Banjir Manado Vs Banjir Jakarta

“Ngana tahu, kita ni satu-satunya kota di Indonesia, kena banjir bandang tapi nggak buka dompet bencana alam,” begitu si tante dengan bangga, sesaat ketika gue mendarat di Bandara Sam Ratulangi Manado.

Sebagai seseorang yang dalam satu situs tes kepribadian dinilai empatinya sudah mati, hal pertama yang gue sadari ketika berita banjir bandang di Manado disiarkan adalah langsung munculnya berbagai iklan penerbangan banting harga perjalanan ke Manado.

Google Ads terus menerus bersinar-sinar mempromosikan dengan gencar rute yang di hari-hari normal TIDAK AKAN PERNAH didiskon. Membuat tangan impulsive gue bergerak dan menyatakan ‘Ya! Gue pergi ke Manado!’ saat itu juga.


Sebuah keputusan yang langsung direspon negatif oleh orang-orang sekitar.
“Loe gila ya Gy! Manado kan lagi banjir bandang!!”
“Yee.. banjir bandangnya kan kemaren! Sekarang mah uda kering!” Gue mencetus membela diri.
“Tapi banjirnya di Manado tuh BANJIR BANDANG meenn… bukan banjir selokan mampet kayak di Jakarta! Itu tuh pasti kerusakannya gawat banget, loe ga bakal bisa tinggal di mana-mana!”
“Masa sih?” Gue mulai nggak yakin. Sekujur diri gue dilimpahi rasa bersalah. Bagaimana mungkin gue sibuk merencanakan pergi liburan di saat masyarakat lain kesusahan?

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Tiket, biarpun korting, sudah di tangan, maka gue memberanikan tetap pergi, di tengah hujan mendung hari itu. Dan rasa khawatir gue seketika hilang, begitu menaiki pesawat penuh dengan manusia Manado siap pulang kampung.

Tetangga duduk gue,bersama dengan lima temannya, datang untuk menghadiri pesta kawin. Tetangga depan gue, akan menghadiri pesta pemberkatan rumah baru. Biarpun salah satunya rumahnya kerendem sampai atap, dan yang lain tokonya tinggal rangka, tidak ada satupun yang tampil dengan wajah muram. Dan tidak ada satupun, yang ingin pulang karena menengok banjir.

Tiba di Manado, gue mendapat kesan yang sama. Tidak ada pengemis, pengamen atau mahasiswa peminta sumbangan dadakan. Tenda pengungsian sudah ditinggal hampir kosong. Dan betul kata si tante, tidak ada dompet peduli bencana. Yang ada hanya keluarga-keluarga sibuk membersihkan rumah pasca panjir dan membuang isinya hingga rumah kosong melompong.

Jika bukan karena tanda banjir hingga lantai dua di Balai Kota. Atau showroom mobil kosong melompong isinya rusak semua. Dan jalanan pinggir kali tertutup lumpur hingga tak terlihat batasnya. Gue mungkin bisa lupa mengira bahwa Manado baru saja tertimpa bencana yang sedemikian dasyatnya.

Sebenarnya saat itu gue merasa malu.

Banjir di Jakarta sama sekali nggak seberapa dibandingkan banjir di Manado. Apalagi banjir di Kelapa Gading yang hanya cuma semata kaki di garasi. Tapi paniknya bukan main. Satu kantor sibuk mengeluhkan betapa repotnya membersihkan rumah yang terendam banjir. Lumpur yang berkerak dan barang-barang yang rusak.

Namun mengeluhkan banjir yang segitu saja ke supir taksi yang sekolah istrinya kerendem sampai atap, membuat gue terlihat cemen sekali. Si supir taksi langsung menyanggah ketika gue bilang Jakarta juga banjir. “Tapi di Jakarta kan banjir diam! Bukan banjir bergerak macam di sini!”

Gue teringat ketika Jepang terkena tsunami dasyat beberapa tahun silam. Waktu itu gue dibuat iri dengan betapa tangguhnya warga Jepang itu. Tanpa banyak meraung-raung menangis, mereka mengantri tertib untuk mendapatkan ransum pangan. Tidak berebut. Tidak mengeluh kurang. Tidak merampok.

Gue pikir itu hanya bisa terjadi di Negara semacam Jepang, yang matang dan punya kebanggaan diri. Tapi hal yang sama terjadi di Manado saat terjadi ‘tsunami banjir’ dan mungkin orang Manado memang punya apa yang warga Jepang punya itu. Kebanggaan diri.

Atau kata orang dari daerah lain, gengsi. Sudah jadi stereotip, kalau orang Manado itu gengsinya tinggi. Di Manado memang tidak ada pengemis atau pengamen. No..no.. gengsi, jo! Apa kata tetangga nanti!

Jualan di Manado juga menyenangkan. Kata pemilik sebuah toko elektronik, orang Manado tidak suka nawar. Barang mahal laku, barang murah dicurigai barang black market.

Tidak heran, di dunia, Manado sering dicatat sebagai salah satu daerah di Indonesia dengan tingkat ekonomi terbaik. Mobil-mobil SUV berseliweran, pesta banyak diadakan, barang-barang mewah laris. Orang-orang berpenamilan trendi. Nenek-nenek penjual kacang di pinggir Danau Tondano saja pakai blazer matching.

Gengsi menjadi boros, mungkin begitu juga stereotipnya. Ketika banjir malah tinggal di hotel, padahal biaya tinggal di hotel satu bulan bisa untuk mengganti barang yang rusak.

Namun gengsi juga mengindikasikan kepercayaan diri, keyakinan akan kemampuan diri sendiri. Di mana-mana di Manado, semangatnya adalah ‘mari jo kita bangkit!’ Tidak ada keinginan untuk mendapat belas kasihan, atau dianggap ‘tidak mampu’ mengatasi banjir.

Dalam koran daerah setempat, semangat, bukan bombastis mengeluhkan dasyatnya bencana yang tampil. Seorang ibu yang kehilangan atap rumahnya lebih mengeluhkan harus pakai daster pinjaman tetangga daripada meratapi atap.

Bukan gue bermaksud mengatakan bahwa tidak boleh berbelas kasih pada daerah yang terkena bencana. Posko dana terus digalang di Jakarta, dan gue merasa Manado dan daerah lain yang sedang terkena bencana di Indonesia masih tetap memerlukan dukungan.

Namun gue ingin meniru sedikit kebanggan diri model orang Manado ini. Bukti nyatanya di depan mata: Manado menjadi begitu cepat pulih dari banjir bandang yang sempat melandanya. Tiga hari setelah banjir surut, restoran sudah ramai. Mobil-mobil berseliweran melakukan aktivitas. Jalanan longsor sudah ditutup dan dialihkan.

Sedangkan wisatawan dengan cepat mengatasi keraguan dan menikmati perjalanan. Gue sempat khawatir ketika akan pergi ke Tomohon, mengingat adanya jalur longsor yang rusak parah. Namun ternyata perjalanan jauh lebih nyaman dari yang gue duga.

Ada jalur alternatif. Tomohon dan Tondano juga tetap ramai, dengan berbagai penutupan jalan untuk berbagai acara. Rumah kayu terus dibangun di Woloan.

Gue tetap sakses menikmati mujair Danau Tondano dan perkedel nike sambil menikmati hamparan danau dan aktivitas nelayan, meski di tengah hujan deras.

Biapong tetap disuguhkan dengan kopi susu khas Kawangkoan di kedai kopi, yang ramai dengan penduduk setempat bacarlotta alias bergusip. Mungkin seperti kata Kak Seto saat memberi konseling trauma pada anak-anak pasca banjir, ‘harta boleh hilang tapi kita harus tetap gembira!’

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *