Bercina-cina tapi tidak satu

Masi ingat tukang bersih-bersih Chinese maha rasis yang dibahas di postingan RASIS! ? Si bibi ini sekarang punya musuh baru. Selain Zubaedah, rekan pembersih berdarah Melayu yang jaga lantai bawah dan dituduh tukang ngadu, bibi sekarang lagi melancarkan agresi kepada tetangga gue, seorang mahasiswi dari Cina daratan.

Gue sering melihat bibi menyebarkan aksi terror dengan mengobrak abrik kumpulan sepatu di depan kamar musuhnya dengan ujung sapunya.  Diam-diam gue sepakat menjadi sekutu si bibi, karena sebagaimana rekannya dari daerah yang sama, tetangga gue ini sangat suka masak tapi kurang suka membersihkan dapur. Apalagi masaknya yang ala Hong Kong gitu, yang pake api setinggi langit, bikin dapur jadi amis berminyak menjijikan. Benar-benar bencana.

Dengan muak si bibi mengelap dapur siang tadi. Menu hari ini nampaknya baso babi goreng, yang digoreng dengan minyak babi. “Ini orang Cine masak, jorok, dia banyak pakai minyak-minyak babi,” si bibi menggerutu ke gue dengan bahasa Melayu patah-patah ala Cinta Laura. Gue melongo. Bukan karena kaget mendengar nada benci di suara si bibi. Masuk dapur aja rasanya udah haram, gimana harus ngebersihinnya…Tapi sebagai seseorang yang maha rasis, bukankah dia harusnya membangun koalisi dengan mahasiswi China toktok ?

“Kita orang disini tidak suka banyak makan babi, kolesterol, tahu? Tapi mereka selalu babi…babi,” begitu dia melanjutkan. Gue melongo lagi. Baru kemarin, untuk keempatkalinya dalam semester gue ditanya apa gue makan babi, pertanyaan halus untuk, “gue Cina bukan?” Dan menjawab tidak akan berdampak buruk bagi kebersihan lantai asrama gue.

“Orang cine dari cine itu bahaya, oei tidak mau dekat-dekat sama mereka. Ada kakak kawin sama orang Cine,oei diundang minum teh, oei tidak mau datang, oei takut, oei tidak mau kenal,” si bibi merepet-repet protes.

“ahahaha..ya..” gue tertawa sopan, berhati-hati membawa isu ras, lalu buru-buru masuk kamar. Rupanya meskipun pro-cina dan anti ras lainnya, bukan berarti si bibi akan membela semua cina. Sangking rasisnya, dia membedakan lagi, antara cina singapura, cina daratan, dan cina abal…

Perang dingin si bibi dan mahasiswi RRC itu membawa ingatan gue ke sekitar 1.5 tahun yang lalu, ketika gue dan bokap-nyokap ikut tour ke Beijing. Rencana itu gue sambut gembira karena ini adalah pertama kalinya gue akan napak tilas ke tanah leluhur. Pikiran gue penuh dengan bayangan kebudayaan masyur yang nantinya akan membuat gue semakin bangga memiliki nenek moyang dengan peradaban tinggi

Namun begitu gue menjejakkan kaki di tanah leluhur, semua bayangan indah itu langsung sirna. Udara musim panas kota Beijing benar-benar bikin gue blingsatan. Sambil mengipas-ngipas dengan gerah gue menohok nyokap gue, « mak, apa kita mudiknya yang ke Arab aja yak ? » Pengapnya iklim tengah dan suhu yang nyaris mencapai derajat demam tinggi membuat gue menyesali kenapa dari sekian banyak akar leluhur, gue menelusuri yang ini.

Sirna juga impian pemandangan dengan latar gunung gemunung yang suka dipajang di restoran cina. Baru kali ini gue melihat kota yang polusinya lebih parah dari Jakarta. Jarak pandang Cuma 5 meter, sisanya abu-abu. Pantes aja kalau di gambar-gambar cina kuno banyak kabutnya, bukan kabut noh, asep! Di hari kelima gue di Beijing, gue mulai ragu apakah gue masih ingat birunya warna langit bersih.

Tour budaya juga tidak menimbulkan rasa kagum dan suka. Nyokap gue benci banget sama Forbidden City, percaya ga percaya, mungkin chiong, kompleks istana yang tersohor bershio naga tanah itu bentrok sama nyokap gue, si naga api…Dan ibarat tanah dibakar api nyokap gue menyemburkan kesewotannya kepada Cina seutuhnya. « ga ada bagus2nya ! gak berseni ! bagusan juga Borobudur ! »  Sampe-sampe kita cemas nyokap bakal jatuh sakit gara-gara kelewat sewot.

Meski ga sampe segitunya, gue sebenernya juga kurang mampu menghargai warisan budaya itu. Melihat tembok cina,  kita malah berakhir ketawa cekikikan, « gunung kok dipager..ujungnya mana…ga pake otak dhe ni orang2…ga efisien, buang2 tenaga aja…» Dan walau, pertama liat gue cukup menikmati arsitektur khas China, setelah berhari-hari mengunjungi kuil dari jaman dinasti Tang, Ming, Qing, Ching, Han, dan lain sebagainya, gue mulai menyadari bahwa bentuk kuil mereka tidak mengalami perubahan berarti. Padahal dari dinasti ke dinasti itu bedanya bisa ratusan tahun. Berarti mereka cuma meniru dinasti sebelumnya !dasar cina tukang niru…

Dan kata dasar Cina itu semakin banyak muncul, misal ketika diberitahu bahwa sepeda motor dilarang dipakai di Cina karena bisa memperparah polusi dan bikin macet, padahal motor Cina murah telah membuat jalanan jakarta semakin ramai tidak lancar. Licik !

Sudah jelas pengalaman pertama kami disimpulkan jadi pengalaman terakhir, jika tidak perlu2 amat. Sungguh ironis, berada di Cina yang asli justru membuat kita merasa semakin tidak Cina dan merasa lebih Indonesia. Tidak ada satu halpun yang sesuai dengan budaya gue. Pendidikan PPKn selama 12 tahun telah membentuk moralitas bahwa kain sutra kimono raja itu gak lebih bagus daripada batik sutra tulis yang ditenun setelah puasa 7 hari 7 malam. Gue merasa lebih perlu melestarikan gamelan daripada klenengan yang menyayat hati bunyinya. Dan terbiasa dengan diet makanan halal di Indo, keluarga kami Cuma bisa terpekur lemas ketika setiap makanan mengandung minyak si pink berkaki empat. Tiap kali kami Cuma makan telur dadar dan nasi yang rasanya familiar.

Gue, si bibi, dan 1 miliyar masyarakat RRC itu memang wujudnya sama, tetapi kami tidak bisa dan tidak sudi dianggap sama. Perkembangan budaya di suatu lokasi geografis telah membuat klasifikasi ras jadi tidak valid. Meski sama-sama Cina, Cina Singapur mempunyai budaya, pola makan, dan gaya bicara yang sangat berbeda, bahkan dengan tetangga terdekat, Cina Malaysia. Juga berlaku untuk bangsa lain, meski judulnya orang Indonesia, orang Sunda punya stereotype sendiri kepada orang Manado.

Jadi penggolongan berdasarkan warna kulit itu harus diganti menjadi berdasarkan letak geografis! Masalahnya, gimana caranya kita membuat batas lokasi? Cina Jakarta emang beda sama Cina Padang, tapi dalam Cina Jakarta itu dibagi lagi jadi CinTA, Cina Puri, Cina Gading, Cina PS, Cina Kota…Bahkan gue membayangkan dalam Cina TA itu dibagi-bagi lagi berdasarkan nama kompleks perumahan. Lalu dalam tiap gang ada sifat yang berbeda-beda. Satu gang beda RT juga beda sifat…sampai berapapun kecilnya, tetap akan muncul perbedaan antara geng satu dengan yang lain.

Setiap pribadi adalah berbeda dan unik. MIRIP mungkin, turunan perpaduan gen dari lelulur. Tapi gak sama. Hanya demi identitas, kita lalu mengurangi intensitas keunikan karakter dan menguburnya dalam kemiripan dengan sekelompok orang, ras ini etnik ini. Padahal jadi orang tanpa identitas itu kadang-kadang malah lebih menguntungkan.

Gue ini cina tanggung. Di Indonesia di-Cina-cina-kan, di Singapur dibilang kurang Cina. Yang ada kartunya, gue warganegara Indonesia. Tapi mau dibilang Indonesia kek, Cina kek, orang Betawi kek tidak bisa bikin krisis identitas. Di depan bibi, gue ini orang CIna yang kebetulan aja lahir di Indo, tapi beneran Cina, asli Yunan, makanya mata gue agak gede…tapi di depan Zubaedah, yang jaga pintu depan, gue adalah orang Indonesia asli, serumpun Melayu, berbahasa satu. kok kulitnya kuning? Ituuu..orang asli Indonesia dasarnya kuning, tapi kena panas jadi suka pada coklat…Apa aja yang penting diterima khalayak ramai.

Toh sifat oportunistik ini sudah membantu gue menjalani hidup di asrama dengan mulus; selalu dibukakan pintu meski tak punya kunci, selalu rapi rak sepatunya, selalu dijaga cuciannya, selalu dapat makanan, selalu mulus menyelundupkan teman, selalu dicucikan piringnya. Psst..jangan bilang2 Zubaedah ya! Apalagi si bibi!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *