“It was just for fun.” Demikian cetus Ibu Peri, suatu hari tanpa hujan dan mendung, bertekad menghabiskan satu akhir pekan yang random bersama pria yang baru dikenalnya. Yeah, right, demikian kami menanggapi hari itu.
Sebenarnya, bukan kopdar yang ‘fishy’ itu yang membuat kami nyinyir. After all, ini kota Jakarta, kota metropolis yang termakan westernisasi. Gue sering mendengar ‘Liburan bareng’ lawan jenis sebagai cerita akhir pekan yang wajar. Dari yang gue lihat, 3 dari 5 pasangan yang gue kenal kini tinggal bareng.
Jamak, dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja. Toh, perempuan punya kebutuhan yang sama dengan laki-laki. Dan nggak ada yang kaget kalau ada lelaki yang langganan Alexis. Apa bedanya kalau sekarang perempuanlah yang perlu melampiaskan kebutuhan biologis?
Wanita, dalam hubungan intens jarak singkat, sudah bukan lagi sebuah subyek penderita. It takes two to tango, kalau nggak suka sama suka nggak bakal kejadian.
Maka jika pertanyaannya adalah apakah seorang perempuan bisa dan boleh melakukan one-night stand, well, apapun fatwanya, gue nggak bakal bisa bilang apa-apa. Terjadi dan akhirnya terkesan wajar.
Kenyinyiran kami lebih berpangkal pada alasannya. Kami masih sangsi kalau sebuah hubungan intens jarak dekat bisa dilakukan hanya sekadar ‘for fun’ untuk seorang perempuan.
Dugaan kami beralasan. Apa yang awalnya hanya ‘just for fun’ itu, dalam hitungan minggu berubah menjadi tangis dan air mata, dengan drama yang melibatkan perempuan lain dan anak yang tidak berdosa. Yeah Right.
Insiden kecil yang terjadi pada seorang teman itu kemudian menimbulkan pertanyaan lain. Emang sih, perempuan bisa aja dan sudah semakin wajar melakukan one-night stand. Tapii… Bisa nggak sih perempuan Indonesia, dengan segala norma yang melingkupinya, menjalani sebuah one-night stand tanpa menjadi sengsara?
Sebagai pemuja emansipasi dan meyakini perempuan bisa melakukan dan berpikir seperti seorang pria, awalnya gue selalu yakin menjawab Ya! Bisa! Tapi…mengapa yang gue lihat, lebih seringnya jadi berderai air mata?
“Tapi gue nggak bisa gitu aja sama orang yang nggak gue suka!” demikian bantah Ibu Peri. Nah, ini dia nih, kenapa sebagian besar perempuan nggak bakal tahan one-night stand.
Perempuan, terstimulasi oleh pikiran dan sentuhan. Tidak seperti lelaki yang bisa sama lobang tembok, sama orangutan yang dicukur asal ada video bokep, perempuan tidak mudah terstimulus oleh fisik. Harus kenal, harus merasa secure, harus nyambung. Itu juga menjelaskan mengapa banyak perempuan cantik punya pacar jelek, tapi baik hati.
Sayangnya, akhirnya kalau sudah suka, buntutnya main perasaan. Padahal gue nggak kebayang, gimana caranya mematikan perasaan sebelum masuk ke dalam permainan.
“Yaa.. maksudnya bukan jangan nggak suka, tapi jangan suka-suka banget gitu, suka fisiknya aja!” Gue berusaha beride
“Tapi gue gimana caranya nyari yang begitu? Mana bisa sekali liat langsung petik gitu!”
“Yaa nggak harus saat itu juga sih, tapi at least jangan sama orang yang loe kenal! Kalau loe kenal sebelumnya, loe buntutnya naksir beneran! Puter kronologinya! Fisik dulu! Baru kenal lebih dalam!”
“Nggak ngerti gue! Gimana caranya sih?”
Gue terdiam. Gue juga kurang paham gimana. Namun di saat yang sama di sebuah foodcourt, kami berpapasan seorang teman yang lain sedang duduk ngobrol bersama seorang bule.
“Temen kantor?”
“Oh enggak, kenal di Domain,” jawabnya santai
NAH! ITU MAKSUD GUE! Kenalannya bisa di mana aja! Nggak harus langsung disosor! Setelah kenalan boleh aja dibawa ke dalam latar kantor. TAPIII.. dia tetap harus menjadi seorang random guy!
Ibu Peri manggut-manggut. Ya, nanti dicoba, dengan yang nggak kenal-kenal amat. Namun gue masih merasa ragu. Karena bahkan di sebuah hubungan yang diawali oleh randomness, akhirnya tumbuh harapan. Dalam harapan, selalu ada kekecewaan.
“Tapi dia beda kok, dia baru kayak gitu setelah putus!” demikian Ibu Peri kembali membela diri. Ini dia! Blunder nomor dua yang membuat seorang perempuan tersiksa dalam hubungan one-night-stand. Tingginya tingkat ‘in-denial’
Perempuan suka membohongi diri sendiri, lebih dari lawan jenisnya. Lebih suka dibohongi, dianggap penting, padahal cuma digombali. Padahal, ini faktanya: Once a cheater, always a cheater.
Hubungan dengan seorang pria yang diawali dengan sebuah ketidaksetiaan, dengan substansi alcohol, bisa saja bertahan empat, lima, enam, tujuh tahun. Tapi di akhir semua itu, tetap akan ada the hurting facts: If he could do it to you, he could do it with any other single, lonely woman in this earth.
Sebenarnya ini adalah sesuatu yang bisa diatasi dengan me-manage expectation. Hubungan berujung baik kalau sama pria baik-baik. Dan nggak ada pria baik-baik nongkrong di klub yang terlalu gelap dan ‘usaha’ dengan wanita yang baru dikenal. Kalau gue, juga mungkin tidak mau ada ujung lain dengan pria semacam itu.
“Duh, susah banget sih! I just want to get away from my problem for a while!” Cetusan Ibu Peri, menandakan dasar ketiga mengapa banyak perempuan malah berakhir lebih susah dalam sebuah one-night stand.
Hampir semua perempuan punya persepsi yang sama akan tujuan sebuah one-night-stand. Untuk kabur dari sebuah masalah, biasanya setelah putus. SALAH BESAR.
Momen seorang perempuan memasuki sebuah hubungan one-night-stand, dalam mata gue terbayang ia telah berlari ke masalah yang lebih besar, yang mungkin melibatkan ibunya anak-anak, keluarga besar dan seluruh rakyat Indonesia yang bermoral tinggi.
Dianggap one night stand adalah semacam puyer untuk mengobati rasa insecure, tidak dicintai, tidak diinginkan. SALAH BESAR LAGI. Tidak ada satupun aksi yang bisa membuat seorang perempuan lebih merasa hina, rendah dan tidak berharga daripada aksi semacam ini.
Gue terbayang, menit pertama bangun tidur, maka akan muncul perasaan tidak dipilih, karena jelas, you’re only good enough for one day. Akan ada perempuan lain, lebih jelek, lebih norak, lebih cupu, lebih gendut, lebih tidak berbakat, yang ternyata dipilih untuk mendampingi seseorang for his lifetime, just because she’s…a better person.
Kalaupun ada satuuu.. tujuan one night stand yang gue denger dari temen-temen (biasanya lekong): Sebagai short term remedy. Untuk memenuhi kebutuhan fisik maupun psikis dalam jangka waktu kurang dari satu hari. Tidak pernah ditujukan untuk jangka panjang, bila sakit berlanjut, cari pertolongan yang lain. Gunakan,sesuai aturan pakai.
Jika dengan attitude yang benar, mungkin perempuan sebenarnya sanggup melaksanakan one-night stand. Namun gue sendiri kayaknya tidak mau menjajaki kelakuan macam ini. Sungguh. Bukan pencitraan
After all, ‘selaki apapun’, gue tetap perempuan yang punya kebutuhan untuk didengar dan dihargai. Itu berarti gue akan kembali ke rumah dengan perasaan hampa, tidak gembira, tidak berbunga-bunga. Gue tidak punya memori indah untuk diingat. Mukanya saja mungkin lupa-lupa-inget.
Satu-satunya mungkin hal yang bisa membawa senyum adalah ketika mengetahui lelaki yang main serong kanan kiri itu jadi lebih bersyukur punya istri atau pacar ‘perempuan baik-baik’ sehingga kemudian pulang dan tidak membandel dalam waktu lama.
Atau merasa bersalah bukan kepalang lalu membelikan bunga dan cincin berlian out of the blue, sehingga istri dan pasangan merasa tersanjung dan bahagia. Atau mencari perempuan yang bener, yaitu dengan kriteria berlawanan dengan gue.
Tapi gue tidak pernah jadi orang suci yang bisa puas senang dengan hal-hal demikian. It’s just not worth it. Membiarkan senyum tertera di bibir wanita lain sedangkan gue terpuruk.
Tentu saja itu itu pikiran Margie yang bahagia. Mudah-mudahan, gue tidak pernah berada dalam keadaan begitu buruk sehingga gue mencari just for fun…