Lobby Hotel
“Ibu Margarita!” Menoleh, mencari suara yang memanggil.
“Ah! Saya langsung ngenalin Ibu! Habis beda sih rupanya! Ibu orang apa ya?”
“Jakarta, Pak!”
“Ah, masa asli Jakarta?”
“Err..iya deh, Cina, Pak.”
“Bukan ah! Cina nggak kaya gini wajahnya! Bapak orang mana? Ibu?”
Menghela nafas panjang, terpaksa harus menjabarkan panjang lebar “Bapak campuran Jawa dan Cina. Ibu campuran Cina dan Betawi asli. Jadi saya 50% Cina, 25% Jawa, 25% Arab-Betawi.”
“Naa gitu baru pas, empat macam! Makanya saya nggak bisa nebak!”
“Tiga dong, pak, kan Cina-nya disebut dua kali.”
“Tapi Betawi harus dipisahkan dari Arab-nya.”
“Atur aja, Pak…”
Setelah sapaan yang ternyata berbuntut panjang itu usai, gue melirik jam. Lima belas menit terbuang. Gue menghela nafas panjang. Pupus sudah harapan duduk paling depan.
Bertambah lagilah derita kehidupan seorang Cina Tanggung.
Sebagai orang yang oportunis, gue rela menjadi bunglon guna memaksimalkan keuntungan. Tapi kadang, keberuntungan suka tidak berpihak, dan menjadi Cina Tanggung malah membuat gue berada di posisi serba salah. Saat gue sedang gencar-gencarnya menutupi kecinaan dengan tasbih dan jilbab palsu, kerumunan masa anarkis di tahun ‘98 tetap saja berteriak, CINA! CINA! CINA! BAKAR! BAKAR! BAKAR!
Di saat gue sedang semangat-semangatnya ngaku Cina, pernyataan malah berbuntut kecurigaan. Seorang teman pacar langsung mengklarifikasi pada pihak lain usai dikenalkan pada gue, “Katanya si Abang pacarnya kali ini Cina, MANAA? Yang kemarin jalan bareng kagak ada Cina-Cina-nya!”
Penjelasan panjang lebar seperti yang telah membuat gue kehilangan kesempatan membidik foto-foto berkelas juga belum tentu berakhir baik. Kadang saat masih sibuk menjelaskan, bapakku Cina, campuran Jawa, ibuku juga Cina campuran.... Sudah dipotonglah gue, “Halah kalau Cina mah Cina aja! Ga usah pake banyak pembelaan!”
Jadi jelaskan padaku, masyarakat, bagaimana seorang Cina Tanggung sepertiku harus bersikap?
We, people, luuurrrve to make classification, don’t we? Klasifikasi membuat hidup terasa lebih mudah. Alangkah menyenangkannya jika segala hal di dunia ini bisa dimasukkan dalam kotak-kotak yang diberi post-it dengan bewarna berbeda. Tentu akan memudahkan setiap pengambilan keputusan, penilaian dan hubungan antar masyarakat.
Sebodo wae jika kalau dalam pembuatan kotak-kotak itu ada beberapa sisi tidak sama rata yang harus dipotong supaya pas dengan kotak. Yang penting jelas, sederhana, mudah dilihat. Demikian juga dengan klasifikasi ras, yang membantu penentuan opini, jodoh, dan kewaspadaan dalam penipuan.
Seyogyanya jelas, totok, dan mutlak. Kalau Cina ya Cina. Jawa ya Jawa. Sebaiknya tidak ada bagian yang abu-abu gelap. Apalagi dalam dikotomi yang paling mutlak: Cina dan Pribumi. Kotak Jawa-Betawi masih disediakan. Kotak Cina Hokien dan Khek juga ada, meski disimpan agak tersembunyi. Tapi kotak Cina-Pribumi dicampur? Agak membingungkan dan membuat hidup terasa lebih rumit.
Gue sebenarnya sudah mantap akan ke kotak mana gue harus dicemplungkan. Berdasarkan mayoritas gen, tampak fisik dan kemampuan mencari untung, gue Cina. Dan seperti yang sudah jelas dalam berbagai kesempatan, gua berbangga hati menjadi Cina. Tentunya kecuali dalam kondisi tidak memungkinkan seperti pada saat ditilang, dimana gue akan berbohong akan segala kotak identitas gue dengan mengaku sebagai anak jendral.
Lagipula keberadaan nenek moyang gue yang satu ini seringkali diingkari oleh para keturunannya. Jadi apa salahnya, menyenangkan mereka sekali-sekali. Niscaya berkat dan rahmat akan diturunkan lebih daripada oleh leluhur lain yang harus membagi rata pada semua turunan. Lebih untung, cihuy!
Tapi selain suka mengkotak-kotakkan, sifat dasar manusia yang lain adalah, TIDAK PERNAH PUAS. Jika yang diklarifikasi memilih satu kotak tertentu, yang bertanya belum tentu bisa menerima. Tentunya karena berdasarkan pengamatannya, subjek tersebut harus masuk kotak yang lain.
Seseorang pernah menyesalkan gue yang tidak sedari awal memperingati akan keciinaan gue. Kalau sudah tahu, ia tak bakal melakukan pendekatan. Sewotlah gue waktu itu. Gue merasa sudah menyatakan dengan jelas, meski tanpa kata-kata.
“Loe ga liat muka gue? Kurang Cina apa sih? Karakteristik yang belum ada cuma huruf kanji di jidat!”
“Nggak, buktinya kmaren ada yang bilang loe kayak Nirina Zubir, Nirina kan Padang, jadi wajar aja gue ngira loe Aceh, atau Sumatra Utara…”
“Yang ngomong juga buta! Kalian pada ga liat apa alis gue?”
“Alis loe yang mana?”
“NAA ITU DIA, KAGAK ADA! GUE GAK PUNYA ALIS! MANA ADA PADANG ALISNYA TIPIS, NYOOONG!”
Demikianlah sebaliknya. Ke dalam kotak Cina totok, pengakuan identitas gue juga kurang diterima. Seorang supir taksi di Singapura pernah menyergah gue, kalau orang Indonesia bilang aja, gak usah ngaku-ngaku Cina. Saat gue bilang gue sungguh Cina, tapi bahasa Mandarin gue tidak lancar. Maka ia berkomentar, kalau gitu gue adalah Cina yang bodoh…
Tidak bolehkah gue memilih kotak Cina-Indonesia? Atau gue harus memilih antara Cina atau Indonesia? Dan saat memilih Cina, gue harus masuk kotak yang lebih kecil lagi, Cina Bego? Kalau gue pilih Indonesia, akankah kata ‘Palsu’ akan ditambahkan di label post-it gue?
Menilik dan ditilik dari sejarah, gue akan menyalahkan sifat manusia yang suka mengkotak-kotakan atas klasifikasi kurang mengenakkan itu. Tapi siapalah gue mau mengubah hakikat manusia. Maka gue cuma akan meminta dibuatnya kotak baru dalam klasifikasi etnisitas:
Label: Cina Tanggung.
Ciri fisik: Seperti hologram. Dilihat dari kiri sangat Cina sekali. Dari kanan, di bawah lampu disko, suka terlihat seperti orang dari daerah lain, meski tidak bisa dijelaskan secara pasti. Atau sebaliknya, dari kiri tidak Cina, dari kanan juga tidak, tapi sungguh Cina. Sumpah.
Warna kulit: Kuning, namun kulit cokelat pun boleh masuk, guna mengakomodasi para HiTaChi.
Kepribadian: Pandai berhitung, tidak suka merugi, namun terkadang boros dan suka membantu teman. Sifat sebaliknya, yaitu pelit tapi kemampuan matematis buruk, sebaiknya masuk kategori lain saja yang sudah disediakan,misalnya menggantikan gue di Cina yang Bodoh.
Setelah kotak ini dibuat, silakan buat penilaian dan sikap bertindak. Niscaya jika konsep ini sudah terpublikasikan dan diterima masyarakat, derita gue sebagai Cina Tanggung bisa berkurang. Dan gue bisa kembali menjadi sosok yang oportunis. Untung besar!