Admit it. I’m a bimbo. A real, life-size, true blue bimbo. Gue bangga dan menjaga dengan ketat kulit kuning langsat gue. Gue adalah pasien favorit dokter kulit, selalu rutin membeli segala paket perawatn meski muka sedang tidak berjerawat sekalipun. Penampilan adalah sebagian dari iman, dan layaknya mencari kunci surga, gue dengan taat mengikuti tips kecantikan dan mode terbaru.
Salah satu pencapaian gue di dunia kebimboan yang sulit ditandingi adalah berhasil mencatatkan namanya sebagai salah satu jenis minuman beralkohol di sebuah klub ternama Singapura. Passion Margarita—yang mengindikasikan berapa sering gue mengunjungi klub tersebut dan bagaimana tingkah polah serta penampilan gue saat di sana.
Tentu saja gue selalu berusaha menutupi jati diri gue ini. Seperti yang pernah gue observasi, wanita pemberani aktif berjiwa petualang (dan tetap berkulit mulus) sekarang sedang ‘in’. Maka sebagai bimbo sejati, gue mengaku sebagai seorang traveller, petualang, dan jurnalis.
Gue cukup sukses menghayati peran ini. Tidak ada seorang bimbo pun yang mau mencari berita di negara komunis dengan tingkat ranjau darat aktif terbanyak di dunia, ya kan? Ketika teman sesama peliputan ragu pergi karena takut menginjak ranjau, gue berkata dengan lantang, when you go, you go!
Tapi diam-diam gue menyusun rancangan peliputan yang jauh dari kata BOM, kemiskinan dan hidup susah. Gue mengajukan diri meliput kisah-kisah lifestyle saja, yang akrab dengan perusahaan rekaman, anak band, model iklan, dan penari latar. And I can tell you it’s a real life in style.
Di saat rekan peliputan berdekil-dekilan naik bus umum dan menawar tuk-tuk, gue berkaca mata hitam melakukan tugas peliputan dalam sebuah SUV. Sejak hari pertama tiba, gue sudah yakin uang saku 100 ribu sehari itu takkan cukup menjaga standard kesejahteraan. Maka dalam rangka mencari ‘koneksi peliputan’, gue langsung menjalin ‘pertemanan’ dengan anak gubenur dan menteri.
Oh, gue lupa menyebut kalau guna menjalin ‘pertemanan’ yang menguntungkan itu gue tak segan menggunakan kharisma bimbo gue untuk mendepak saingan terdekat.
Nonetheless, gue tetap sukses menyembunyikan kebimboan gue. Cerita-cerita dipublikasikan seperti jurnalis beneran. Keringanan dalam cerita justru dianggap sebagai sesuatu yang menyegarkan dan menjadi ciri khas. Berbagai perjalanan sukses gue lakukan sendiri, dengan hasil memuaskan.
Bahkan sangking baiknya penyamaran, diri sendiri ikut tertipu. Gue mulai mempercayai bahwa gue memang bernyali petualang. Dan kepercayaan ini membawa gue tidur di atas mesin diesel dalam kapal kelebihan penumpang ke Pulau Tidung. Menuju penanjakan Bromo serta menerobos hutan tanpa jalan seorang diri mencari Balekambang. Tidur di ranjang rawan kutu di cottage pinggir Tanjung Kelayang.
Dan yang terakhir, mengarungi pantai Ujung Genteng dengan motor, bahkan saat gue tidak bisa naik sepeda. Barulah saat gue terjatuh dan separuh betis gue terkena knalpot, gue menyadari, gue masih seorang bimbo.
Gue menangis histeris meraung-raung meratapi bagian kaki yang melepuh bahkan bolong di beberapa bagian. Bukan karena perihnya luka bakar, tapi lebih karena perihnya hati melihat kaki tak lagi mulus. Semakin meraung karena di dokter terdekat terletak 1.5 jam perjalanan, dan baru buka di pagi hari. Gue merengek minta pulang saat itu juga, padahal kami baru sampai dari perjalanan 7 jam lamanya.
Tak ada lagi hal yang gue inginkan kecuali langsung menuju Erha dan mendapat perawatan yang layak. Kalau perlu operasi plastik dan laser agar bekas luka bakar yang terkenal membandel bisa hilang tuntas. Rekan seperjalanan sudah kewalahan menghibur dan menangkis amukan bertubi-tubi dari gue.
Pemandangan penyu raksasa yang bertelur setiap hari di pinggir pantai berpasir halus juga tidak menghibur gue. Saat itu gue mempertanyakan apa pentingnya melihat penyu. Gue bisa hidup seratus tahun lagi tanpa pernah melihat penyu bertelur. Tapi gue bisa bunuh diri kalau kulit gue korengan. Tidak ada pemandangan seindah apapun yang lebih berharga dari kaki gue!
Sepulangnya dari Ujung Genteng, gue masih labil, bak habis terkena kecelakaan berat. Terkadang setelah mandi, gue akan kembali murung mengurung diri, menyesali kenapa gue harus sok-sokan travelling ke daerah terpencil Indonesia. Anak kota mau belaga tangguh. Selalu naik mobil mau ngejajal naik motor offroad. Buntutnya CELAKA.
Gue bertekad menjadikan bekas luka ini sebagai peringatan kali berikut gue mengira gue hobi bepergian. Gue tidak mau menambah bekas luka semacam ini. Di tempat lain, luka gue bisa lebih fatal lagi. Sudah ini terakhir kalinya, berhenti menipu diri sendiri.
Tapi berminggu-minggu setelahnya, gue semakin bisa menerima bercak kemerahan itu sebagai bagian dari hidup. Gue sudah tidak lagi jijik, malu dan frustrasi dengan perban putih yang mirip korden rombeng itu. Apalagi berkat obat Ching Wan Hung nan mujarab, bekas kehitaman itu langsung rontok dan tidak bertanda sama sekali.
Gue bahkan bisa melihat foto-foto Ujung Genteng gue, air terjun tiga sumber Cikaso, pantai landai dan Samudera Hindia menerabas karang, dan berpikir, how can I stop wanting to see these?
Bukannya jadi pengingat trauma, kaki gue malah memicu gue untuk terus berjalan-jalan. I’ve scarred. Gue tidak akan lagi diterima dalam fakultas kebimboan dan dibuatkan minuman khusus. So why don’t I just enjoy what’s left? A couple hundred thousand untouched beaches? Toh kalau gue borokan lagi, tidak akan mengurangi nilai apapun juga. Gue memang sudah tidak mulus lagi!
Sungguh ironis. People are afraid to get hurt. Tapi terluka adalah menjadi satu-satunya cara untuk menghilangkan ketakutan itu. Sekali luka tertoreh, seolah ada lapisan pengikat yang terlepas, membebaskan gue dari keraguan, batasan. Tiba-tiba saja gue seperti diberi kekuatan baru untuk melakukan hal yang dulu tak berani gue lalukan karena takut luka itu.
Melepaskan kebimboan, gue kembali teringat akan alasan mengapa gue jatuh cinta akan pekerjaan gue. Perjalanan ke tempat yang paling tidak pernah didatangi, pertemuan dengan orang-orang yang tak pernah terbayang di benak, dan kejutan yang paling tak terduga menjadi pengalaman sehari-hari. Alasan yang bukan sekadar karena ingin terlihat keren.
Gue bertekad mencari perjalanan baru, se-hardcore apapun, karena gue tahu cuma segitu rasanya luka. I can’t afford to stay still. There’re just way too many places I haven’t been witnessed. Dan untuk pengalaman maksimal, gue tetap akan menjabani apa yang harus dilakukan, termasuk naik motor berknalpot sekalipun.
Tapi memang saat terdekat gue akan naik motor adalah dengan skuter mungil keliling Roma. Yes, you hear me right. I’m going Europe. Tepatnya Monte Carlo, Nice, Rome, Paris. Dan kejutan yang paling tak terduganya adalah: Gratis. How I love what I’m doing!