Antara Aku dan TKW

Apa yang membedakan gue dengan perempuan di sebelahku? Sama-sama mengadu nasib di negri tetangga. Sama-sama pernah diterima di perguruan tinggi negeri namun tidak jadi bersekolah disana. Sama-sama pengangguran dan pusing nyari kerja. Kulit sama-sama putih, dengan baju ukuran S. Sama-sama pintar ngeles, suka ngomong dan punya rasa ingin tahu yang tinggi terhadap tetangga. Sama-sama naik budget airlines.

Perbedaan baru muncul ketika kami masuk Soekarno Hatta. Gue keluar dari imigrasi terminal 2, lalu disambut ibu-bapak, pulang naik mobil pribadi yang tidak bersubsidi. Sedangkan Ervina, si mbak yang duduk disebelahku tadi, akan disambut para calo TKI yang minta upah 50 ribu seorang, lalu digiring ke terminal 3 untuk diperas lebih lanjut. Dia akan pulang dengan mobil travel bertarif 100 ribu (dibandingkan naik bus Damri yang 23.500). Kisah selanjutnya akan jauh berbeda.

Flash back…
Begitu melihat senyum sumringah Evina, “mbak kampungnya di Jakarta juga ya?” gue langsung lemas. Sirna sudah cita-cita untuk tidur siang demi menebus semalam suntuk ajojing dan langsung ke airport setelah clubbing, tanpa tidur. Keterbatasan dana akibat seringnya bolak-balik Jakarta-Singapura sering kali mempertemukan gue dengan para TKW yang berdasarkan pengalaman, sukaa..sukaaa..sekali berbagi pengalaman, terutama terhadap rekan setanah air.

Dan tanpa ditanya, tanpa diminta, mengalirlah kisah-kisah sang pahlawan devisa yang kurang-lebih mirip yang di Derap Hukum. Mengasuh anak majikan. Suami majikan genit, sering melakukan tindakan pelecehan. Mengadu. Dimarahi majikan, dituduh menggoda suami orang. Tindak pelecehan meningkat; disuruh memijat majikan lelaki. Ketauan. Dipulangkan ke tanah air begitu kontrak usai.

Tragis memang, tapi percaya ga percaya, dari begitu banyak studi social tentang pembantu asal Indonesia, kebanyakan TKW memang mendapat perlakuan demikian. Jadi ketika ngantuk dan grave yard kmaren itu sudah sungguh-sungguh sampai ke otak, gue tak kuasa menahannya, dan terlelaplah gue di samping Ervina.

Inilah perbedaan utama gue dan Ervina. Di saat Ervina berjaga cemas memikirkan cara menghindari pemerasan yang segera dihadapinya begitu kaki menjejak bumi, gue bisa tidur pulas menanti detik-detik liburan yang segera akan bermulai. Perbedaan-perbedaan lain, bisa dirangkum sebagai berikut:

Pangkal Perbedaan

Gue

Ervina

Sumber dan Tujuan Subsidi Disubsidi pemerintah Singapura untuk  jadi mahasiswa Disubsidi majikan untuk mengawasi anak majikan
Waktu Luang Setiap hari, karena menganggur atas  biaya orang tua 1.5 jam di hari MInggu
Tanggungan hidup Diri sendiri 2 anak kembar
Status perkawinan Single Janda
Rencana masa depan Cari kerja yang disuka, klo ga dapet, lanjut S2 Lanjut kuliah, jika tidak mungkin cari kerja apa aja yang penting halal

 

Sungguh ironis, betapa persamaan harkat kami berdua hanya sebatas ketika berada 11.000 kaki di atas permukaan bumi. Namun, beda lahir, beda orang tua dan beda segalanya menimbulkan setumpuk perbedaan antara gue dan Ervina.

Gue jadi berandai-andai. Seandainya orang tua gue kurang mampu dan tidak mementingkan pendidikan, gue pasti ga bakal dipaksa-paksa ke Singapur, malah, mungkin dianjurkan untuk tidak kuliah sama sekali. Seandainya gue ga kuliah, mungkin langsung dikawinin, sekarang sudah punya anak 4. Seandainya perkawinan itu gagal, dan uang ga cukup, mungkin gue sudah ikut agen TKI ke..Singapura…

Sebaliknya, seandainya orang tua Ervina menghargai pendidikan, Ervina bakal didukung melanjutkan kuliahnya di IPB yang putus di tahun kedua. Seandainya orang tua Ervina berpendidikan, ia bakal menganjurkan Ervina untuk tidak menikah terlalu muda. Seandainya Ervina berpendidikan, ia bakal menahan ijazah STTB SMA-nya yang kini ditahan mantan suaminya.
Gue orang yang percaya jenjang social itu ada dan selalu ada. Orang miskin berbuah kemiskinan, karena orang miskin tidak berpendidikan. Tidak berpendidikan jadi tidak menghargai pendidikan. Tidak menghargai pendidikan jadi anaknya tidak berpendidikan. Padahal nyari kerja butuh ijazah. Yang pake ijazah NTU aja blum dapet kerja niii.. Tapi miris juga memikirkan nasib Ervina…jadi meski gue bukan orang yang peduli social, (Gue termasuk yang paling pelit kalau ada sumbangan social, dan jarang ikut kegiatan social juga), gue berjanji-janji manis akan menangani masalah pendidikan ini, agar keadilan merata bagi rakyat tercapai. Salah satu janji gue: mencari program beasiswa yang bisa diikuti Ervina

Naaa..yaa..intinya tulisan ini..ehehehe… Ada yang tau program bantuan kuliah buat anak yang biasa-biasa aja ?Ervina mau lanjut kuliah, tapi ga mau pake mahal. Ervina masi punya fotokopi ijazah SMA yang dilegalisir, tapi aslinya dirobek mantan suami. Ervina juga pernah lolos UMPTN, kuliah di IPB. Ervina suka pertanian, tapi intinya, mau kuliah apa aja yang penting dapet ijazah dan murah. Ervina masih punya duit hasil nge-TKW kmaren. Tapi gue ga paham system nyari beasiswa di Indo, apalagi yang bukan buat pemenang olimpiade fisika….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *