2002
“Pokoknya, begitu kering, langsung kita pindah dari kelapa gading!” Begitu si mamih mencetus, di tengah keremangan malam, menghentak seekor entah belut entah uler entah jadi-jadian, yang sedari pagi ikut ngedeprok di pojok dapur.
Kami sedang duduk melingkar di titik tertinggi rumah satu lantai kami. Setengah betis terendam banjir. Kutu air mulai merayap, leptospirosis juga mungkin. Listrik sudah dari dua hari yang lalu mati. Zaman itu belum ada powerbank dan internet, jadi hiburan kami cuma minicompo baterai D 4 butir, mendengar laporan banjir dan berharap pacar kirim-kirim salam, hingga baterainya habis.
Namun begitu banjir mengering, kami sibuk bersih-bersih lalu nggak jadi pindah rumah. Cukup lama, hingga kembali merasakan banjir 2007, di mana saya hilang kontak dengan seluruh keluarga hampir seminggu. Ternyata, mamih papih itin mengungsi di pelataran sebuah kantor, hingga akhirnya dengan memeluk rice cooker, ada gerobak sampah yang dapat mengangkut mereka ke rumah kami yang lain… di Kelapa Gading juga, cuma lebih tinggi posisinya.
Kenapa? Karena kami saat itu yakin Jakarta bebas banjir itu cuma mitos, semacam bahwa Kelapa Gading berfengshui kepala naga sehingga biarpun didera banjir berkali-kali harga properti tetap naik.
Kami yakin dan percaya bahwa banjir di Jakarta itu diakibatkan oleh curah hujan yang terlalu tinggi, dan karena seluruh warga Jakarta jorok suka buang sampah sembarangan, sehingga siapapun gubernurnya, gak bakal lah ada yang bisa membebaskan Jakarta dari banjir. Jadi percuma kan pindah ke mana juga pasti dalam tahun-tahun berikut kena banjir.
Instead, kami ‘bersiap-siap’ menyambut banjir. Rumah kami memang bukan rumah panggung, tapi sowry, interiornya mengadopsi kearifan nenek moyang. Semua lemari punya ‘kaki’ minimal 10 cm, demikian juga kulkas, dispenser, bahkan sofa. Jadi berasa main jangkungan terus kalau di rumah.
Hingga 2012.
Lalu berangsur-angsur, banjir itu menghilang dari wilayah rumah. Pertama-tama hanya banjir di garasi, lalu tidak sama sekali. Padahal curah hujan cukup tinggi, Puncak dan daerah resapan sudah mulai botak.
Barulah saat itu saya menyadari, banjir Jakarta itu bisa diatasi. Memang tidak semua daerah sudah bebas banjir, Kelapa Gading pun tidak, tapi ada perbaikan. Saya kasihan, sama mereka yang belum sempat merasakan perbaikan tersebut.
Banjir di Jakarta bukan banjir bandang seperti yang terjadi di Filipina, atau bahkan di Lebak. Juga bukan murni bencana alam seperti gempa bumi atau tsunami. Banjir di Jakarta disebabkan oleh buruknya drainase, yang tidak mampu cukup cepat mengalirkan air atau tidak punya kapasitas yang cukup untuk menampung.
Ketika saya melihat kali-kali tidak dibersihkan, pasukan oranye tidak segesit dulu, trotoar baru membuat gorong-gorong menjadi lebih sempit, saya tahu hanya tinggal tunggu waktu banjir kembali. Dan betul, 2020 ini.
Apakah semua bencana alam terjadi akibat kepemimpinan yang buruk? Tentu tidak. Tapi apa yang terjadi di Jakarta, Banten, Bekasi? Ya. Termasuk gubernur-gubernur, walikota, bupati daerah-daerah tersebut, bukan satu orang saja.
Tapi saya warga Jakarta. Saya tidak merasakan banjir di Bekasi dan Banten. Maka saya tidak berhak mengomentari kepala daerah tersebut. Saya harap juga demikian dengan warga di luar Jakarta.
Sedangkan kami di Jakarta, biarkan kami menghibur diri dengan membuat humor. Kalau kata seorang komika, humor itu lucu karena ada korban. Makanya selalu ada orang yg kepleset, dilabur krim kue ulang tahun, dan ditoyor-toyor. Seringnya korbannya diri sendiri. Namun karena warganya sudah pada jadi korban banjir, maka mencari korban humor yang lain.
Sejujurnya saya tidak bisa membayangkan bertahan dirayapi kecoa yang begitu haus akan tempat kering tanpa peduli risiko dikepret, tanpa postingan memes, cerita, video dan celetukan netijen. Menurut saya orang Indonesia itu emang paling jago menghibur diri. Favorit saya adalah video orang lempar tali pancing dari atas kasur, terus tau-tau dapet ikan beneran. Gede banget lagi.
Sedih banget, ketika udah kebanjiran terus dilarang ketawa-ketawa sama orang-orang maha bijaksana yang entah kering kakinya, atau belum merasakan program perbaikan banjir dan yakin semua orang nasibnya sama, atau dari provinsi berbeda. Semoga semua amal ibadahnya ngebantuin korban banjir impas-impasan aja sama dosa riya pamer-pamer bantuan korban banjir di social media.
Ngomong-ngomong soal hiburan, terus zaman dulu gimana dong warga Jekardah menghibur diri? Kalau mamih memanfaatkan bantuan truk evakuasi tiap hari selama seminggu untuk numpang ke mall dari kompleks yang kebanjiran. Lumayan sekalian dapet biskuit sama Aqua tiap kali nebeng. Sampai beliau masuk liputan banjir Indosiar!