Blogblock

Last posting: 8 January 2012

Sudah satu bulan lebih gue meninggalkan blog ini.  Kalau dalam agama tertentu, itu macamnya gue sudah tidak sholat Jumat selama periode tertentu. Gue harus mengucapkan dua kalimat syahadat supaya bisa menyebut diri sebagai blogger lagi. Atau memperbaharui janji babtis.

Gue disadarkan akan hal ini setelah jatuh. Ya jatuh. Akhir-akhir ini gue sering jatuh gara-gara darah rendah. Di aspal, di mall,  membuat kaki gue lecet dan bengkak seperti masa TK dulu, hanya dengan kemampuan penyembuhan yang kurang. Dan gue tidak pernah cerita gue jatuh, meski sudah sering.

 

Padahal, empat tahun lalu ketika gue baru mulai ngeblog, rentang waktu antara satu blog yang lain dengan yang berikutnya paling banter cuma semingguan. Kadang malah bisa tiga hari sekali. Kadang malah sebenarnya setiap hari, atau dua kali sehari, cuma karena gue malu dianggap hanya punya teman dan dunia virtual, gue tunda posting sampai tiga hari. Setiap hal gue tulis, gue jatuh, gue jatuh hati, gue putus, gue dapet kerja, gue pulang ke Jakarta.

 

Melihat perbandingan ini, otak gue mulai main angels Vs demons, bukan seperti novel Dan Brown, tapi lebih mirip versi sinetron Bidadari waktu Marshanda masih main sama BomBom. Ya jelas dong, dulu itu kan gue  pengangguran, kerja serabutan, tinggal di perantauan, baru ditinggal pacar. Kerja tidak ada teman, main juga tidak ada temen. Kalau sekarang kan beda, gue kerja kantoran beneran, nine to nine, ada posisi, ada tanggung jawab, ada pacar pula. Sibuk…sibuk…

 

Alasan! Bidadari menyanggah. Gue juga masih ngeblog seminggu sekali saat sudah balik ke Jakarta, kerja kantoran beneran, ada posisi ada tanggung jawab, dan sudah punya pacar yang sama. Setan yang punya banyak akal kembali membalas. Iya, tapi waktu itu gue kan gak lagi nulis buku tiga berturut-turut yang modelnya kayak blog tapi belum pernah ditulis. Itu tuh kayak nulis blog tiap hari lho! Belum lagi gue kan suka nulis di majalah Katolik, itu pahalanya gede, musti didahulukan!

 

Bukunya kan udah kelar dari dua bulan lalu! Sekarang tinggal nunggu ilustrasi! Gue mendengarkan bisikan dua suara hati ini sambil terdiam dan mengetahui, bahwa di lubuk hati gue yang terdalam, gue tetaplah seorang yang baik hatinya, dan memenangkan bidadari: semua itu hanya alasan belaka.

 

Waktu dan kesibukan tidak pernah bisa jadi alasan untuk berhenti menulis dan berbagi, begitu selalu gue ucapkan setiap kali ada workshop blogging, yang tentunya semakin gue pertanyakan kredibilitas. Kenyataannya, nulis blog seperti hari ini cuma makan waktu paling banter sekitar dua jam. Dua jam dari 168 jam seminggu. Dipotong makan udang rebus di Njun Jan dan weekend oversleep 14 jam, juga masih sisa.

 

Gue tahu benar kendala utama seseorang ngeblog bukanlah waktu, tapi ide. Seseorang ngeblog karena merasa perlu ngomong, karena ada hal yang penting seenggak-enggaknya buat dirinya untuk dibicarakan. Orang tidak bisa ngeblog kalau merasa hidupnya gak penting dan gak menarik untuk dibagi.

 

Gue tidak ngeblog karena tidak merasa ada bagian dari hidup gue yang layak untuk gue pikirkan lebih jauh. I don’t stop blogging because I have no time. I stop because I stop make meaning out of my life and therefore, feel I should spend more time in my life than to think about it.

 

Sebuah realita yang pahit, terutama bagi seorang perempuan yang empat dari lima bukunya berasal dari pengalaman pribadi dan sering ditaroh di bagian ‘autobiografi’. Kalau hidup gue tidak patut dibagi, terus gue nulis apa dong selama ini?

 

Karena hal ini dapat mengancam hajat hidup, gue memutuskan untuk segera membasmi kondisi ini dengan menemukan penyebabnya. Gue menyelami alam pikiran orang-orang di sekitar gue yang selama ini selalu gue pandang hina karena menurut gue adalah pengecut yang tidak berani mengambil keputusan berani untuk melangkah ke gerbang pintu kebahagiaan. Karenanya, hidup mereka membosankan.

 

My life IS boring. I’m a corporate slave. Gue bangun pagi sambil merutuk, lalu buru-buru siap-siap, boro-boro mikir. Lalu menghabiskan berjam-jam di tengah macet Jakarta, sambil memikirkan kerjaan, bukan waktu yang tepat untuk merenung.  Di kantor, jadi maling sandal jepit sama jadi chief-chief-an bedanya tipis: sama-sama dikejar-kejar, sering kejepit antara dua tembok kepentingan, dan jadi korban politis pengadilan yang sepihak. Mana ada maling sempat ngeblog?

 

Pulang malam, sudah cape. Pikiran sudah mengarah ke tempat tidur yang nyaman, biarpun saat tidur selalu bermimpi sama: tentang keesokan harinya berperan sebagai maling. Tanya semua maling, apa bisa mereka tidur tenang di malam hari, lalu, ngeblog? Ya, inilah alasan yang selalu gue dengar, dan sekarang gue ucapkan dengan penuh empati.

 

Tapi, my life has ALWAYS been boring. Gue selalu berada dalam kondisi sengsara, tidak tenang, dan terjepit dalam rutinitas. Gue mulai blog ini saat gue di Singapur, dan gue benci hidup di Singapur lebih dari kebencian terhadap koruptor dan kemunafikan. Benci, karena Singapura membuat gue bangun bukan hanya sebagai maling, tapi sebagai maling yang mencuri barang yang sama tiap harinya. Rutin!

 

Saat kuliah, gue bangun dengan kegelisahan dan kesibukan setaraf dengan seorang maling. Saat kerja di perusahaan besar, gue tidak tidur dengan kegelisahan seorang maling. Saat jadi jurnalis, gue nulis dan memotret dengan kecepatan maling dikejar polisi. Bahkan saat gue tidak punya kerjaan, gue gelisah lantaran dianggap maling sampah masyarakat yang sebatang kara.

 

Yet, I write! Gue tetap bisa menemukan kelucuan hidup. Gue bisa serumah dengan pelacur, ikut lomba fotomodel, membaca buku Haruki Murakami, atau punya waktu untuk meladeni Oknum R dan hansip Udin. Kemenarikan hidup tidak selamanya karena hidup seseorang bahagia.

 

Lagipula, kalau mau diperhatikan, hidup gue tetap sama lucunya. Udin masih jadi hansip dan baru saja memangkas habis daun pohon kaya yang sudah dipelihara 10 tahun. Oknum R sekarang punya teman baru yang bergaji 100 juta lalu beli tas Robocop anti gores anti copet, bahkan anti jambret, karena bisa buat pingsan yang dipukul. Ringan, dan berlambang Robocop. Gue ke Sawarna, nonton stand-up comedy, dan masih baca Haruki Murakami (meski sekarang selesainya lebih lama).

 

Sebaliknya, bahagia bukan berarti hidupnya menarik. Seperti dalam FTV atau novel-novel, awalannya selalu, Mawar punya segalanya dalam hidup, uang, pekerjaan yang baik, dan suami yang mencintainya, namun di balik kehidupan yang terlihat sempurna itu…. Punya pekerjaan yang seharusnya sangat gue sukai, punya orang-orang yang mendukung gue, bukan berarti gue jadi lebih bersyukur dan hidup penuh arti.

 

Nampaknya, corporate slave tidak mengacu pada sebuah keadaan, tapi lebih pada sebuah sikap. Gue seorang budak korporasi, bukan karena gue mempunyai kehidupan sebagai seorang kacung kampret dalam sebuah perusahaan, tapi karena seluruh pikiran dan perasaan gue dikerahkan hanya kepada kehidupan korporasi itu.

 

Gue bisa saja jadi cungpret yang tidak pernah melihat terbit dan tenggelamnya matahari dalam kerjaan, tapi kalau gue bisa punya hidup dan mendedikasikan pikiran untuk hal lain dalam hidup itu, my life is meaningful. Tapi gue bisa saja bekerja jadi cungpret yang sama persis, dan seluruh pikiran gue hanya tertuju pada kerjaan, and there I am, as a corporate slave who keep saying I have no time for anything else, including make meaning of  my life.

 

Easier says than done, of course, dan gue kembali berkata penuh empati.  Otak manusia itu tidak kenal pola yang negatif. Jangan mikirin burung biru! Dan burung biru itu langsung terbang dalam pikiran. Jangan mikirin kerjaan mulu! Hidup loe punya lebih banyak arti daripada itu! Dan bertumpuk wajah-wajah bos dan kolega serta target yang belum tampak akan tercapai langsung terlempar ke muka.

 

I’m still struggling to do so. Gue tidak akan heran jika minggu-minggu depan gue kembali tidak ngeblog karena tidak merasa punya hal berarti untuk dibagi. Kalau gue tidak mau ngeblog karena tidak merasa butuh, nobody else can tell me otherwise. Lha yang hidup itu gue! Tapi demi kebahagiaan hidup, gue mau mencoba, biarlah posting ini jadi tanda janjiku pada diriku sendiri….

 

Gue teringat saat di Singapur dan punya hidup super nelangsa. Karena gue tulis, gue jadi bisa ketawa biarpun sebenarnya tidak lucu. Moga-moga kalau gue kembali nulis sekarang, gue juga bisa ketawa meski disikut sana-sini sampai deg-degan tiap cicilan apartemen datang.

 

Last posting: semoga bukan postingan hari ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *