Belajar Sabar dari Iceland

Bus wisata double-decker keliling Reykjkavic itu dengan kencang membelok ke pemberhentiannya, menyerempet keras mobil Audi putih mengkilap yang parkir terlalu dekat ke bus stop Laekjargata, jalan kuno andalan ibukota Iceland. Sisi kiri si mobil remuk seketika, spionnya lepas, engsel pintunya gondel-gondel.

 

“You have hit a car, my friend!” seru si pemilik mobil pada supir bus, yang seketika menengok. Sang supir meminta maaf. Ia berjanji bertanggung jawab. Datang aja besok ke kantor, maaf saya sekarang musti nganter penumpang. Iya, saya ngerti, respon si pemilik mobil, lalu mereka salam-salaman. Lah emangnya masih lebaran?

 

Sebagai orang Indonesia sejati, gue menatap adegan tersebut dengan muka ngeri. Kalau kejadiannya di Jakarta, sudah pasti bakal ada saling bentak. Supir bus akan menyalahkan audi putih yang parkir terlalu dekat dengan pemberhentian bus. Audi putih bakal sengit minta KTP supir bus saat itu juga. It’s gonna get ugly.

 

Lain hari masih di jalanan Reykjavic, si mamih berkomentar, ‘nih orang es pada sabar-sabar banget, mamih baruuu aja kepikiran mau nyeberang, ehhh.. mobilnya udah pada berenti duluan. Belum nyeberang nih, baru ancer-ancer!” Padahal seperti tradisi negeri asal, kami nyeberangnya bukan di zebra cross. Sebuah aksi yang di negeri lain akan berbuah penyerempetan, atau setidaknya klakson panjang merentet.

 

Ketika gue curhat pada pemandu wisata yang membawa kami ke glacier lagoon, ia tertawa lepas dan merespon, ‘ya elah, kalau kayak gitu aja mau dipermasalahin, orang Iceland gak bakal survive, bisa mati, MATI semua!’

Gue manggut-manggut, mengerti logika jawaban tersebut.Kalau orang-orang Islandia ini mau mengeluh, daftarnya sudah pasti panjang. Letaknya yang terlalu ke utara membuat iklimnya secara konstan bikin tulang sakit. Gue dateng pas summer, pas suhu lagi tinggi-tingginya. Sekitar 8-11 derajat lah. Kebayang dong musim dinginnya kayak apa. Celana gemes gak bakal laku.

 

Belum lagi posisinya di antara dua lempeng tektonik benua Amerika dan Eropa yang terus-menerus bergeser, membuat Iceland seperti supermarket bencana alam. Apa aja ada. Mulai dari gempa bumi, gunung meletus, badai pasir, banjir glacier, hujan es balok sebesar 80 cm, tanah longsor, angin topan yang menerbangkan bus wisata dan lain sebagainya.

 

Gunung meletus di abad yang lalu menghilangkan 90% vegetasi di Iceland, menyisakan padang lava gersang dengan beberapa kamar magma seluas beberapa kilometer. Bercocok tanam hanya bisa dalam glass house.

 

Hingga kini, wajah Iceland masih terus berubah drastis. Ada desa yang mengalami gempa 12 kali seminggu, dan setiap kali gempa bisa tau-tau muncul geysir di ruang tamunya. Mereka nggak brani membangun apa-apa, takut besok udah ilang lagi.

 

Teorinya, tinggal dengan kondisi semacam ini bisa membuat anak manusia menjadi keras, penuh kebencian dan protes tiada henti pada Tuhan yang menjadikan mereka bak anak tiri.

 

Namun sebaliknya, tidak sekalipun gue mendengar mereka mengeluhkan kondisi alam atau membandingkan dengan negara lain. Mereka bicara tentang bencana dengan mata berbinar-binar, ‘we are very blessed with our powerful nature!’

 

Gunung yang pernah memusnahkan 70% populasi Iceland bagi mereka telah begitu baik memberikan energi geotermal yang melimpah. Mereka jadi bisa punya listrik yang ramah lingkungan dan relatif murah.

 

Perkara riset 10-12 tahun yang harus dilakukan di setiap sumber energi baru dianggap sebagai proses yang wajar. Kalau gempa suka bikin pipa gas bocor? Ah emang bumi suka begitu. Dibikin zig-zag aja pipanya, jadi kalau bocor gak semuanya musti diganti.

 

Cuaca yang tak menentu, sering hujan, angin ribut, ditanggapi enteng oleh masyarakat Iceland. “Nggak suka cuacanya? Tunggu aja 10 menit, ntar juga berubah lagi.”

 

Bahkan, global warming yang membuat glacier Iceland lebih cepat mencair, dan suhu makin dingin tidak membuat orang Iceland marah. Duluuuu, kata mereka, suhu di sini pernah lebih panas lagi, sebelum jaman es. Nature will sort itself out, ujar mereka, sekarang, nikmati dulu air minum segar dan sehat hasil lelehan es!

 

Respon yang langsung menampar gue bolak-balik bak ekor paus yang ngajak main di samudera Atlantik.

 

Ada begitu banyak kebencian dalam negara gue. Kita gak suka pemerintahnya, kita gak suka kalau orang punya opini yang berbeda, kita gak suka sistem peradilannya, kita ga suka infrastrukturnya, kita gak suka kalau kita miskin.

 

Padahal, there’s so much to love about Indonesia. Gue gak perlu tiap pagi bangun ngeliat ramalan cuaca, untuk mengetahui baju apa yang perlu dipakai guna mencegah hipotermia. Musim yang perlu gue antisipasi cuma musim manggis yang geser dari satu pulau ke pulau lain hampir sepanjang tahun.

 

Iklim yang begini bikin segala jenis buah dan tanaman tumbuh subur. Kemarin baru diicip, air kelapa di Sukabumi Selatan adalah yang paling manis di dunia, setaraf dengan air kelapa di Brazil. Dan kita sibuk komplain kenapa kita tidak punya rekayasa genetika kelapa pandan seperti di Thailand. Because we don’t need to! We have the best variety!

 

Lalu, ketika ada hal yang tidak kita sukai, yang dilakukan berikutnya hanya protes, ngeluh, protes. Boikot di sana, ngambek di sini. Hey, do something real! Buatlah perubahan! Gak suka prinsip hidup orang barat, buat alternatif produknya dengan kualitas dan rasa yang bisa jadi pembanding.

 

Gak suka kebijakan ekonomi pemerintah, secara aktif jadilah pelaku ekonomi itu sendiri, buat sistem dagang yang bisa membantu kesejahteraan masyarakat! Tapi sebelumnya tanyakan dulu, apakah tidak ada hal baik yang bisa dirasakan dari kebijakan itu, apakah tidak ada hal yang bisa dimanfaatkan dari situ?

 

Sebuah ironi, justru negara muram dan dingin bernama Iceland yang mengajarkan anak zamrud khatulistiwa macam gue untuk bersabar, bersyukur, dan berpikiran positif.

 

Karena orang-orang es itu telah membuktikan, kondisi yang buruk dan orang-orang yang tidak menyenangkan tidak selalu membuahkan sifat yang pahit, pesimis, keras dan suka marah-marah.

 

Kondisi semacam ini bisa melahirkan orang-orang yang paling optimis, ramah, santun dan menyenangkan di dunia. Isn’t what people used to call Indonesian people?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *