Bunda

“Kok kamu belum mati sih?” demikian pertanyaan yang diajukan di pertemuan pertama kami, sambil menerawang melihat tubuh gue seolah tembus pandang. Bunda, demikian para ‘pasien’nya memanggilnya, dikenal tetangganya sebagai ‘paranormal’, adalah seorang pendoa dari Muntilan.

Saat itu gue sudah setahun lebih bergelut dengan hal yang ada dan tiada, yang menguras energi serta materi, dan sudah sepakat mau pasrah saja. Kalau memang jalannya, masa Tuhan tidak akan menolong. Entah mengapa, sikap pasrah itu malah membawa gue pada Bunda.

 

Pertemuan kami tidak disengaja. Gue sedang mengantar teman sekalian packing salak, ketika ‘serangan’ itu kembali dan suara seperti adzan terngiang jam 3 pagi. Kata oom itu panggilan. Tapi gue malah meriang.

 

Bunda bilang gue ‘expired’. Ada janji dan ikatan di masa lalu yang teringkar. Makanya setahun penuh sakit aneh-aneh. Nasibnya juga apes bukan kepalang. Badannya tak kasat mata sudah bolong-bolong. Segala penyakit kritis merayap pelan-pelan.

 

Terlepas dari diagnosa yang ngeri dan aneh itu, metode penyembuhan Bunda adalah yang paling tidak klenik dari semua dukun, paranormal, pedande, kyai hingga pastor sekalipun. Tidak ada air yang disembur-sembur, tidak ada tato gaib, tidak ada garam dilempar-lempar atau pendulum dipasang-pasang.

 

Metode penyembuhannya hanya satu: doa. Ya doa biasa. Doa yang dari kecil gue hafal. Mendoakan doa yang sudah bisa gue lafalkan, hanya kali ini lebih penuh makna, gue mengalami aksi eksorsime dasyat seperti yang di film-film.

 

Dan doalah, yang selalu jadi kunci dan ramuan manjur Bunda. Mau sembuh? Ya doa.. Mau pilih tempat kerja baru? Ya doa dulu, Tanya Tuhan baiknya yang mana… Mau kurus? Ya doa sana, kalau memang baik buat kamu jadi kurus masa nggak dikasih sama Tuhan.

 

Ketika gue frustrasi dan protes, ‘Ya doa Bunda didenger Tuhan! Bunda orangnya bener! Nah kite? Dosanya aja banyak, Tuhan juga males kali dengerin!’ Bunda akan menjawab santai sambil mengerjakan hal lain, “Ya kamu kurang percaya…”

 

Karena tidak punya obat lain kecuali doa, maka terpaksa berdoalah gue. Dan secara mengejutkan, ternyata Tuhan tidak sepelit itu. Jawaban doa muncul meski tidak selalu seperti yang kita minta. Hanya selalu seperti yang kita butuhkan.

 

Lagi pusing sistem uang tanam manggis, tiba-tiba ketemu orang. Dianya sih nggak mau invest, tapi berani beli tanah manggis puluhan hektar. Supply bisa aman. Lagi pusing karena supply salak di gudang hanya 7.8 ton sebelum sortir, tiba-tiba setelah sortir jadi 10 ton. Tiba-tiba sakit nggak bisa bangun dari tempat tidur, setelah doa langsung bisa begadangan.

 

Kita manusia membutuhkan jimat, batu akik, air suci, atau benda lainnya sebagai tanda perlindungan. Padahal, perlindungan paling ampuh, tidak perlu punya bentuk, cara mendapatkannya mudah, gratis pula: doa.

 

Doanya kayak apa? Nggak usah macem-macem. ‘Mintalah seperti anak kecil meminta, dengan keyakinan penuh seperti anak kepada Bapanya.” Begitu tipsnya. Anak kecil doa juga biasa aja bahasanya. Nggak usah pake doa yang panjang-panjang berbunga-bunga, pake bahasa roh bahasa Ibrani gini gitu.

 

Ada banyak pelajaran lain yang gue dapatkan selama tinggal di tempat Bunda. Margie yang kapitalis matrealistis galak kurang sabaran ini tiba-tiba pules tidur di kamar non-AC, seger mandi air dingin di Muntilan dan jadi gemuk makan pete. Mau marah kok jadi nggak bisa-bisa.

 

Kadang gue terkejut, ketika menyadari entah sudah berapa malam minggu yang gue habiskan tidak bersama laki-laki, tidak dengan minuman keras, tidak dengan hingar bingar musik progresif. Oh, gue bahkan sudah nggak tau tempat dugem yang lagi hietz di Jakarta.

 

Malam minggu gue malah banyak diisi dengan berdoa lima kali sehari (kalau dihitung, mungkin jumlah doa gue seumur hidup kalah dengan jumlah doa setelah mengenal Bunda), bermeditasi, berziarah, tidur cepat, bahkan tanpa diselingi nonton American Next Top Model sekalipun.

 

Semua tanpa harus mengubah diri gue menjadi macam martir jaya. Gue masih bisa dan masih minum 14 gelas wine in a row tanpa mabok, menikmati gemerlap sky lounge dan perhatian berlebih pria-pria yang salah. Namun gue melihat ada sisi lain yang dapat menggantikan nilai duniawi yang selalu membuat resah jika tidak dimiliki.

 

Ada kehangatan, ada tawa canda, dan semangat melayani yang ada dalam keluarganya. I hate to preach, but well, dari sepanjang satu tahun kemarin, tidak pernah gue sesehat dan sebahagia ini. I am very content.

 

Lewat Bunda, gue diajak mengenal Tuhan yang sederhana. Cara dan trik Tuhan itu simpel dan terjangkau. Rahasia mengapa gue bertahan hidup padahal harusnya udah ditagih mati? Hati yang bersuka cita. Ternyata, kemampuan gue menertawakan nasib naas diri sendiri, punya efek baik.

 

Bunda sering menggoda, ia penasaran kapan gue nangis, ketika saat gue kena santet tapi malah ketawa-tawa. Habisnya alasan santetnya dangkal banget. Kayak gitu mah ngomong aja kali, gak usah cape-cape kirim santet. Kita bisa berunding, uang santet dimasukkan jadi modal usaha, lalu nanti bisa bagi hasil.

 

“Margie itu cuma nangis pas ditinggal kawin,” goda Bunda.
“Err.. pas ditinggal kawin juga nggak nangis sih bun,” gue menjawab. Bunda kembali tertawa.

 

Penasaran Bunda terjawab sudah. Gue ternyata akan menangis ketika orang yang gue cintai pergi selamanya. Bunda meninggal beberapa hari yang lalu. Setelah menyelamatkan dan menyembuhkan orang, Bunda terkena ‘sampah’ alias sisaannya, yang kemudian menyerang fisiknya. Kata dokter, ia sakit jantung.

 

Gue menangis ketika sadar banyak janji yang belum gue penuhi. Bunda selalu yakin bahwa gue harus bagi-bagi berkat. Entah dalam bentuk buku, atau tulisan, atau apa kek gitu. ‘Kamu sing muarane Tuhan, banyak yang dikasih, tapi harus mengalir. Kamu harus melakukan sesuatu untuk kesejahteraan orang lain’. Ia yakin bakal banyak orang yang tersentuh dan ‘terselamatkan’.

 

Gue tertawa nyinyir dalam hati. Yang bener aje, Tuhan juga milih-milih kali, masa gue yang disuruh, ya bubarlah. Demi alasan kesopanan gue sepakat. Bunda pun berjanji akan membagikan cerita lebih banyak untuk bahan tulisan gue.

 

Tapi seperti kata seorang kenalan, at the end of the day, a pray is always between you and Him. No one could help you accomplish your task.  Bunda tidak akan membagikan kisah-kisah seru pengusiran setan, dan kekonyolan manusia dengan jimat-jimatnya. Tidak ada lagi mengobati santet dengan ‘baygon surgawi’.

 

Dan cita-cita satu buku mungil tentang doa yang sederhana, tereduksi menjadi satu catatan pendek dalam sebuah blog.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *