Beda sejak lahir, atau…lahir untuk berbeda?

Tokoh yang jadi topik pembicaraan sarapan pagi gue dan nyokap pagi ini berasal dari sebuah suku yang menurut stereotipe bersifat curang, pelit, licik dan bengkok. Nyokap menyebutnya sebagai pemuda yang cerdas, berpotensi maju dan pandai bergaul.

“Tapi curang,” gue berkomentar.

“Enggak selalu. Inget R kan? Papanya orang situ, tapi baik banget. Orang mah sama aja, mau darimana asalnya juga, kalau yang baik ya baik, yang jahat ya jahat, gak berdasarkan suku.” Nyokap gue menimpali.

 

“Ya…ya…” gue mengangguk sambil mengoles mentega pada roti.

Gue baru saja berkutat dengan ‘perbedaan cara pandang pria dan wanita’ minggu lalu, membuat gue bertanya-tanya bagaimana bisa gue berbeda? Dan Keluarga R yang dijadikan contoh persamaan antar segala bangsa pagi ini, adalah perkenalan pertama gue pada hal yang disebut ‘perbedaan’, pada usia empat tahun.

 

Jauh sebelum gue mengenal Oknum R sahabat baik gue sekarang, gue berteman dengan Oknum R yang pertama. Keluarga R tinggal satu kompleks dan ibu kami bersahabat dekat. Terlebih jaman itu, cuma ada satu TK di kompleks kami, yang kebetulan bernafaskan Katolik, maka kami dimasukkan ke sekolah yang sama.

 

Tidak seperti bocah lelaki pada masanya, R adalah anak lelaki yang sopan, tidak suka mengejek dan menjahili anak perempuan, tidak nakal. R juga tidak suka bermain lari-larian atau berteriak-teriak. Ia lebih suka menggambar atau mendengarkan cerita.

 

Satu hal lagi yang aku juga ingat tentang R, ia selalu men-spot perbedaan diantara kami. Perbedaan pertama yang ia sebut adalah bahwa aku perempuan dan ia laki-laki. Aku bilang omong kosong. Aku bisa berlari setangkas dia, bisa berhitung secepat dia, bisa menggambar seindah dia. Tidak ada hal yang bisa R lakukan yang tak bisa aku lakukan.

 

R lalu bilang perbedaannya ada pada pakaian. Makanya kalau renang R hanya pakai celana renang sedangkan aku harus memakai baju renang panjang. Aku bilang omong kosong. Temanku perempuan Cuma pakai celana ketika berenang kemarin. Itu masalah pilihan saja.

 

Perbedaan berikutnya yang R yakini adalah warna kulit. Aku yang kuning langsat dan dia berkulit sawo matang. Aku bilang omong kosong. Lihat ayah R, kulitnya juga agak kuning. Apa R berbeda dengan ayahnya, aku menantang. Lalu lihat mata kami, besarnya hampir sama.

 

Suatu kali, R menggambar dua buah kuburan. Kuburan yang pertama diberi nisan dengan tulisan arab, sedangkan yang kedua punya nisan berbentuk salib. “Berbeda dong,” jelasnya. Ia akan dikubur di kuburan pertama karena ia Muslim, sedangkan aku di kuburan kedua karena aku Katolik. Aku mengangkat bahu, sama saja, toh kuburan ini letaknya berdampingan, sama seperti sekarang, kita akan tetap jadi tetangga.

 

Satu-satunya perbedaan yang tidak bisa kubantah adalah kami punya senyum yang berbeda. Deretan gigiku tonggos dengan struktur rahang menyerupai paruh burung, sangat berbeda dengan deret gigi susunya yang berderet rapi. Aku mengatupkan bibirku dan berjanji dalam hati pada gigi susu terakhir yang tergantikan gigi tetap, aku akan memasang kawat gigi.

 

Beberapa tahun kemudian, di usia SD, saat anak-anak yang lain masih sibuk dengan permen, coklat dan gulali, aku tabah menahan sakit kawat gigi yang semakin menyiksa tiap minggu, menghindari makanan manis yang bisa menyelip di kawat.

 

Terlepas dari segala ‘perbedaan’ yang ada, kami berteman akrab. Bersama kami akan anteng di sudut ruangan. R akan menggambar dan dari gambar itu aku akan mulai mengarang-ngarang cerita. Sanking serunya bermain, R selalu menangis jika waktu kunjungan kami berakhir.

 

Lalu tiba-tiba R dipindahkan dari TK-ku. Konon itu karena R dapat mengarang doa Katolik dan hafal ‘Salam Maria’ lebih cepat dariku. Sangat mengkhwatirkan. R langsung dipindahkan ke TK Al-Azhar yang kebetulan baru buka cabang di Kelapa Gading.

 

Aku tak mengerti mengapa R harus pindah TK. Kata ibuku, ia dipindahkan ke TK dimana anak-anaknya ‘lebih sama’ dengan dia. Aku tak bisa menerima. Memangnya aku tak sama dengan R? Aku teringat teman yang harus cuti sekolah karena cacar air dan takut menular. Lebih berbahaya dari cacar airkah perbedaan itu sampai R harus pindah TK?

 

Ketika masuk SD, kami masuk SD yang berbeda. Aku ke SD katolik dan R melanjutkan ke SD Al-Azhar. Meski tak sesering waktu TK, R masih sering bermain ke rumahku untuk belajar bersama. Suatu hari R membuka lembar buku pertanyaan ARIF lalu menunjukkan bagian AGAMA KATOLIK dan AGAMA ISLAM. R bilang, pada ujian nanti aku akan mengerjakan yang pertama, ia yang kedua. Apa bedanya, pikirku. Di sekolah aku diajarkan bahwa semua agama itu sama baiknya.

 

R menantangku mengerjakan soal-soal Agama Islam. Aku langsung mulai menjawab, bagian pertama…kedua..masih lancar, lalu tiba bagian keempat, Bahasa Arab. Aku tak pernah diajarkan Bahasa Arab. Aku diam. R telah berhasil menemukan perbedaan di antara kami. Ada sesuatu yang bisa ia kerjakan tapi tak bisa aku kerjakan.

 

Menjelang tengah SD, R sekeluarga pindah rumah ke daerah selatan Jakarta. Kata ibuku, daerah itu lebih kondusif untuk perkembangan hidup R daripada di Kelapa Gading. Ia bakal bergaul dengan orang-orang yang ‘lebih sama’ dengannya. Lebih sama apa lagi lagi sih?! Pikirku. Belum cukup ya dia disekolahkan di sekolah yang orangnya katanya sama semua?

 

Tapi tetap pindahlah R ke ujung Jakarta yang satunya lagi dan waktu pertemuan kami hanya terbatas pada 2x setahun, di hari raya terbesar kedua agama. Lambat laun, kami tumbuh menjadi orang yang semakin berbeda. R menjadi seorang lelaki, suaranya pecah menjadi berat, dengan kulit legam terbakar matahari di lapangan basket. Gue jadi perempuan, takut kena sinar matahari dan harus pakai baju terusan saat berenang.

 

R sudah tidak tertarik mendengarkan cerita dan khayalan. Ia lebih suka main games tonjok-tonjokkan. Kadang, saat sedang bertandang ke Rumah R, gue malah lebih suka ngerumpi dengan seorang teman perempuan R.  Gadis murid sekolah negeri berkulit sawo matang yang tinggal di daerah Selatan.

 

Ritual berjumpa setahun 2x itu berlangsung beberapa tahun hingga entah siapa yang mengakhirinya, kami hilang kontak. Seperti sudah ada aturannya, gue masuk SMA dengan kepala sekolah suster lalu kuliah di Singapura. Sedangkan R masuk SMA negeri lalu kuliah teknik di perguruan tinggi negeri.

 

Sejak itu, mungkin saja gue pernah berpapasan dengan R tanpa sengaja, tapi kami tak akan saling mengenali. Kami sudah berbeda. Lingkungan pergaulan, letak geografis, kebiasaan, tak memungkinkan kami untuk bertemu lagi. Gue menganggap memang sudah begitu jalannya. Bahwa kami memang berbeda sejak bayi.

 

Tapi gue teringat,  kami tidak berbeda ketika dilahirkan. Kami juga belum berbeda lima tahun setelah dilahirkan. Lalu kami dibentuk dan dijadikan manusia yang berbeda. Were we born differently? Or were we born to be different?

 

Setiap anak diajarkan di sekolah dan keluarga bahwa manusia itu sama, tak peduli suku, agama, ras, golongannya. Tapi seiring masuknya tiap anak itu ke dalam masyarakat, mereka belajar pengelompokkan, mereka dikelompokkan secara paksa dan alami, lalu belajar menerima pengelompokkan secara absolut.

 

Gue terpisahkan dari sahabat kecil gue karena kita berbeda, tapi seandainya gue punya anak, gue juga akan memasukkannya ke TK Katolik, dan membesarkannya di Kelapa Gading, supaya ia bergaul dengan kalangan yang ‘sama’ dengannya. Gue tidak akan mempertanyakan definisi ‘sama’, atau meragukan jika bergaul dengan orang yang sama adalah yang terbaik. Gue akan mengikuti cara seluruh dunia dibesarkan. Dan anak gue akan mengikuti caranya dibesarkan.

 

Gue tak ingat kapan terakhir kali gue melihat R, mungkin sekitar 9 tahun yang lalu. Tapi gue akan selalu teringat padanya tiap kali gue tersenyum, menampilkan sederet gigi putih bersih berderet rapi karena dirapikan kawat gigi dan dijaga sejak kecil. Senyum yang telah membawa banyak kemudahan dalam hidup gue ketika berhadapan dengan siapa saja, di berbagai negara untuk tujuan apa saja.

 

Sungguh ironis, senyum, kemampuan berbahasa yang sangat universal ini gue dapatkan justru dari bocah yang mengajarkan bahwa gue berbeda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *