Civil War AADC 2: Rangga Vs Trian

“Lain kali kalau AADC ada triloginya, kalian pada nonton DVD di Rumah aja deh! Pada ribut sama pilihannya masing-masing yang gak bakal kesampaian itu!” demikian komentar seorang teman setelah kami nonton film Ada Apa Dengan Cinta  (AADC 2).

 

Menginjak usia yang ke-30, sekelompok perempuan alumni SMU yang sama ini memang sudah mulai kehilangan cara menonton film yang pasrah, tanpa kritik berlebih, termasuk pada alur film. Di akhir film, grup ini terbagi menjadi Tim Rangga dan Tim Trian.

 

Gue jelas termasuk tim Trian, si pacar baru dan tunangan Cinta. Gila aja loe. Apa sih salah Trian? Ganteng, berwibawa, mapan sejak lahir, baik hati, bijaksana…

 

“Tapi gantengan Rangga, ah!” begitu seorang Tim Rangga membela.

“Ya elah, namanya juga pemeran pendukung, ya dibikin nggak ganteng lah, dipeciin juga jadi ganteng! Turun dari mobil BMW juga jadi ganteng! Daripada Rangga musti sewa mobil, loe tau nggak sih aslinya mobil itu gampang mogok dan panas karena AC-nya sering mati!” gue membela.

 

Begitu fanatiknya dengan Tim Trian hingga di akhir film gue sibuk membagikan link ‘Surat Balasan Trian’ dan mengompori setiap orang yang gue ajak bicara tidak peduli gender, agama maupun latar belakang.

 

Hingga salah satu target kampanye Tim Trian tiba-tiba membalikkan kondisi. “Bagaimana jika dalam kehidupan nyata, Cinta itu lelaki, Rangga dan Trian itu perempuan, dan KAMU adalah Rangga?”

Demi melengkapi penghayatan, gue diberi brief: Cinta dan Trian, perempuan yang akan dinikahinya, sama-sama dari keluarga sama-sama berada dan sudah saling kenal. Tapi tiba-tiba datang gue, perempuan yang biasa aja, tapi kelihatan keren foto-foto dan jadi jurnalis lalu banting setir mengurus start-up buah-buahan.

 

Pengalaman travelling bersama gue membuat Cinta ragu apakah sebaiknya ia membatalkan pernikahannya untuk satu kesempatan bersama gue.

 

“Kamu pilih Cinta jadi sama siapa?” tanyanya.

 

Gue gelagapan seperti habis tersedak biji manggis. “Yaa, kalau kayak gitu ceritanya, Rangga lah, aku maunya jadi yang dipilih dong,” gue menjawab sambil cengengesan.

 

“Kamu memilih seperti itu, demi kamu, demi lelaki ini, demi keluarganya, atau demi masyarakat banyak?”

 

Biji manggis kedua yang gue telan malam itu. For the glorious purpose of preserving my gene to the next generation, gue membatin menjawab pertanyaan tersebut.

 

Gue teringat satu episode Brain Games di National Geographic tentang Trolley Effect. Dalam sebuah percobaan, beberapa orang diminta membayangkan jika mereka menjadi seorang yang dapat mengganti arah kereta yang sedang melaju kenjang. Di rel depan, ada 4 orang pekerja.

 

Apakah mereka memilih terus jalan dan menghajar 4 orang pekerja di hadapan, atau pindah jalur dan menghajar satu orang pekerja yang tidak berdosa? Pada percobaan pertama, setiap orang menjawab pindah jalur. Secara moral, menyelamatkan 4 orang lebih baik daripada satu.

.

Namun jawaban langsung berbeda ketika diinfokan si satu orang ini adalah seorang yang dekat dengan kita, seorang kekasih, orang tua, atau bahkan anak. Setiap peserta percobaan langsung tergoda untuk memilih terus menghajar 4 orang.

 

Tanpa sadar, kita digerakkan oleh satu insting dasar untuk mempertahankan diri, meneruskan gen dan kehidupan kita ke kehidupan selanjutnya. Survival of the fittest.

 

Ketika hanya harus memilih 4 dan 1 orang, peserta memilih empat, bukan karena sekadar moralitas tapi bahwa empat manusia hidup punya kesempatan meneruskan kehidupan kita sebagai sesama manusia lebih daripada satu orang.

 

Namun ketika satu orang itu adalah orang yang dekat dengan kita, orang yang mungkin punya kesamaan gen dengan kita, maka kita memilih satu orang itu, untuk kesempatan lebih besar meneruskan diri ke kehidupan selanjutnya.

 

Dan sesuatu yang personal ini akan berbeda dari satu orang ke orang lainnya, tergantung dengan peran dan latar belakang pribadi,

 

Saat nonton, gue memposisikan diri jadi Cinta, meski wajah jelas ujung ke ujung bedanya. Sebagai Cinta tanpa sadar gue mempertimbangkan siapa yang bisa lebih menjaga turunan gen Cinta sampai milenial mendatang.

 

Lalu gue masuk Tim Trian karena latar belakang pribadi, yang kebetulan nggak pernah punya mantan pacar seganteng Nicholas Saputra. Membayangkan mantan-mantan gue tiba-tiba papasan di Jogja pas lagi packing salak adalah semacam sekuel Bangkit Dari Kubur.

 

Kalau gue balik sama mantan-mantan ini jelas gue tidak akan survive. Tapi kalau sama Trian, wah, gue akan punya keturunan yang ganteng dan mapan sejak lahir itu, yang menurut berbagai penelitian, tentunya punya harapan hidup lebih tinggi.

 

Tapi jika peran diubah, bahwa gue kini menjadi Rangga, tentu gue akan berpikir demi kesempatan survival gen Rangga. Yang akan punya kesempatan lebih besar untuk diturunkan jika menikah dengan Cinta daripada menjomblo.

 

Itulah yang akhirnya membelah perempuan Indonesia, sebagian memilih Rangga dan sisanya memilih Trian, atau sebagian memilih Captain America dan sisanya memilih Iron Man, atau sebagian memilih Batman dan dan sisanya Superman.

 

Karena setiap individu ini akan mengasumsikan peran tertentu, entah menjadi Cinta, menjadi Rangga, atau menjadi Trian, dan mengombinasikannya dengan latar belakang pribadi yang tidak ada kaitannya sama film, untuk muncul dengan pilihan terbaik demi kebertahanan hidup mereka.

 

Can we judge? I don’t think so. Entah itu atas nama cinta, atas nama kedamaian sebuah keluarga, atas nama kenyamanan personal, pada akhirnya, semua berbuntut pada sebuah insting untuk menjaga kelangsungan hidup setiap individu.

 

Demikian gue harus menerima apapun pilihan Cinta pada akhirnya, karena mungkin gue belum kenal Cinta segitunya. Mungkin Cinta akan memilih Rangga karena ia datang dari keluarga berada yang tidak perlu tambahan harta untuk bertahan hidup. Tapi ia butuh rasa suka banget-banget untuk sebuah proses meneruskan keturunan organisme.

 

Meski gue yakin tipe yang dipilih Cinta di kehidupan nyata, bukan tipe Rangga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *