Sebuah pembicaraan di MSN Messenger…
Nudge!
“Oi, kacang!”
“Duh, sorry-sorry, gue lagi ribet bgt nih.”
“You know, Margie, I feel I’m not being prioritised anymore.”
“Yee..loe siapa! Lagian gue dari tadi online kagak ditegor! Kemana aje loe?”
“Gue juga baru bangun nih,”
“Ya uda, gue makan dulu ya..”
“Oh, kk..”
Pembicaraan lain…
Nudge!
“Oi! Loe mau nolongin gue ga sih?”
“Nolongin apaan?!”
“Dari tadi gue ngetik sampe dower-dower bukannya ditanggepin!”
“Ngetik aja pake dower! Gue ga trima message apa-apa!”
“Masa sih? Apa messenger gue yang error ya?”
Sudah lebih dari setengah tahun ini gue dan sahabat gue, Oknum R menjalani LDF, alias Long Distance Friendship. Untungnya kami cuma berteman. Kalau pacaran, gue yakin kita sudah putus dari jauh-jauh ari. Begitu banyaknya kesalahpahaman, bahasa yang tak tersampaikan secara verbal, maupun kegagalan teknis pihak speedy, messenger dan blackberry.
Gue boleh saja mengaku sebagai bagian dari generasi internet. Sebagian besar masa muda gue lewatkan di depan laptop. Sepanjang hari setelah bangun tidur gue disibukkan dengan semua yang berbau E: e-banking, e-learning, e-mail…Waktu luang dihabiskan dengan browsing-browsing, menjaga relasi lewat facebook, blog dan MSN messenger.
Bisa dibilang, separuh nafasku dibuat dari kilatan cahaya yang melintasi kabel fibre optic itu. Internet adalah sumber informasi pertama dan utama gue. Internet jualah yang menghubungkan gue dengan sahabat-sahabat terdekat gue ketika berada lintas negara.
TAPI kalau sudah menyangkut masalah asmara…bisakah arjuna menemukan cinta di internet? apakah manusia bisa jatuh cinta hanya lewat ketikan tangan seseorang?
Harus gue akui, lewat rentetan huruf calibri ukuran 11 yang membentuk kata-kata, gue dan Oknum R jadi semakin mengenal dan merasa klop jadi sohib. Hubungan lewat internet memang telah memangkas jarak dan perbedaan di antara kedua insan dan menjadikan kita dekat bak soulmate.
Dengan catatan, hubungan tersebut tumbuh dan berkembang secara offline dulu baru dibina secara online. Gue dan Oknum R sudah berbagi nasib selama setahun sebelum gue kembali ke Jakarta, membuat acara rutin berjudul Bashing Singapore setiap malamnya. Gue ga yakin jika prosesnya dibalik, kami kenalan lewat facebook lalu kopi darat, keadaannya akan sama.
Tentunya speed internet sekarang mencapai 100Mbps. Tentunya ada webcam, emoticons berbentuk muka yang membuat komunikasi via internet semakin real time dan semakin nyata. Tapi tak bisa dipungkiri, internet tetaplah disebut dunia maya, bukan dunia nyata.
Se-‘langsung’ apapun, komunikasi via internet tetaplah komunikasi tak langsung yang kekurangan nilai bahasa non-verbal dan spontanitas. Webcam jarang bisa merekam bahasa tubuh secara keseluruhan. Emoticons bisa jadi bukan ekspresi asli dan jujur dari seseorang.
Juga, se-real time apapun chatting, tetaplah ada jeda beberapa detik sebelum sebuah pendapat terbaca di layar computer di belahan bumi lain. Apa yang dipikirkan, belum tentu apa yang diketikkan. Atau jika memang yang dipikirkan menjadi apa yang diketikkan, masih ada tombol <backspace> untuk menghapus pandangan awal, menggantinya dengan pandangan yang palsu, sebelum menekan tombol <enter>.
Seseorang bisa menjadi siapa saja sesuai dengan pencitraan yang diinginkan. Gue tidak perlu menjadi dugemer untuk menjadi Anak Gaoel di internet. Gue cukup menulis hal-hal yang berbau kegaoelan. Lawan bicara gue ga bakal menangkap ekspresi non verbal gue yang silau melihat lampu disko atau kemelongooan gue mendengar label miras. Gue cukup membuka internet explorer, meng-google, dan mengetik dengan penuh percaya diri…
Jika gue seorang pemarah dan membosankan sekalipun, gue bisa menjadi fun and fearless female…Seandainya sifat buruk itu keluar, gue akan melampiaskannya, <belum di-enter> lalu men-delete semua itu lalu menggantinya dengan kalimat-kalimat yang fun and fearless. <enter>.
Lebih parah lagi, tidak seperti tulisan tangan yang masih bisa menyiratkan kepribadian, tulisan komputer berbentuk sama sederajat. Satu-satunya cara untuk mengenal sifat adalah melalui apa yang ditulis, yang mana seperti yang telah dibahas, hal tersebut bisa direncanakan secara sadar dan terarah. Kecuali jika pilihan font dan ukuran bisa menyiratkan kepribadian seseorang.
Dan tambahan, alasan mengapa kedekatan gue dan Oknum R itu tidak bisa dijadikan contoh sukses hubungan via internet adalah karena kami cuma SAHABATAN bukan BERKASIH-KASIHAN. Tentunya dalam hal persahabatan kondisi fisik bukanlah hal yang masuk perhitungan.
Kata orang, di masa (dan usia) sekarang ini, fisik itu kurang penting, yang penting cocok. Coba lihat film You’ve Got Mail, bertemu muka, mereka ciong, tapi lewat internet mereka klop banget, dan akhirnya hidup di dunia nyata bahagia selamanya. Makanya mencari kekasih lewat internet itu baik karena konsentrasi hanya pada kecocokan semata.
Ya iya lahhh, gue juga ga nolak kalau ternyata pria dibalik layar berwujud Tom Hanks! Dalam film, masalah fisik tidak menjadi isu yang diperbincangkan. Kalau posisi Meg Ryan itu digantikan hanya oleh seorang Margie misalnya, belum tentu ceritanya berakhir bahagia!
Memang salah banget ya kalau kita masih memperhitungkan fisik dalam memilih pasangan? Kan ‘kecocokan fisik’ juga bagian dari paket ‘kecocokan’, bersama dengan ‘kecocokan pribadi’…
Sekali lagi, Facebook, webcam, foto digital bisa memberi gambaran fisik yang membuat dunia maya semakin nyata, tapi berkat software bernama PHOTOSHOP serta manipulasi digital, foto profile sering memberi harapan palsu.
Gue bisa saja jadi seorang perempuan berdarah jerman-cina-manado dengan tinggi badan 178 cm, lulusan Stanford, yang sedang meniti karier modelling di New York. Padahal kenyataan gue Cuma cina…aja, dengan tinggi badan kurang dari 165 cm, putus sekolah dan pengangguran.
Pastinya, di dunia ini selalu ada dua bagian, the rules dan the exceptions. Kalau katanya cinta bisa tumbuh in the unlikeliest places, kenapa tidak tumbuh di internet? Meski gue dan orang sekitar selalu gagal dan tak berminat mencoba memulai hubungan romantis melalui internet, ada aja orang yang menemukan belahan jiwa dari layar komputer.
Ada pria yang bisa begitu cocoknya dengan selingkuhan di Second Life hingga bercerai dengan istrinya. Ada juga yang ‘nikah siri’ dengan pacar online-nya, semuanya karena hubungan broadband memberikan makna yang lebih besar daripada kisah kasih jalur darat.
Meski sudah terpisah selama hampir setahun, dengan berat hati gue masih menyatakan Oknum R sebagai sahabat terdekat gue saat ini. Gue tahu hari ini Oknum R bangun jam berapa, makan apa, sedang stress apa. Oknum R juga khatam tentang ritme kerja gue dan gosip-gosip kantor yang gress.
Messenger memang mengizinkan kami berkomunikasi dengan frekuensi nyaris mencapai angka fantastis 10 jam sehari. Angka ini tentunya melampaui komunikasi gue dengan teman-teman di Jakarta yang paling cuma gue telpon atau ketemu seminggu sekali. Buktinya, justru saat Oknum R lagi di Jakarta seperti sekarang, gue malah tidak sempat bertemu sama sekali.
Tapi seberapapun nyatanya hubungan dunia maya, alangkah sayangnya, ohhhh..alangkah sayangnya jika apa yang terjalin secara online menghancurkan apa yang telah dibina secara offline.