecah sebelum waktunya.

 

Ya emang sih, siapa juga orang sakit akut pergi nonton Konser. Tapi Udako sudah membuat extra effort untuk memastikan bahwa obat itu tidak dibuang. Dua kali berantem sama petugas keamanan hingga akhirnya berkompromi, obat tetep nggak bisa dibawa masuk. Tapi enggak dibuang. Dimasukkan ke dalam kotak putih, supaya nanti bisa diambil kembali.

 

Pas gue pulang, tentu saja obat itu sudah dibuang.

Atas nama prosedur dan keamanan.

 

Kalau ini di Singapur, mungkin gue nrimo. Semua juga bakal dibuang. Tapi ini di Malaysia. Di sebuah pesta di mana 70% pengunjungnya nampak berada dalam pengaruh kemabukan selevel di atas alkohol. Di mana sekitar 25% pengunjungnya memakai kaca mata hitam tengah malam, mengindikasikan pengaruh sejenis substansi aditif tertentu. Di saat botol kosong mirasantika berserakan bebas di area konser.

 

Di sini obat batuk gue dibuang?

 

Guna melengkapi kisah lalim yang gue alami, gue juga ketinggalan pesawat. Oh bukan, gue sudah web check in dua hari sebelumnya, dan berangkat 3 jam sebelum waktu boarding. Tapi mana gue tahu bahwa “Express Train” memakan waktu 1 jam lebih lama dibandingkan naik bus biasa. Dan bahwa mesin pencetak boarding pass akan rusak tanpa satupun orang dapat membetulkannya. Belum lagi gue menghabiskan 20 menit muter-muter di bandara mencari tanda yang menunjukkan ‘international departure gate”

 

Tentu saja, karena gue telat dan telat itu sebuah kesalahan, gue tidak mendapat kesempatan naik pesawat yang juga belum take off itu. Pengalaman ini tentu membuat gue pengen ngebom. Pasti negara ini isinya teroris semua. Kayak Noordin M Top.

 

Tapi gue, yang juga telah menerima bahwa gue akan dicurangi, ditipu dan dizholimi sepanjang masa tinggal gue di Malaysia menyadari, bahwa bukan satu-satu warga Malaysia lah yang telah mengakibatkan kesengsaraan berkepanjangan. Semua ini adalah buah sebuah sistem, and I can’t beat a system.

 

Biarpun gue bersumpah tidak mau menginjakkan kaki di Singapur dan Malaysia, tetep saja akhirnya gue pergi lagi pergi lagi. Lha bisnisnya masi di sana. Lha Psy maunya ke KL bukan ke Jakarta. Upaya gue merusak negara dengan buang sampah dan nyebrang sembarangan, hanya akan merepotkan hidup orang-orang yang tidak ada hubungannya sama gue.

 

Kesusahan hidup gue, adalah efek sebuah sistem yang birokratis dan mendewakan aturan, meski tidak dengan cara yang maksimal sehingga malah menimbulkan ketidakadilan.

 

Namun gue tidak bisa menyalahkan satu orang yang terlahir dalam sistem itu. Guepun, jika ada dalam sistem itu, akan menjalankan fungsi gue dengan cara yang diajarkan sejak kecil dengan filosofi yang selalu gue kenal.

 

Sebaliknya, jika mereka lahir di Indonesia yang sistemnya begitu kacrut atau nggak ada sistem sama sekali, mereka mungkin akan bertindak hanya dengan insting manusiawi semata (I’m not talking about Hercules here). Atau jika mereka warga Singapura, mereka akan melaksanakan aturan secara ketat, sehingga segalanya begitu sempurna dan adil meski dengan hati datar.

 

Secara kebetulan, setiap kali gue mengalami insiden ngehe di Malaysia, gue juga ditemukan dengan orang-orang yang membantu gue, out of nowhere. Seorang staf penerbangan mengangkut gue saat sedang berjalan kaki dari Sepang ke LCCT, demi prinsip nggak mau lagi ditipu supir taksi.

 

Staf yang lain, menyelipkan gue ke penerbangan berikutnya meski dengan risiko didamprat penumpang yang berhak karena telat check in. Dan manusia-manusia aseli Malaysia ini menunjukkan bahwa they are actually normal human being with heart. Mereka tetap mampu bergerak sebagai manusia normal di saat mereka tidak dalam pengaruh sistem yang kurang sesuai dengan gue.

 

Meski tidak dipungkiri, jika mereka sedang berperan sebagai sekuriti konser, obat batuk gue tetep disita. Uhuk!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *