Wani Piro Nihi: Yang Berani Dibayar Orang Indonesia di Negara Sendiri

“Mbaknya baru pertama kali ke Nihi?” tanya guest captain kami, sambil mengamati gue yang sibuk motret sana sini. Batu dipotret. Kelapa dipotret. Kayak kerjaan selama enam tahun ini bukan ngamatin foto buah.

“Ya iyalah Kak! Mana berani orang lokal kayak saya dulu main ke Nihi, nggak mampu!” gue mencetus, sambil terus lanjut foto-foto demi memenuhi kebutuhan konten selama tiga bulan. Biar kesannya kayak Brody Jenner, nggak pulang-pulang dari Nihi.

“Rasanya mampu, tapi dihabiskan di luar negeri,” jawabnya enteng, sambil melompati bebatuan menuju villa kami.

Plak. Demikian jawaban itu menampar seperti goyang-goyang kepala kuda Sumba yang tak sengaja mengantuk kepala ketika sedang berenang di laut. Lumayan bisa bikin gegar otak. Bener juga sih… dalam hati gue membatin, meski tentunya yang keluar dari mulut adalah bantahan satu kali lagi, “ya tetap nggak mampu lah! Ke luar negeri juga nggak segitu!”

Sambil mulai menggasak minibar villa yang menampilkan vodka-gin-whiskey mengalir tiada henti, gue mulai memikirkan pernyataan si mbak guest captain, apakah betul gue juga telah menghargai yang jauh lebih dari yang dekat. Memang, alkohol itu suka membuat orang merenung kebanyakan.

Liga Persaingan antar Perempuan

Mas mantan masa kuliah zaman baheula dulu pernah ketauan selingkuh. Sebenarnya sih orangnya sudah cukup mahir menyembunyikan, dengan pemilihan lokasi selingkuhan dan pembagian waktu yang lebih cermat daripada waktu belajar. 

Namun sang selingkuhan cukup nyaring membanggakan pengalamannya ke teman-temannya. That she stole a guy. Bahwa pacar lelaki saat itu (gue) gagal mempertahankan hubungan. Bahwa ia pasti akan menang, mengingat ada beberapa competitive advantage seperti agama, yang ia miliki dibandingkan gue.

Meskipun zaman itu jejaring sosial kita baru Friendster, ocehan itu sampai juga ke telinga gue, di Boon Lay, ujung Singapura. Atau mungkin memang demikian tujuannya. Tapi waktu itu, gue tidak tertarik drama. Mempertahankan posisi di sekolah aja sulit pake musti mempertahankan lelaki. Mas Mantanlah yang gue labrak untuk langsung saja mengambil keputusan. 

Jangan Main-Main Bilang Cina

“Ini tulisan Cina-nya tolong dihilangkan,” ujar Mbak petugas visa China sambil melingkari alamat hotel dalam print voucher Booking.com yang menjadi salah satu persyaratan aplikasi visa.

“Tapi kan hotelnya di China?” gue bertanya masih belum mudheng.

“Iya, tapi nggak boleh tulis Cina, musti CHI-NA” jelasnya 

“Ini kan otomatis dari Booking.com-nya Mbak, bahasa Indonesianya chaina itu Cina!”

“Ya kalau gitu pakai versi Bahasa Inggrisnya aja!”
“Nggak ada, adanya versi Bahasa China.”
“Ya udah pakai Bahasa China!”
“Nanti saya nggak bisa bacanya…”
“Ya udah ilangin aja pokoknya itu kata Cina, cukup sampai kotanya saja, ya? Jelas?”

Pernah punya pengalaman ditolak aplikasi visa Chinanya, gue memutuskan untuk ngikut saja, daripada sekali lagi ditolak di negeri leluhur, padahal jadwal pameran buah-buahan sudah dekat!

Gue kemudian menyusuri gang-gang di balik Mega Kuningan untuk mencari tempat print-print-an yang membuka jasa photoshop guna mengedit voucher hotel. Sambil melangkah melompati gorong-gorong bolong, gue kembali merenungkan soal China, Cina, Chenes, Tiongkok, Tionghoa, Zhongguo, Cungkuo ini. 

Puas Main

“If you hadn’t been fooling around all these years, you would’ve been at home with three kids by now,” -masyarakat yang bijak.

And that was supposed to be a better future? Gue bertanya dalam hati, meski tentunya yang tampil di wajah adalah senyum lebar penuh ketulusan yang dilatih mereka yang punya pilihan hidup tidak mainstream dalam norma sosial. 

Selamat datang usia baru. Di mana pertanyaan ulang tahun mulai bergeser, dari ‘apa cita-citamu yang belum tercapai’ menjadi ‘apa yang disesali dalam hidup. Pertanyaan yang sulit. Gue banyak mau, tapi jarang nyesel. Lagipula, bagi gue, meniup lilin ultah usia 35 tahun terutama di era pandemi COVID 19 ini sudah merupakan sebuah pencapaian hidup.

Namun mungkin sudah waktunya gue mengikuti panggilan umur untuk mulai merenung dan berefleksi, meskipun ini bukan elemen gue banget:

Do I regret living my youth? Atau pertanyaan julidnya, do I regret wasting my youth? 

Ya enggak dong. Gue menjawab cepat. I have a rich youth! Tidak ada meja klub malam di Singapura yang belum pernah gue injak. Tidak ada satu halpun, satu pekerjaanpun, satu eksperimen sosialpun yang membuat gue penasaran, yang belum pernah gue coba.

Di masa muda yang singkat itu, beberapa hal absurd yang sudah pernah gue lakukan dan kepikiran saat ini antara lain:

  • Solo trip dengan bus 24 jam lintas perbatasan Vietnam-Laos yang supirnya bisa berhenti di tengah jalan lalu tidur
  • Dating three guys with the same first name at the same time
  • Dibayar klub untuk pura-pura bahagia dengan bayaran 75 dolar per jam (demi bergelas-gelas margarita untuk ngobrol filosofi di klub yang lain)
  • Masuk angin gegara harus shooting iklan dengan bikini seharian sambil pake hak 15 cm
  • Ngotot tinggal di dekat Orchard Road meski bareng pelacur
  • Nyantronin bandar substansi lokal di pinggir pantai dan menuntut ganti rugi
  • Mabok pinang
  • Dan segala kisah absurd yang telah mewarnai blog ini sejak tahun 2007.

Maaf mbak, itu bukan daftar pencapaian, tapi daftar kesalahan, demikian netijen berkumentar. Ya iya juga sih. Tapi gue seorang story-junkie. Dan jalan yang gue pilih telah membantu gue mengumpulkan banyak sekali cerita, baik tentang diri sendiri maupun orang-orang di sekitarnya. 

Tentu saja dalam proses ini ada pengorbanan. Kehidupan yang stabil di mata masyarakat. Bertemu dengan pria-pria baik-baik yang nggak banyak intriknya. Menikah. Making babies. Meskipun kenyataannya semua laki-laki yang lewat dalam hidup gue itu adalah kesalahan, tapi mungkin ada 1-2 yang ogah mampir karena katanya ‘Burung Sejenis Berkumpul Bersama’.

But you know what else you can’t have apart from babies when you are old? Having too much fun. Unleash your curiosity. Taking risks. Making mistakes and failures in exchange for life lessons. Getting free drinks every night. Pole dancing. 

Pada akhirnya, semua adalah tentang prioritas dan konsekuensi. Ada orang-orang yang menjaga diri bak porselain dan memiliki jalan hidup tenang yang penuh kebahagiaan. Mereka yang memilih jalan ini akan mendengarkan cerita-cerita konyol gue sambil tertawa dan mungkin terkagum-kagum, namun dalam hatinya berkata, gile ni orang, definitely not my cup of tea.

Mereka, tidak akan menjadi netijen julid yang sekadar mengingatkan seorang pengusaha yang sudah mengelilingi puluhan negara bahwa ia telah menyia-nyiakan masa mudanya dengan tidak berprokreasi.

Sebaliknya akan ada gue, yang sejak di usia belia sudah tahu persis gue bukan orang-orang yang hidup normal seturut kacamata masyarakat. Gue tidak pernah punya dream wedding. Sekalinya mimpi menikah gue langsung ruwatan karena konon mimpi tersebut merupakan pertanda malapetaka yang akan datang. 

Mencoba menuruti pola hidup yang dianjurkan norma sosial hanya akan menjadikan gue tante happy, atau nenek lincah yang menyusahkan anak-cucu di usia lanjut semata karena gue masih belum puas main. 

So, if I were to be given those 15 years back, I would do exactly what I did. A few minor changes of course, but not in a way I am living my life. I would still be fooling around, doing nonsense simply because it gives me life. 

Bahkan, saking tidak menyesalnya, gue masih terus memegang teguh semboyan ‘mumpung masih muda’ itu sekarang. Seperti ketika melepaskan jenjang karir untuk sebuah UMKM ekspor buah yang hingga kini gue belum tahu pasti akan happy-ending atau tidak. 

Gue masih akan terus bermain-main, bereksplorasi dalam hidup meski tentu sudah ada beberapa hal yang tidak dapat gue lakukan kini, seperti naik meja club atau keleleran dengan belly-button top. Takut COVID, dan terutama takut encok dan masup enjin.

Ya tapi itu kan sekarang, karena masih merasa muda, coba nanti kalau sudah merasa tua, pasti nyesel! Pasti kesepian! Ya bisa aja sih, never say never kalau kata Justin Bieber. Gue yakin bisa saja ada satu insiden yang mengubah pola pikir dan membuat gue memilih gaya hidup yang lebih domestik di satu masa. Sesuatu yang jika muncul terlambat akan menimbulkan penyesalan. 

Tapi itu nanti-nanti aja deh mikirnya, gue masih sibuk main!

Kebencian yang Mengalir Sampai Jauh

Apa hubungannya Presiden Prancis Macron dengan Pak Adi petani jeruk purut?

Ya nggak ada dong, gimana sih, kan kita yang boikot produk mereka, bukan kebalikannya… Eh gitu kan ya?

Di dunia yang terkungkung dan tidak saling terhubung, saat matahari bersinar cerah dan burung-burung berkicau, memang tidak ada hubungannya. Di dunia yang sedemikian, seruan boikot juga mungkin tidak akan terjadi. Prancis sibuk aja gelut sendiri. Indonesia, juga.

Tapi kita hidup dalam dunia yang saling terkoneksi. Dan di dunia semacam ini, sejauh kebaikan yang bisa mengalir hingga kembali pada pelakunya, pay it forward istilahnya, demikian juga kebencian, punya kemampuan untuk mempengaruhi orang-orang yang jauh dari jangkauan, bahkan hingga muter kembali ke diri sendiri.

Mutilasi Seksis

It was just another day… di komplek apartemen kami, di mana para tetangga mencoba bergosip bersosialisasi sambil mengakali aturan social distance yang diterapkan. Apalagi saat itu, ada kejadian luar biasa. Seorang tetangga kami tewas termutilasi, meskipun kejadiannya bukan di apartemen kami. Iya, kasus yang itu..

PENELITIAN KUNCI SUKSES SCAMMER DENGAN METODE OBSERVASI LANGSUNG

Bulan ketiga karantina rumah. Gue sudah menyelesaikan online course di bidang neuroscience, agribusiness dan academic writing. Semua bingo berantai tuntas sampai nggak nge-trend lagi.  Gue membayangkan semua kondisi ini tiga bulan lalu dan memutuskan gue harus mengambil satu kegiatan tambahan nirfaedah: meladeni love scammer. 

Iya, gue menanggapi message dari cowo-cowo bule berbaju tentara Ameriki yang lagi tugas di Afganistan, karena, WHAY NOT. Namun karena gue merasa malu karena sudah umur segini tapi masih juga berkutat dengan kegiatan-kegiatan nirfaedah, gue mengemasnya seolah-olah ini merupakan sebuah kegiatan yang gue sudah pikirkan dari jauh-jauh hari dan mempunyai manfaat. Maka, gue mengemas kisah pengalaman gue ini dalam format pseudo-thesis yang sering dibuat ketika kita merasa benernya nggak punya bahan tapi musti nulis semata-mata demi sebuah sertifikat.

Saya Menjadikan Diri Objek Penelitian untuk Menguji Rasisme Asia

“Dia scammer bukan sih?” 

“Afrika banget nih Gy?”

Gue tersenyum sambil mencatat dalam hati respon beberapa orang kenalan gue, ketika melihat gue dengan Di, seorang pesepakbola asal Pantai Gading. Gue tidak membantah, tidak memberi alasan, karena mereka, para kenalan, adalah bagian dari responden tanpa konsen dari tugas akhir gue, sebuah fitur tentang pendatang Afrika di Singapura. 

Kami menguji jika masyarakat yang disebut ‘siap akan keberagaman’ dan hobi mengutuk rasisme, bisa menerima pendatang yang berkulit lebih gelap dari mereka, dan mematahkan prasangka yang dimiliki dari awal. Sebuah penelitian, yang menjadikan diri gue sendiri sebagai bagian dari objek riset, menguji prasangka gue sendiri terhadap orang yang berkulit lebih gelap dari gue.

Tips Stay-at-Home dari Ahlinya

Hai gaes, gimana, udah mulai mati gaya di rumah? Sowry, kalau gue sih cukup selow. Gimana enggak, pas masa belum zamannya karantina mandiri, gue udah curi start duluan tahun lalu gara-gara retina lepas!  Maka sebagai self-proclaimed expert pada bidang nganggur di rumah, gue mau membagikan tips-tips supaya masa karantina mandiri para pembaca menjadi lebih bermakna. 

Semua adalah berdasarkan pengalaman gue di bidang ini yaitu harus berada dalam posisi telengkup selama DUA BULAN dengan balon gas dalam mata. Jadi kalau masih bisa tidur terlentang dan masih bisa maen laptop dan baca buku sih, itungannya masih level 1…

Selain itu, gue juga pernah menganggur selama setahun di Singapura. Okelah memang gak ada larangan ke luar rumah. Akan tetapi ini SINGAPURA, salah satu kota termahal dunia. Mencoba banyak mau di saat tidak punya penghasilan adalah sebuah tindakan bunuh diri, karena segera sebuah virus keputusasaan yang tidak kasat mata akan menerkam.

But I survive, and here’s the secret: 

The Girl from the Dragon’s Head (A.K.A Kelapa Gading)

2002

“Pokoknya, begitu kering, langsung kita pindah dari kelapa gading!” Begitu si mamih mencetus, di tengah keremangan malam, menghentak seekor entah belut entah uler entah jadi-jadian, yang sedari pagi ikut ngedeprok di pojok dapur. 

Kami sedang duduk melingkar di titik tertinggi rumah satu lantai kami. Setengah betis terendam banjir. Kutu air mulai merayap, leptospirosis juga mungkin. Listrik sudah dari dua hari yang lalu mati. Zaman itu belum ada powerbank dan internet, jadi hiburan kami cuma minicompo baterai D 4 butir, mendengar laporan banjir dan berharap pacar kirim-kirim salam, hingga baterainya habis. 

Namun begitu banjir mengering, kami sibuk bersih-bersih lalu nggak jadi pindah rumah. Cukup lama, hingga kembali merasakan banjir 2007, di mana saya hilang kontak dengan seluruh keluarga hampir seminggu. Ternyata, mamih papih itin mengungsi di pelataran sebuah kantor, hingga akhirnya dengan memeluk rice cooker, ada gerobak sampah yang dapat mengangkut mereka ke rumah kami yang lain… di Kelapa Gading juga, cuma lebih tinggi posisinya.

Kenapa? Karena kami saat itu yakin Jakarta bebas banjir itu cuma mitos, semacam bahwa Kelapa Gading berfengshui kepala naga sehingga biarpun didera banjir berkali-kali harga properti tetap naik. 

Kami yakin dan percaya bahwa banjir di Jakarta itu diakibatkan oleh curah hujan yang terlalu tinggi, dan karena seluruh warga Jakarta jorok suka buang sampah sembarangan, sehingga siapapun gubernurnya, gak bakal lah ada yang bisa membebaskan Jakarta dari banjir. Jadi percuma kan pindah ke mana juga pasti dalam tahun-tahun berikut kena banjir. 

Instead, kami ‘bersiap-siap’ menyambut banjir. Rumah kami memang bukan rumah panggung, tapi sowry, interiornya mengadopsi kearifan nenek moyang. Semua lemari punya ‘kaki’ minimal 10 cm, demikian juga kulkas, dispenser, bahkan sofa. Jadi berasa main jangkungan terus kalau di rumah.

Hingga 2012. 

Lalu berangsur-angsur, banjir itu menghilang dari wilayah rumah. Pertama-tama hanya banjir di garasi, lalu tidak sama sekali. Padahal curah hujan cukup tinggi, Puncak dan daerah resapan sudah mulai botak.

Barulah saat itu saya menyadari, banjir Jakarta itu bisa diatasi. Memang tidak semua daerah sudah bebas banjir, Kelapa Gading pun tidak, tapi ada perbaikan. Saya kasihan, sama mereka yang belum sempat merasakan perbaikan tersebut.

Banjir di Jakarta bukan banjir bandang seperti yang terjadi di Filipina, atau bahkan di Lebak. Juga bukan murni bencana alam seperti gempa bumi atau tsunami. Banjir di Jakarta disebabkan oleh buruknya drainase, yang tidak mampu cukup cepat mengalirkan air atau tidak punya kapasitas yang cukup untuk menampung. 

Ketika saya melihat kali-kali tidak dibersihkan, pasukan oranye tidak segesit dulu, trotoar baru membuat gorong-gorong menjadi lebih sempit, saya tahu hanya tinggal tunggu waktu banjir kembali. Dan betul, 2020 ini.

Apakah semua bencana alam terjadi akibat kepemimpinan yang buruk? Tentu tidak. Tapi apa yang terjadi di Jakarta, Banten, Bekasi? Ya. Termasuk gubernur-gubernur, walikota, bupati daerah-daerah tersebut, bukan satu orang saja.

Tapi saya warga Jakarta. Saya tidak merasakan banjir di Bekasi dan Banten. Maka saya tidak berhak mengomentari kepala daerah tersebut. Saya harap juga demikian dengan warga di luar Jakarta.

Sedangkan kami di Jakarta, biarkan kami menghibur diri dengan membuat humor. Kalau kata seorang komika, humor itu lucu karena ada korban. Makanya selalu ada orang yg kepleset, dilabur krim kue ulang tahun, dan ditoyor-toyor. Seringnya korbannya diri sendiri. Namun karena warganya sudah pada jadi korban banjir, maka mencari korban humor yang lain.

Sejujurnya saya tidak bisa membayangkan bertahan dirayapi kecoa yang begitu haus akan tempat kering tanpa peduli risiko dikepret, tanpa postingan memes, cerita, video dan celetukan netijen. Menurut saya orang Indonesia itu emang paling jago menghibur diri. Favorit saya adalah video orang lempar tali pancing dari atas kasur, terus tau-tau dapet ikan beneran. Gede banget lagi.

Sedih banget, ketika udah kebanjiran terus dilarang ketawa-ketawa sama orang-orang maha bijaksana yang entah kering kakinya, atau belum merasakan program perbaikan banjir dan yakin semua orang nasibnya sama, atau dari provinsi berbeda. Semoga semua amal ibadahnya ngebantuin korban banjir impas-impasan aja sama dosa riya pamer-pamer bantuan korban banjir di social media.

Ngomong-ngomong soal hiburan, terus zaman dulu gimana dong warga Jekardah menghibur diri? Kalau mamih memanfaatkan bantuan truk evakuasi tiap hari selama seminggu untuk numpang ke mall dari kompleks yang kebanjiran. Lumayan sekalian dapet biskuit sama Aqua tiap kali nebeng. Sampai beliau masuk liputan banjir Indosiar!