Tengah berdesak-desakan hampir overload bersama segenap keluarga dalam sebuah lift, terdengar suara dari belakang gue. Seorang perempuan muda berbisik pada lelaki yang nampaknya adalah pacarnya.
Ayang…ayang…beliin tas yang kayak gitu dong, tapi yang real one, bukan yang fake kayak gitu…Ujarnya sambil menunjuk tas Gucci kakak yang baru beberapa bulan lalu dibeli di butik pusatnya di Italia.
Begitu lift terbuka, si kakak langsung misuh-misuh, sialan tas gue dibilang palsu! Kami semua tertawa ngakak, salah setting sih! Kalau lagi di plaza di Bandung yang isinya barang palsu semua, jangan pake yang asli, percuma! Dikira palsu juga!
Here we go again, perseteruan abadi antara huruf LV dan huruf KW. Sebanyak warga Asia termasuk Indonesia percaya pada kekuatan magis barang-barang berlogo Louis Vuitton, Gucci, Prada, Hermes dan teman-temannya, sebanyak itu pulalah KW-nya bertebaran di mana-mana.
Kekuatan kedua kubu seimbang. Yang pakai asli, berkata ngapain nipu diri sendiri, pake bajakan. Lagipula kalau memang segitunya suka sama satu merk, apa esensinya kalau yang dipakai juga bukan merk tersebut.
Yang pakai palsu, sambil senyum-senyum kecil bilang, belum tentu ketauan, ngapain keluar duit puluhan juta? Lagipula, kita ngincer kualitasnya ih, tas kulit harga sejuta dua juta kan kualitasnya juga udah cakep, perkara ternyata dicap monogram, itu kebetulan aja, beneran lho…
Dua-duanya punya argumen membela diri yang sama kuatnya. Padahal, perkara tas asli itu definisinya apa, terkadang rancu. Seperti saat keaslian tas cici dipertanyakan di sebuah lift di Bandung Indah Plaza.
Kata orang, asli itu ya dari kualitasnya. Yang asli itu kotak-kotak dan monogramnya nyambung, ga ada yang miring-miring kayak barang Factory Outlet. Gue manggut-manggut, tentang harga yang nggak bisa boong ini.
Dulupun gue pernah beli tas Agynes B buatan China di Bandung. Katanya sama aja, semua tas Agnes B itu buatan China. Memang sih, ketika beli di Paris pun buatan Cina. Tapi di saat yang di Paris belum rusak meski dibawa bawa beban 5 kg setiap harinya, yang di Bandung serotannya sudah lepas. Buntutnya sama aja, malah beli tas lebih banyak dan lebih mahal.
Tapi ternyata, tas Prada si tante risletingnya juga jebol. Padahal baru pakai satu bulan. Ketika dibawa ke butiknya, dibilang perlu dibetulkan di Milan. Sekitar tiga bulan baru selesai. Akhirnya si tante beli tas lain lagi. Jatuhnya jelas lebih mahal daripada tas Agnes B KW gue.
Lagipula sekarang, kualitas KW super juga bisa luar biasa ciamik. Seorang pembuat tas Louis Vuitton dari Hong Kong pernah menantang konsep ini. Setelah keluar dari LV, dia membuat tas sendiri. Dia menggunakan kulit dengan kualitas yang sama Menjahit dengan standar yang sama. Menggunakan desain yang sama persis.
Sebulan yang lalu, tas hasil karyanya akan dianggap asli karena dijual di toko. Tapi sekarang, apakah dengan begitu tasnya layak dianggap palsu? Meski punya kualitas yang sama persis dengan yang asli? Toh yang katanya buatan Perancis, sebenarnya juga dikerjakan oleh orang China yang ditarik tinggal di Perancis. Aspal juga dong…
Lalu ada yang menandaskan, bahwa yang asli itu ya beli di toko resminya, kayak di Plaza Senayan atau Pacific Place gitu. Katanya yang beli di toko resmi itu ada kodenya, semacam barcode yang dikenali ketika lewat mesin scanning di toko atau di bandara.
Makanya yang palsu langsung dikenali, karena ketiadaan barcode ini, istilahnya ‘nggak bunyi’. Tapi keberadaan si barcode ini juga masih misteri. Gue sudah punya beberapa buah tas asli, dan meski gue bolak-balik, tetap tidak ketemu di mana chip itu ditanam.
Kalau gue masuk ke toko LV sampai di ChampElysees sekalipun juga tidak tampak mesin yang mendeteksi tas gue asli atau palsu. Tas gue tidak pernah bunyi apa-apa. Gue sempat mendegar rumor bahwa mereka yang tasnya palsu bakal dipotong di bandara. Sampai-sampai kemanapun gue pergi, selalu membawa bon si tas, takut yang asli dianggap palsu lalu dipotong. Kan sayang.
Tapi sejauh ini gue belum melihat sendiri. Pas masuk Charles de Gaulle atau Munich, juga tidak pernah melihat ada petugas yang mengawasi secara khusus tas-tas bermerk seperti kalau tiba di bea cukai Soekarno Hatta.
Lagipula, Tas cici juga asli. Beli di toko resmi, jahitannya bagus, kuat, meski gak anti dekil. Tapi ketika dipakai dalam scene Bandung Indah Plaza, yang mungkin kebanyakan pengunjungnya nggak pakai yang asli, tas si cici jadinya palsu.
Percuma sekalipun si cici bawa bon dan sertifikatnya untuk ditunjukkan. Tetap akan ada seribu mata lainnya yang melihat tas itu dan minta versi aslinya ke pacarnya.
Sebaliknya, seorang sosialita ada yang pernah digosipi di radio karena ternyata memakai tas palsu. Sosialita itu, selalu terlihat PD di berbagai acara,. Baru ketika fotonya masuk ke majalah dan si toko menyatakan pemilik tas tersebut hanya tiga di dunia, dan beliau bukan salah satunya, rahasianya terbongkar.
Gue kemudian mengambil kesimpulan, bahwa yang membedakan tas itu asli atau palsu, bukan pada tas itu sendiri, tapi pada kondisi di sekitar tas itu. Si mamih pernah berkata bahwa tas asli atau palsu itu kelihatan dari perlakuannya. Kalau tasnya ditaroh di lantai, udah pasti palsu. Kalau dipangku-pangku, berarti asli. Berarti kalau tas KW dipangku, bisa naik pangkat jadi asli.
Selama pemakainya PD, maka tas itu terlihat asli, hingga misteri barcode terpecahkan. Dan selama pemakainya ‘lancai’, maka percuma pakai tas asli, tetep bakal dikira palsu!
Ah..beli tas mahal-mahal… tetep dikira palsu… Beli tas agak mahal….tetep palsu… Jadi beliin aku yang mana, ayang?