Sudirman-Kelapa Gading, pada kondisi jalanan ‘normal’, sebenarnya bisa ditempuh dalam waktu 20 menit. Jika macet berat seperti pada jam pulang kantor atau jam berapa saja di bulan Ramadan, perjalanan bisa makan waktu 1,5 jam. Tapi di dini hari itu, di saat jalanan telah lengang ditinggal penggunanya, butuh 2.5 jam penuh untuk gue sampai di rumah.
Sepanjang jalan ada empat rombongan sahur bersama yang berbeda. Masing-masing nampaknya merasa jalanan Jakarta yang super lengang lepas tengah malam terlalu sempit untuk dibagi dengan pengguna jalan lain. Mobil lain dilarang melalui kelima jalur di Jalan Proklamasi di depan RSCM.
Belajar dari pengalaman tahun lalu, gue memilih bijak mengalah saja. Di jalan yang sama Ramadan lalu, gue menganggap bahwa empat lajur masihlah cukup bagi iring-iringan sahur dan maka dari itu menggunakan lajur kelima. Tapi rombongan sahur bareng tersebut punya pendapat lain. Beberapa motor besar memepet mobil gue, lalu menggoresnya dengan ujung kunci stang. Gue terpaksa berhenti di tengah jalan agar mobil gue tidak semakin baret.
Gue cuma berharap pahala membagi sahur cukup untuk mengimpasi kelalaian merusak barang milik orang lain yang didapat dengan susah payah. Atau mungkin, seperti kepercayaan beberapa kelompok, membuat susah orang ‘berdosa’ macam gue itu bukanlah sebuah kesalahan?
Sungguh, of all other thing, gue tidak rasis. Bersahabat dekat, sangat dekat, dengan rekan dari keyakinan yang berbeda jelas bukan indikasi sifat fanatik berlebihan. Gue tidak punya rasa kebencian terhadap agama manapun, atau ritual yang dijalankan. Ada beberapa kegiatan yang perlu ditoleransi meski orang tak menjalankannya.
Tapi insiden penggarukan mobil dan perjalanan Sudirman-Kelapa Gading yang lebih lama dari musim macet total terkadang membuat gue sedikit nekat mempertanyakan esensi sebuah kegiatan agama.
Apa gunanya berbagi rejeki pada yang memerlukan jika dalam perjalanan membuat seseorang kecelakaan karena mengantuk di jalan yang terlalu lama? Apa pahalanya menunjukkan solidaritas pada kaum miskin dengan makan bersama jika sebelumnya merasa sok paling benar, yang punya jalanan dan karenanya boleh merugikan mereka yang tidak berkegiatan sama? Apa baiknya berkumpul bersama jika kelompoknya jadi bersikap eksklusif dan mengganggu kepentingan umum?
Gue sungguh tidak punya masalah dengan inti kegiatannya. Di mata gue, berbagi sahur bersama adalah sebuah kegiatan yang positif dan mulia, bahkan perlu digerakkan oleh agama apapun juga. Tapi tanpa diikuti sifat yang sesuai dengan nafas sahur bareng, gue merasa kegiatan ini hanya menjadi sebuah acara seremonial belaka.
Seolah-olah berbagi sahur adalah syarat kebaikan yang mutlak. Dan karena telah melakukan kebaikan yang mentok, maka bebas bersikap apa saja. Seolah-olah berbagi sahur akan menghapus dosa segala dosa dan menjadi satu-satunya yang perlu dilakukan di dunia ini.
Padahal, bukankah seharusnya satu kegiatan yang ‘besar’ ini harusnya menjadi manifestasi segala ‘keberbagian sahur’ dalam kegiatan yang lebih kecil yang dijalankan sehari-hari? Saling berbagi, peduli pada lingkungan sosial, kebersamaan?
Tapi mengapa nilai positif ini hanya ada pada kegiatan yang besar itu? Sedangkan bahkan saat menuju kegiatan yang besar itu, yang terlihat malah nilai egois (tak berbagi jalanan), tidak peka (pada kepentingan jalan lain) dan eksklusivitas (dengan segenap pemakai jalan). Memangnya di mata Tuhan ada baik kecil dan baik besar? Hanya yang besar yang wajib dikerjakan, yang kecil tidak bakal dilihat?
Dan bukan cuma kegiatan sahur bersama saja yang diperlakuan seperti ini, tapi juga kegiatan amal ibadah agama yang lain. Membangunkan untuk sembahyang tapi menggunakan petasan banting jam tiga pagi dan membangunkan satu kompleks, termasuk mereka yang berbeda agama. Merayakan ulang tahun di panti asuhan, tapi membentak dan menampari pembantu. Ke Gereja tiap hari, ikut berbagai persekutuan doa tapi bergosip sebanyak dan sejahat…err…gue…
Bukankah selalu dikatakan jika seseorang setia pada perkara kecil, ia akan dipercayai untuk perkara besar? Sedangkan mereka yang lompat mengerjakan perkara besar terlebih dulu, biasanya bakal ngaco, karena tidak punya bekal pengalaman menangani perkara kecil.
Dalam hal ini, yang berhasil dalam hal kecil akan berprestasi lebih dari yang menangani hal besar. Meski kecil, setidaknya berhasil. Sedangkan yang besar, sudah gagal menangani yang besar, dan juga tidak pernah menangani yang kecil. Poinnya pasti kecil.
Seorang anak yang dalam hidupnya bersahaja, sederhana, tidak pemarah lagi tidak sombong, most likely akan menjadi teman makan bersama para anak yatim piatu yang menyenangkan. Meski ia mungkin saja tidak pernah punya kemampuan berbagi kue ulang tahun di panti asuhan.
Tapi seseorang anak yang tidak menghargai pemberian, selalu menuntut lebih, sombong, galak pada pembantu, pelit senyum, mungkin akan tetap memandang hina para anak panti asuhan. Ia mungkin hanya bisa berbagi kue, bukan kegembiraan pada orang-orang di sekitarnya.
Di mata gue sebagai pengamat saja, yang bukan anak panti, bukan orang kaya tapi juga bukan orang bersahaja, anak yang pertama lebih menguntungkan berada di muka bumi. Setidaknya menyenangkan beberapa orang.
Maka gue lebih menghargai jika seseorang dalam kesehariannya melakukan kegiatan yang considerate, sekecil apapun. Bahkan sekecil membuang sampah pada tempatnya agar tidak menyumbat sungai yang membanjiri daerah bantaran kali. Seremeh tidak ugal-ugalan di jalan raya guna menjaga nyawa orang tua dari sebuah keluarga. Sesederhana tersenyum ramah pada penjaja makanan yang lemot untuk menghargai dirinya sebagai manusia.
Bagi gue itu semua punya faedah yang lebih jelas daripada satu kegiatan grande satu kali yang tidak didukung sifat baik sehari-hari. Justru mereka yang belum bisa mengilhami nilai kegiatan tersebut di hal-hal terkecil sebaiknya tidak perlu ikut-ikutan beramal gila-gilaan.
Percuma saja. Prediksi gue, satu kegiatan itu tidak akan dilaksanakan dengan semangat yang benar, bahkan mungkin diwarnai sifat pamer, menjerumuskan orang lain ke dalam dosa karena semangat ngomongin dalam blog.
Tapi, siapalah gue untuk mengkritik kegiatan beragama. After all, gue bukanlah seorang ahli kitab. Gue bahkan bukan orang yang baik. Bagaimana mungkin gue bisa menilai baik buruknya kegiatan? Anggapan satu kegiatan baik yang besar jadi sia-sia karena seribu kegiatan kecil yang buruk, mungkin bukan cara pembukuan di akhirat.
Mungkin saja memang penghitungannya adalah setiap satu kegiatan baik yang terlihat besar, diliput TV dan ada bukti dokumentasi gratis lima dosa kecil seperti mabok-mabokan jelang subuh, memaki pemakai jalan yang bandel tidak mau dicegat, dan membuang bungkus makanan di kali.
Atau mungkin satu kegiatan baik yang melibatkan banyak orang nilainya adalah lima kali bersabar dan tidak marah-marah di jalanan ibukota jelang jam pulang kantor. Kalau begitu, gue mau menukar kesabaran dicegat empat kali dan kepasrahan dibaret mobilnya dengan nilai satu kegiatan ikut meditasi tujuh hari tujuh malam tanpa TV. Lumayan!