“Gy, gue masa diremove sama mantan cewe gue dari Path!”
“Oh, bagus lah, jadi loe nggak usah nge-remove duluan…”
“Kenapa sih, gy, cewe tuh suka ngeblok-ngeblok gitu! Cowok tuh nggak ada maen blok gitu!”
“Err.. gue remove mantan cowo gue sih…”
“Tapi mantan cowo loe emang aneh! Pantes aja diblok!”
“Oh, ya udah kalau gitu gapapa.”
Di sore hari yang indah itu gue tiba-tiba dihadapkan pada pertanyaan hidup dan mati abad ini. Dibuang sayang nggak dibuang empet. Should you block your ex-boyfriend from your social media?
Dalam hati, kalau teman gue tidak terlalu mudah mengalami pengalihan isu, gue sebagai, yang katanya perempuan, tetap akan memblok mantan pacar gue meskipun dia nggak aneh. So no hard feeling, Anda nggak aneh pun, tetep gue blok! Hahahahaha…
Lho kenapa? Demikian mantan pacar yang biasanya laki-laki, serta para laki-laki memprotes. Apa salahnya sih berteman saja? Nggak bisa ya? Masih sayang ya? Masih keki ya? Cewek banget sih!
Ya, tentu saja, pemikiran semacam itu juga pernah terlintas dalam pemikiran gue yang kurang lapang itu. Gue ini cewek gentleman! Ayo, tunjukkan betapa perkasanya gue menghadapi foto profile mantan pacar!
Lalu berakhirlah gue dalam adu tahan-tahanan siapa nge-remove duluan. Berbulan-bulan gue komat-kamit, merinding mengucap doa ketika buka Path dan wajah mantan dan pacar atau istri baru selalu absen di setiap posting as last view. Nggak komen nggak nge-love, cuma muncul saja. Seperti sebuah janji pernikahan, I will always be there.
Berhari-hari kaget-kagetan, ketika mereka yang tidak berkepentingan tiba-tiba tahu persis ke mana gue pergi, sama siapa, berapa lama, ngapain aja, kenapa begini dan begitu.
Karena sadar siapa ‘audience’ gue, ada banyak yang gue ketik, lalu gue hapus, sekadar watir postingan gue menyinggung pihak tertentu lalu berakhir main santet. Gue jadi kurang ekspresif, tidak bisa menjadi diri sendiri, lalu kurang bahagia.
Saat itulah gue bertanya-tanya, siapa yang menang siapa yang kalah? Kalau gue tahanin terus akhirnya pihak tetangga yang nggak tahan, gue dapet apa? Ini mah menang malu kalah malu! Sementara itu, selama gue bertahan, gue terpaksa nge-post dan beraktivitas untuk satu orang saja, meskipun temen Facebook gue goceng.
Dan akhirnya, pertanyaan Lho kenapa akan gue jawab dengan, lho, kenapa enggak? Sebutkan satu faedah berteman dengan mantan pacar di jejaring sosial! Inget gue ini Cina, yang nggak ada untungnya nggak bakal gue jalanin!
Ya tapi kan nggak ada ruginya juga Gy.. Loe cari musuh gampang, cari temen yang susah! Loe kan nggak pernah tahu, siapa tau dari jarak beberapa tahun matahari dari sekarang, tiba-tiba mantan gue butuh kenal ma gue, gimana coba?
Hmm.. ini termasuk prinsip gue yang cukup dasar. Cari temen lebih susah daripada cari musuh. Tapiiii.. tanpa disadari, memegang prinsip ini juga membawa gue melanggar prinsip yang dasar juga: Penyakit tuh jangan dicari-cari, ntar juga dateng sendiri.
Sebanyak yang gue amati, demi manfaat yang belum kelihatan wujudnya ini, lebih banyak mudarat yang ditimbulkan dari pertemanan pasca putus itu.
Sakit ati sudah pasti. Jarang, oh jarang sekali teman-teman gue yang berteman dengan mantan menggunakannya untuk menjalin tali silaturahmi yang indah sebagai TEMAN atau bahkan balik lagi.
Yang sering, dipakai untuk menjadi silent reader, lalu nangis meraung-raung, ngabis-ngabisin setok minuman di kamar.Ketika melihat mantannya move on, keki karena masih sayang. Ketika melihat mantannya terpuruk, jadi sedih karena masih sayang.
Ya memang sih, diliat ga diliat, mantan move on, roda hidup berputar, matahari terbit dan tenggelam. TAPIIIII.. what good will it bring that you be the first to know?
Nah, itu die Gy! Itu kan cewe banget! Cowo mah temenan, ya temenan aja, nggak usah dipikirin, nggak usah diliat-liat banget, apalagi bikin sebel, yang sudah ya sudah!
Gue manggut-manggut. Temen gue, got the point. Sebagai perempuan yang cukup jantan, pada awalnya gue nggak berminat menghapus. Simply karena gue terlalu malas. Toh nggak gue buka-buka juga. Kecuali di saat hidup terasa begitu berat dan dada ini sesak, lalu gue akan nge-stalk, ketawa-ketawa dan menyadari gue lebih waras dan hidup gue ternyata indah.
Melihat foto-foto moving on juga tidak membuat gue bergeming. Maksudnya, ya, apa yang akan membuat foto-foto itu tidak terjadi? Kalau nggak putus. Nggak mau juga, kan? Nggak. Ya sudah. Ya, bagus kalau bisa berpikir seperti itu.
Namun kenyataan bahwa ada satu perempuan yang kelebihan testosteron tidak menjadikan perasaan kebanyakan perempuan pada umumnya menjadi tidak valid.
Bagi sebagian besar perempuan, seperti riset di social media itu, butuh 15 bulan 10 hari untuk move on. Selama itu, bagi mereka, melihat foto-foto pernikahan sebulan setelah putus, atau melihat pasangan baru saling tukar senyum cintah hanya akan menyakitkan dan memuakkan.
Dan sangat tidak berperikemanusiaan jika demi sekadar mengejar kata tegar (tetapi jomblo), ada yang harus menanggung penderitaan semacam itu, selama itu.
Tentu saja ada mereka yang sungguh tabah, atau mungkin masokis, dan menggenggam penuh jejaring sosial semacam gollum pada cincin, mengintai setiap hari, mengirim pesan penuh benci, doa-doa celaka lintas, serta segulung rambut.
But then again, what good will it bring to them and to the new couple? Bukankah kalau demikian adanya, para mantan pacar akan berdoa dan bertahajud agar sebaiknya mereka di-remove duluan?
Itulah sebabnya, seberapapun kekinya, seberapapun tidak masuk akalnya, gue tetap akan menganjurkan setiap teman-teman perempuan gue yang sudah putus untuk memutus setiap kontak jejaring sosial dengan para mantannya. Dan menjelaskan alasan ini pada setiap mantan mereka.
Percayalah, gue muncul dengan kesimpulan ini bukan karena tidak tahu betapa menyebalkankan di-remove orang. Sepanjang dua tahun ini gue sudah di-add untuk kemudian dihapus sebanyak LIMA kali oleh SATU mantan pacar yang sama. Padahal mantan pacar gue laki-laki!