“Nyet, kasi tau dong, apa rahasia sukses bisnis loe!”
“Nggak ada, juga nggak sukses-sukses amat.”
“Tapi pasti loe melakukan sesuatu kan, sampai loe ada di tahap yang sekarang? There gotta be some criteria, some skills, yang bisa dipelajari!”
“KAGAK ADA!!Loe serius amat sih kayak peserta workshop pengembangan diri!”
Gue menyanggah kencang. Sebagian karena harus melawan musik pop-rock di Irish bar mungil itu. Sebagian, karena setelah panjang kali lebar gue menjelaskan tentang bagaimana kami merintis Javafresh, teman gue ini nampaknya belum ngerti juga, bahwa,there is no secret ingredients! Kita cuma gak punya pilihan selain terus ngotot jalan!
Or… is it.. THE secret ingredients?
Sementara sang teman sedang berada dalam buaian miras, gue melipir ke WC sambil merenung, kembali ke era sebelum gue memulai usaha sendiri. Life was easy for me. Lulus sebagai siswa terbaik dari sekolah ternama, dan kemudian berada di jajaran terbaik di universitas, yang juga ternama. Orang bilang, kalau nggak sukses, sial!
Setelah lulus, gue menjadi Country Editor bergaji dolar di usia 22 tahun, lalu setiap tahunnya, sebuah buku atas nama sendiri meluncur di rak Gramedia dari penerbit yang terkenal selektif memilah penulisnya, hanya yang ‘berisi’. Gue meloncat-loncat tangga karir dengan gaji berlipat-lipat setiap kali pindah.
Nampaknya, mengirim 100 CV di awal kelulusan sudah memenuhi kuota kirim lamaran kerja seumur hidup. Gue tidak pernah harus melamar pekerjaan. CV hanya bagian dari sebuah formalitas. Dan meski gue pernah mengalami hambatan, gue tidak ingat harus berusaha terlalu keras. Semua dapat diselesaikan dengan kemampuan yang gue kuasai.
Maka, ketika ditanya rahasia sakses , dua kali oleh koran nasional utama Indonesia, untuk tampil di halaman pertama sebagai sosok inspirasional dan tokoh muda, gue dengan lancar mengutip semua jurnal-jurnal tentang kemampuan yang diperlukan abad ini. Tentang bekerja secara kreatif, tentang memahami siapa orang yang harus kita hadapi, tentang berpikir kritis…
Tapi tidak ada satupun dari kemampuan itu yang membuat gue menjadi seorang pengusaha, yang hidupnya berpengaruh lebih dari untuk 5 anggota keluarga. Atau yang membuat gue menerbitkan buku dalam tiga bahasa asing.
THIS what made me do:
Di tahun 2014, gue sakit keras. Dokter tidak tahu apa penyakit gue. Yang jelas, setiap kali gue datang ke kantor, semua pengen nendang.. biar gue pulang lagi dan istirahat saja. Gue harus bolak balik rumah sakit. Dalam tiga bulan, tabungan menipis dan pekerjaan utama nyaris melayang. Boro-boro bisa nulis buku, atau mengisi seminar.
Kolega mengatakan ‘Margie udah abis’, bahwa tamat sudah karir gue karena semua kemampuan yang gue andalkan hilang tak bersisa. Bahkan, pria yang nggak seberapa pun, baik dalam hal tampang maupun kemampuan itu, berani menunjuk-nunjuk di depan hidung gue yang tidak bisa bangun dari tempat tidur. You will die alone, begitu katanya.
Dan meskipun kata-katanya masih benar hingga saat ini karena sejak kapan orang mati rame-rame, waktu itu gue hanya dapat merespon dengan air mata yang mengalir, karena gue terlalu lemah untuk adu argumen.
Tetapi di saat yang sama, kata-kata itu seolah memecut gue. Gile, nggak ada yang peduli gini sama idup gue, berarti gue musti berusaha sendirian buat idup lagi! OK, gue akan mencari pertolongan biar sembuh, dan jika dikasih kesempatan, gue tidak akan menyia-nyiakannya.
Kebayang dong, kayak apa pas gue udah sembuh. Kerja keras bak kuda! Gue merasa seperti diberi kesempatan kedua. Gue rajin ngantor hingga bahkan menjadi karyawan terbaik se-Asia Pasifik. Dan setelah mendapatkan sedikit uang, gue menggunakannya untuk memulai Javafresh.
Kebayang lagi kan, gimana sayangnya gue sama Javafresh. Ibarat judi pake seluruh yang yang dimiliki, gimana caranya musti menang! Never leave a stone unturned, begitu semboyan kami, dan semua kesempatan kami habek hingga 16 negara. There’re ups and downs,tapi gue bersuka cita dalam pekerjaan ini sampai mendapat pengakuan Oscarnya buah-buahan.
Hingga kini, mendengar cerita gue, banyak yang berkomentar, bahwa jika hal ini menimpa orang lain, maka hasilnya belum tentu sama. Dan gue sendiri menjadi saksi bagaimana seseorang yang ditimpa cobaan kemudian menjadi gila akibat depresi, semakin murung, semakin terpuruk, kehilangan semangat hidup, bahkan bunuh diri.
It’s not how you achieve something, it’s how you respond to failure
It’s not how you convince someone, it’s how you deal with rejection
Skill, yang membedakan gue dengan kerumunan lain, adalah kemampuan tahan banting. Karena tidak semua mampu untuk bangkit lagi dan menjalankan suatu proses dengan semangat, ketika mengalami kegagalan. Terserah eloe mao pinter, mao kreatif, mao peka terhadap lingkungan, kalau loe berhenti berkarya begitu gagal, gak akan ada sukses.
Sungguh sebuah nilai yang cupu bukan? Ikan sapu-sapu juga tahan dan selalu nempel di dinding biarpun dilibas banjir. Gulma juga gitu biar disemprot herbisida. Tapi nilai sebuah skill, tidak ditentukan oleh skala kecupuannya. Nilainya dari kelangkaannya di masyarakat. Dan di era milenial seperti ini, daya tahan bukanlah ciri khas generasi ini. Gue pun pindah-pindah kerja, hanya karena nggak suka bos, nggak dikasi ngembangin aplikasi baru, atau bosen nggak bisa nulis novel.
Itulah sebabnya mereka yang punya ketahanan, adalah mereka yang dihargai berada di dunia ini, termasuk dalam industri yang gue jalani sekarang. Lebih langka lagi, karena kemampuan ini baru muncul jelas ketika terjadi tantangan, atau bahkan kegagalan. Dan tidak semua orang dianugerahi kesempatan untuk gagal.
Seandainya musibah itu tidak pernah menimpa, gue tentu saja akan tetap sukses dan bahagia sebagai pegawai korporat. Tetapi gue tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk membuktikan bahwa gue bisa lebih dari ‘kerumunan sukses’ biasa. Bahwa gue bisa merintis sebuah usaha dari nol, bertahan hingga 5 tahunan and keep counting,dan berkembang 125 kali dari modal awal.
Seandainya segala yang berarti bagi gue tidak direngut secara paksa dalam tiga bulan, tentu gue akan tetap bersenang-senang dengan dengan semua orang yang menyukai gue, dan yang nggak suka bisa gue bayar. Tapi gue tidak akan menemukan keluarga, hingga ratusan orang yang percaya gue bisa mencapai impian mereka. Orang-orang yang moga-moga nggak akan pernah nyumpahin gue mati sendirian.
Gue kini merasa bersyukur, pernah dijatuhkan sampai guling-guling, karena itu jadi kesempatan gue untuk mengaum dan menunjukkan bagaimana karakter gue sebenarnya. Berapa orang di luar sana yang pinter sejak lahir, bapaknya sukses sejak dalam kandungan, hingga tidak pernah merasa susah? Tidak pernah perlu merasa berempati terhadap kesalahan orang lain karena memang… tidak pernah salah? Mereka tidak akan pernah tahu versi hidup selain yang dijalani saat ini.
Dan kemampuan ini, tidak ada tes akhirnya. Tidak seperti kreativitas yang bisa diukur via psikotes. Ujiannya terus-menerus. Dalam setiap kegagalan, setiap penolakan, setiap kekecewaan yang menghantam diri gue. Apakah gue tetap bisa melupakan orang-orang yang telah menyandung gue, berhenti mengasihani diri sendiri, dan tetap konsisten berkarya?
Gue tahu gue belum sampai puncak. Untuk itu gue masih waspada jikalau terjangan datang beberapa kali. Gondok sih nggak bisa ditolak, tapi malu sama doa, katanya yakin Tuhan punya rencana. Masa giliran lagi mau digantikan dengan sesuatu yang lebih baik, guenya nggak mau.
Sementara sang teman lagi asyik ngobrol dengan seorang pelayan unyu-unyu, gue menyelipkan di Google: Kemampuan untuk bertahan dan menghidupkan semangat ketertarikan akan sesuatu yang ditekuni. Keluar satu kata dari jurnal enternasional: GRIT.
“Nama kerennya GRIT!” gue mencetus, memecah keheningan yang terlampau lama. Speaker sudah lama berhenti berdentum, dan mas bartender sudah menanti gelisah waktunya cuci gelas. Gue juga sudah mulai sehat, kebanyakan merenung.
Sang teman, sudah melabur gelas whiskey double shot ketiganya, menatap gue seolah mata gue ada tiga ( atau mungkin memang demikian dalam visi beliau), “Loe serius amat sih kayak lagi di workshop pengembangan diri!”
“Lah itu kan kata-kata gue, Bang!”