Chiong! Main-main sama Ramalan

Seorang teman sedang gundah gulana. Pasalnya, menurut ramalan ahli nujum kepercayaannya, ia akan bercerai dengan istrinya dua tahun dari sekarang.

 

“Ya elah bro yang kayak gitu dibeli, ramalan mah dengerin yang bagus-bagus aja!” Gue merespon santai. Namun sang teman lebih percaya sama ahli ramal daripada sama gue. Alih-alih, ia malah meminta sang peramal ‘membaca’ gue.

 

“BRO! KAGAK USAH BACA-BACA GUE! UDE! GUE KAGAK PENGEN TAU GUE KAPAN KAWIN SAMA SIAPA DI MANA!” Gue langsung menolak tegas. Bukan karena sekadar ramalan si ahli fengshui ini suka jelek, melainkan karena mahal.

 

Gue takut ketagihan dan terus terbelit hutang mencari primbon. Gue tahu betul nikmatnya godaan mengetahui lebih dari apa yang masa kini sudah tunjukkan.

Dua tahun yang lalu, gegara penasaran dengan oknum dibalik santet, gue jadi main gitu-gituan. Bukan sembarangan, setannya langsung gue panggil, gue sogok apel jin, guna membuka kartu majikannya dalam sebuah mediasi gaib.

 

Setelah melontarkan pertanyaan-pertanyaan sepele tentang siapa, kenapa, dan apa dampak santetnya, gue beralih pada pertanyaan yang lebih terkait hidup dan mati seperti siapa yang akan menang pilpres dan juara Piala Dunia.Gue pikir, dengan suasana sengeri itu, gue gak bakal mau main ginian dua kali, biar sekalian dapet untung.

 

Ah, alangkah nikmatnya! Taruhan dari penyisihan hingga final Piala Dunia nggak ada yang meleset. Gue menang banyak waktu itu.

 

Gue juga bertanya siapa jodoh gue, yang dijawab kalau jodoh itu datang dari barat. Girang kali gue mendengarnya, membayangkan pria bule tampan bermata biru yang akan menghabiskan hidup bersama. Gue langsung memacari pria keturunan Perancis sepulangnya.

 

Namun selepas sesi tanya jawab itu, seperti selalu ada yang kurang. Gue jadi kepingin tahu persis hal-hal lain tanpa ada mungkin dan kurang pasti, seperti juara piala dunia.

 

Sudah girang-girang menjalin asmara, semangat gue langsung dipatahkan oleh seorang teman yang berkomentar datar, “Ohh… loe uda pastiin belum, baratnya di mana? Jawa Barat, Jakarta Barat, apa Sumatera Barat?”

 

Baru gue sadar pertanyaan gue kurang detail.

 

Gue jadi kepikiran, hingga akhirnya karena ternyata si santet juga mempengaruhi anggota keluarga gue yang lain, gue kembali berkesempatan memanggil balik si jin yang kini lagi tugas pelet di badan orang lain.

 

Kali ini gue tampil lebih siap. Gue sudah menyusun daftar pertanyaan bak wartawan investigasi. 5W 1 H. Gue ketik rapi supaya nggak ada yang kelupaan. Gue berhasil mendapat jawaban rinci hingga berapa pacar gue selanjutnya, siapa yang paling kaya hingga inisial namanya.

 

Puas? Bahkan di saat orang sesuai ramalan itu ada di depan mata, guenya tetap penasaran. “Ah, masa yang ini sih? Coba-coba, dikocok lagi kartunya!” Demikian gue berpikir ragu, gatal kembali mencari peramal untuk memastikan.

 

Di saat itulah gue sadar betapa rasa percaya diri gue untuk melangkah terkikis sedikit demi sedikit. Setiap kali melangkah menemukan bahwa ramalan itu tepat, saat itu pula gue merasa ingin kembali pada sang peramal karena ternyata ada satu bagian yang belum gue pastikan.

 

Kata orang, sesi meramal itu menyedot aura. Energi yang sebenarnya digunakan untuk melihat masa depan, sebenarnya datang dari yang diramal sendiri, ketika ia ‘membuka’ auranya.

 

Lepas dari benar atau tidaknya, gue lebih yakin bahwa semakin sering orang diramal, semakin hilang kepercayaan dirinya. Ia jadi ragu melangkah dan seolah selalu tidak yakin dengan pilihannya sendiri. Itulah yang membuat auranya seolah hilang. Percaya diri itu kata orang bikin seksi.

 

Apa serunya hidup kalau semua-muanya udah tahu? Kita aja nggak suka temenan sama mereka yang sok tua dan sok bijaksana!

 

 

Dan akhirnya, hidup bergantung dan menuruti ramalan, gue jadi nggak yakin siapa yang hebat sebenarnya, peramalnya, atau orang yang percaya ramalan?

 

Seorang teman menjalin hubungan pacaran. Dalam kondisi normal, tentu ia sudah minta putus karena sering cek-cok. Sayangnya, ia diinfo bahwa pria ini adalah jodohnya. Tentu ia jadi tahan-tahanan karena takut jodohnya lewat dan terus gak dikasi lagi.

 

Seberapapun nggak cocoknya tetep disabar-sabarin. Akhirnya, mungkin menikahlah ia dengan pria tersebut dan mas ini menjadi jodohnya. Ramalan menjadi tepat. Tapi berkat siapa?

 

Tepat tidaknya sebuah ramalan kadang jadi tergantung oleh sugesti. Kita semua tahu betapa kuatnya energi sugesti. Bisa matiin lampu, bisa bikin orang ketiduran di tengah acara TV. Ramalan jadi bener, karena memang jalannya begono, atau karena yang diramal menjalankan hidup seperti ramalan?

 

Rasanya nggak mungkin, mendengar sebuah ramalan terus nggak kepikiran. Kita manusia memang selalu ingin menghindari kesalahan. Kalau sudah tahu dua tahun lagi cerai pasti males mempertahankan hubungan.

 

Sang teman jadi ogah-ogahan. Lebih sering travelling ke luar, jarang membelikan hadiah untuk anak dan istri, juga malah lebih senang bergaul dengan perempuan-perempuan lain.

 

Padahal mungkin pengalaman cerai itu perlu terjadi guna rantai kehidupan terus berjalan. Karena kesalahan itu perlu dan wajar terjadi. Kesalahan itu mungkin yang membawa pada jalur hidup yang lebih bener.

Atau mungkin, perceraian itu bisa saja ditanggulangi, dengan mengatasi segala kendala yang dihadapi.

 

Tapi tentu saja, sang teman tidak menggubris pemikiran gue. Ia sedang sibuk meletakkan ember berisi air di tengah-tengah kamar tidur. Bisa menyerap chiong!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *