Total antrian ada 36 orang. Sekarang giliran pasien nomor 2.
“Suster, ini apa nggak ada dokter kandungan yang lain? Gue berusaha memperbaiki nasib begitu mengetahui fakta ini, sambil meremas-remas kertas nomor antrian di tangan gue. Nomor 26. 24 orang lagi.
“Ada sih mbak…” jawab si suster gantung, seolah memberi hint bahwa meskipun antriannya sepanjang dosa, gue mungkin tetep akan memilih berpegang teguh pada pilihan pertama gue.Dan seolah memahami petunjuk implisit si suster, gue manggut-manggut lalu kembali mengambil posisi antri duduk.
Sungguh, gue sebenarnya nggak terlalu picky dalam hal memilih dokter kandungan. Gue bahkan tidak sedang hamil Jadi sebenarnya keahlian sang dokter tidak terlalu gue perlukan. Gue Cuma butuh satu orang manusia yang berhasil lulus spesialis kandungan agar sah untuk melakukan observasi di bagian yang membedakan gue dan sebagian besar populasi pria.
Tapi menimbang bahwa kita berbicara tentang organ intim di sini, organ yang sangat vital demi kebahagian serta kesuksesan masa depan gue, organ yang bagi sebagian pria adalah satu-satunya ukuran sahik tentang seorang perempuan, maka gue pun latah, mencari dokter yang favorit.
Sebenarnya gue nggak tau pasti kenapa dokter ini laku berat. Ini malam Senin. Hari kerja. Jam praktiknya kurang prime time. Sudah jam 8 malam. Gue lapar. Ibu-ibu ini kan makan buat dua orang, masa nggak lapar? Kalau begini lamanya, keburu lahir duluan nih bayi-bayi!
Tapi, ah..pasti ibu-ibu muda di sini sudah melakukan riset secara teliti untuk menjamin keselamatan si janin. Ibu muda biasanya kan lebih melek teknologi, mereka pasti sudah mendapatkan info yang cukup valid. Mother knows best!
Satu piring nasi bogana, satu bungkus tahu goreng dan satu sinetron kemudian, akhirnya giliran gue diperiksa. Dan begitu masuk, mengertilah gue mengapa para ibu muda memilih diperiksa rutin selama 9 bulan oleh pak dokter.
Di hadapan gue, berdiri seorang dokter ganteng bertubuh tinggi besar super macho dengan senyum menawan. Sang dokter yang ramah menyapa gue, suaranya bass bariton. Pribadinya yang hangat membuat para pasien merasa nyaman mendiskusikan masalah kesehatannya.
Sesaat gue teringat seorang rekan kerja dulu saat memilih dokter kandungan. Menurutnya, skala prioritas para ibu hamil adalah sebagai berikut:
Skala Prioritas | Jenis Dokter | Plus | Minus |
1 | Dokter kandungan perempuan | Biar nggak malu kalau diliat-liat |
|
2 | Dokter kandungan pria yang sudah tua |
|
|
3 | Dokter kandungan pria, yang masih muda DAN ganteng-gay |
|
|
4 | Dokter kandungan pria, masih muda, ganteng pula! |
|
Bapaknya bisa cemburu, tapi balik lagi, kan kebahagiaan sang buah hati yang utama kan ya?? |
Melihat plus minusnya, sangat wajar bahwa meski skala prioritasnya di bawah, dokter muda, dan ganteng, akan jadi pilihan paling utama dari para ibu hamil1
Saat itu, gue tentunya hanya diperiksa sebentar sehingga tidak dapat mengetes keahlian sang dokter. Mungkin aja sih, ada orang yang sempurna-sempurna gitu. Udah ganteng, ramah, jago pula sebagai dokter. Tapi itu lain soal, Sudah ganteng, ramah, dokter spesialis pula. Itu penting.
Gue tersenyum kecil menyadari fakta ini. Siapa bilang manusia itu obyektif? Manusia itu makhluk subyektif dan akan selalu mendasari preferensinya atas dasar hal paling shallow di muka bumi: hal fisik.
Bohong. Bohong besar kalau semua manusia di muka bumi ini punya kesempatan sama untuk sukses. Kesesuaian TAMPANG dengan profesi adalah yang paling menentukan. Ibu hamil aja milih.
Dan bukan selalu bahwa yang GANTENG pasti berhasil, tapi yang SESUAI yang pasti akan dipilih. Coba aja ke lampu merah. Siapa yang bakal dikasih? Nenek-nenek dan orang cacat atau pengamen kaleng dan banci kaleng?
Kalau gue, semua nggak gue kasih. Soalnya gue pelit, dan ingin mendukung program pemda (alesan), tapi dalam keadaan tertentu, gue membuat pilihan yang dilakukan mayoritas orang di Indonesia.
Suatu kali gue didekati oleh banci loleng di lampu merah Rawamangun arah Kelapa Gading.“Cici…cici, bagi gopek dong.. buat beli shampo…” Gue jelas langsung menolak. Gue kerja cape-cape Cuma buat beliin banci shampoo??
Lalu datanglah seorang nenek, “Mbak, kasihan mbak.. belum makan mbak..” Dan hati nurani gue pun terketuk. Gue memberi selembar uang lalu mendapat sepotong doa-doa.
Berdasarkan observasi terhadap lampu merah rawa mangun menuju Kelapa Gading, proporsi mobil yang ngasi nenek atau orang cacat berbanding pengamen dan bencong adalah 5:1.
Bukan karena mereka paling enak dilihat, tapi karena mereka memiliki kondisi fisik yang paling sesuai untuk profesi yang dijalani. Mana-mana, kita memberi pada pengemis karena iba. Maka kita cenderung akan memberi pada mereka yang membuat kita paling kasihan.
Lagipula, gue juga males didoakan sama bencong yang doa buat dirinya sendiri belum tentu didengar Tuhan. Selain karena ancaman spion mau dilepas dan mobil mau dibaret, gue rasa tidak aka nada orang yang ridho-ridho amat ngasi duit ke banci lampu merah.
Bukannya gue bilang praktik ini salah atau salah satu pihak memanfaatkan kondisi. .Kalau masih sehat, dan muda, ngapain jadi pengemis? Sono cari kerjaan beneran! Tapi yang jelas, bahkan sebagai pengemudi, manusia telah membuat pilihan berdasarkan kondisi fisik terhadap satu kegiatan yang terjadi di lampu merah.
Perkara apakah si bencong itu lari ke jalan karena memang tidak ada yang mau memberikannya pekerjaan, atau si orang yang bertampang sehat ternyata punya penyakit jantung yang membuatnya tak bisa kerja berat, tidak masuk dalam pertimbangan di masa lampu merah 60 detik.
Di sisa lampu merah sesaat setelah gue bederma pada nenek, gue menangkap bayangan si banci loleng yang tadi sedang berada di sisi lain jalan. Ada anak pengemis yang digendong ibu penyewanya nangis jejeritan. Mbak bencong spontan langsung joged-joged menghibur. Lalu diberikannyalah sekeping gopekan yang membuat anak pengemis itu berhenti menangis. Sesuatu yang dilakukan tanpa sadar ada mata lain melihat.
Sesaat gue bertanya apakah gue telah melakukan pilihan pemberian sedangkal ibu-ibu pilih dokter kandungan. Si mbak bencong, biarpun pendapatannya lebih sedikit, malah lebih tanggap berbagi dan menghibur orang lain yang kesusahan. Mungkin saja mbak bencong sebenarnya adalah ayah si anak. Mungkin saja, ia lebih membutuhkan selembar uang gue untuk membeli susu anak-anaknya…
But that’s how, we, human, operate every single moment in our life. Membuat pilihan yang mungkin mengorbankan pihak lain, berdasarkan ciri fisik. Impresi pertama. Dan jarang yang dapat kesempatan meng-undo pilihannya karena diberi waktu memilih yang lebih lama.
Bahkan kalau diberi waktu lama, mungkin juga tetep mau mengandalkan ciri fisik. Gue misalnya, sudah bertekad: next papsmear dan jika suatu hari nanti, gue hamil, gue akan langsung ambil nomor antrian baru di dokter Boy!