Ada satu acara yang banyak menginspirasikan orang-orang untuk merenung, berefleksi dan belajar dari pengalaman. Setelah pulang dari acara ini, banyak orang yang jadi terinspirasi untuk menulis blog, baik tentang perasaan cemas tentang tidak kunjung turut mengadakan acara ini, perasaan kesal karena sering ditanya kapan akan menyelenggarakan acara sendiri, hingga merutuki buruknya acara yang baru dihadiri. Acara ini dinamai: KONDANGAN.
Sama seperti kondangan yang baru gue hadiri. Meski sudah hampir seminggu berlalu, acara tersebut begitu membekas di hati gue, sehingga gue tak kuasa menahan keinginan untuk berbagi pelajaran yang gue terima dari kondangan tersebut. Pelajaran yang gue dapat adalah : nikah tamasya saja.
Menurut gue kawinan adalah acara yang maha menyusahkan dan maha menyiksa. Kasus pertama biasanya dimulai dari tempat parkir. Curiganya, yang kawinan orangnya gaul banget, sampai 200juta rakyat Se-Indonesia diundang. Alhasil kapasitas parkir terlampaui, ibarat Plaza Senayan di malam minggu. Akibatnya, gue harus parkir di pinggiran jalan yang gelap dan jalan kaki 500 meter. Ga tau apa di Jakarta banyak jambret! Lain kali kalau bikin kawinan di jagorawi aja biar sepi!
Prahara berikutnya menanti ketika gue sampai di area hotel tempat resepsi. « mas, lobbynya dimana ya ? » dan tukang parkir menunjuk ke arah tanjakan dengan sudut kemiringan 45 derajat, « ituuu..di atas… »Rupanya gara-gara termasuk daerah banjir, pihak hotel meninggikan lobby mereka DUA METER ! Dan gue, terperangkap dengan dandanan khas kawinan yang menyiksa: sackdress ketat yang membuat gue sulit berjalan, plus rambut di-blow plus bulu mata palsu plus hak tinggi, harus mendaki tanjakan tersebut….
Gue tidak menjadi lega ketika berada dalam ruangan resepsi. Dengan 3000 undangan disebar, meski kapasitas gedung cuma 300 orang, makanan langsung habis dalam sekejap mata, ketika gue bahkan masih ngantri salaman. Tidak cukup dengan lapar, masih juga gue dihujam pertanyaan yang jawabannya sangat rumit itu, “kapan nyusul?”
Semua pengorbanan gue tentunya akan terbayar jika acara tersebut bermakna. Tapi sepanjang pengelihatanan gue, kawinan ini adalah contoh paling konkret produk kapitalis, yang menjadikan segala aspek kehidupan jadi tontonan, melepaskan hidup dari maknanya yang terutama. Betapa tidak, tiap kali gue kondangan, gue seperti masuk gedung bioskop. Sebelum ‘nonton’, kita harus membayar sumbangan yang tidak berupa bingkisan atau karangan bunga. Setelah itu baru bisa menikmati acara yang dibikin kaya Gebyar BCA, dengan Batavia Dancer dan MC Tata Dado. Jika acara bagus dan makanan enak, penonton tepok tangan. Jika makanan kurang dan acara bosen, penonton kecewa, merasa rugi sudah bayar mahal-mahal. Padahal, inti kawinan bukannya yang setelah pesta kawinan itu ya?
Dan dengan 3000 tamu undangan, mulai dari ; teman Es-De, teman SMA mami, bekas tetangga mertua, pak RT, anaknya kakaknya nenek…Gue bener-bener ga merasakan keintiman sebuah tali silaturahmi yang harusnya dirayakan ketika kawinan. Sejujurnya, gue aja ga kenal sama pasangan yang ada di pelaminan. Kata nyokap gue, dia itu anak dari cucunya adeknya nenek gue.
Bukan cuma yang kawin yang dipertontokan, tapi juga yang hadir. Dandan mati-matian adalah wajib. Pasangan harus dipilih secara cermat lantaran membawa pasangan ke kondangan itu diartikan sebagai tahap lanjut dalam sebuah hubungan. Dan dengan asumsi sedemikian, pasangan tersebut harus tepat bibit bebet bobotnya, karena akan segera dinilai oleh segala khalayak ramai. Kenal dimana? Pendidikannya apa? Rumahnya dimana? Jika rumahnya Cuma dipinggiran Jakarta, mending datang sendiri. Sejak kapan tamu kawinan pake CV? Bukankah inti datang kawinan adalah mengucapkan selamat menempuh hidup baru dengan tulus diringi doa?
Tidak heran sepulangnya dari pesta kawinan itu, gue sudah mengganti cita-cita. Dari karpet merah di katedral dan resepsi ala Ritz Carlton, gue membayangkan pesta kawinan ideal ala gue: Sebuah pengumuman di kolom baris kompas berukuran 10×8 cm, dengan tulisan:
MENIKAH TAMASYA
&
TANGGAL PERKAWINAN
MOHON DOA RESTU
Ahh..kayaknya ga pakai susah….