Confession of a Shopaholic

Setelah menonton Confession of a Shopaholic weekend lalu, aku jadi resah gelisah. Bukan karena gue seorang shopaholic, (kalau itu sih ga mungkin, lah!), tapi karena menyadari betapa kritisnya seseorang dalam denial state itu.

Bayangin aja, masa sudah terbelit hutang belasan ribu dolar dan bisa berhalusinasi melihat mannequin bisa ngomong, masih bisa ngaku bukan shopaholic?! Itu kan hal yang jelas banget! Sayang sekali memang itulah sisi paling memprihatinkan dari kondisi in denial. Hal yang jelas keliatan terang-terang bisa terasa abu-abu netral. Makanya jadinya kronis, bagaimana bisa sembuh, menyadari penyakitnya aja gak mau.

Lalu gue ngeri sendiri, jangan-jangan gue juga sedang in denial, sakit tapiĀ ga ngakuĀ sakit. Gue kemudian merenung-renung, tentang kejadian dan kebiasaan yang membuat orang menuduh gue yang bukan-bukan, yang gue bantah dengan hati bulat.

Hmm…supaya ga langsung sedih menyadari diri gue sakit, gue mulai dengan hal yang pasti bukan gue banget dulu. Sesuai judul film, gue menilik tentang hobi belanja. Gue dan mulai fokus pada hal-hal berkaitan dengan pakaian yang pernah terjadi pada gue, dan muncul dengan daftar berikut:

  1. Pernah hampir mati kehabisan nafas karena kegencet di antara dua pintu lemari pakaian yang sudah tidak bisa ditutup.

Lemari pakaian di asrama gue memang tidak ergonomis dan terlalu kecil, sehingga cepat terisi penuh, hingga pintu lemari A berhimpitan dengan pintu lemari B (Lihat denah kamar gue).

 

Suatu hari gue nekat menyusup di antara kedua pintu tersebut untuk mencari sebuah baju di Lemari B. Akibat gerakan yang berlebihan, isi lemari B bertumpahan ke arah gue sedangkan tiba-tiba isi Lemari A ikut ambrol (warna merah = luberan baju), menghimpit gue (buletan bewarna hijau kekuningan) di ruangan nyaris hampa udara. Gue tak bisa keluar karena persis di samping lemari ada kepala ranjang yang cukup tinggi. Untungnya saat itu gue masih belum jomblo-jomblo amat sehingga masih tertolong. Kalau ga, alangkah ironisnya gue mati karena sesuatu yang sangat gue cintai, murdered by clothing….

  1. Pernah menyogok SPG hanya supaya gue jadi orang pertama yang membeli baju koleksi terbaru

Tersebutlah sebuah toko di Plaza Indonesia yang konon menjadi langganan para selebritis muda Indonesia pada masanya. Maklum artis, mereka kurang suka tersaingi rakyat jelata, menyebabkan mereka selalu ingin baju-baju koleksi terbaru disimpan terlebih dahulu hingga mereka datang. Tujuannya untuk memberi jeda sekitar 2 minggu sebelum baju yang mereka telah beli dan pakai, jadi konsumsi rakyat kebanyakan.

Murkalah gue mengetahui ada yang mengalahkan gue soal kemutakhiran berpakaian. Guna menjadi yang pertama yang mencoba setiap helai baju, gue membayar dua kali lipat sogokan rata-rata (maklum gue bukan artis). Kalau dipikir-pikir sekarang, sungguh tolol macam artis tak berotaklah gue bersikap sedemikian. Tapi ketika berhadapan dengan baju baru yang bahkan belum ditempel tag harganya, pengorbanan gue terasa sungguh…wajar…

  1. Pergi sendiri, pulangnya harus bawa tentengan

Sekecil apapun, mau buku tulis berhologram kek, mau celana dalam kek, pokoknya gue harus membawa pulang sesuatu seusai bepergian sendiri atau gue akan merasa sebagai orang yang gagal. Kalau terjebak rasa bersalah karena sudah cukup boros, gue akan menuju ke arah pakaian pria dan mulai membelikan bokap gue kemeja. Kan beliau yang mencari nafkah, gapapa dong dibelanjain…Mungkin itu sebabnya gue punya pakaian dalam aneh yang tidak ada fungsinya serta payung elektrik bewarna ungu.

  1. Rela tidur di sebelah pipa gas guna mendapatkan dua susun lemari sepatu

Ya, kamar dimana gue nyaris merenggang nyawa itu sengaja gue pilih karena itulah satu-satunya kamar di asrama gue yang punya dua lemari sepatu untuk satu orang. Sebenarnya hanya 1.5 karena lemari sepatu kedua dilewati pipa gas sehingga kurang maksimal sebagai lemari. Toh kalau pipa gas segede itu meledak, niscaya satu asrama bakal musnah, jadi gue tidak sendirian. Pengorbanan yang sia-sia, karena dengan 1.5 lemari itu, masih banyak sepatu gue yang tidak tertampung dan tercecer di depan pintu kamar.

  1. Berprinsip makan siang itu membuang-buang waktu belanja

Dalam keadaan mendesak, misalnya ketika waktu belanja sangat terbatas, tiba-tiba lambung gue mengecil sedikit. Cukup sarapan sehat di pagi hari (ketika toko belum buka), lalu memulai belanja marathon menelusiri toko-toko hingga…kok tau-tau gelap ya? Ahh…ternyata hari sudah malam dan gue melewatkan makan siang, minum teh dan makan malam. Supaya tetap sehat, gue membeli es krim di pinggir jalan, menelannya lalu lanjut belanja hingga toko tutup. Oknum R tahu benar, saat-saat seperti ini adalah saat gue tidak bisa diganggu oleh telpon dan pekerjaan lain.

Hmm..masi ada lagi sih, bahwa lemari buku terpaksa digusur jadi lemari baju, demikian juga dengan lemari boneka dan lemari mobil-mobilan, lalu ketika pindahan baju-baju ditimbang, beratnya mencapai ratusan kilo, dan gue percaya beli tas mahal itu investasi, kalau sudah bosan bisa dijual ke Madam Milan si penadah tas bekas, harganya kan naik terus seiring bergesernya dolar…Hmm..apa lagi ya?

Ahh..cuma segitu aja kok, gue sih sudah pasti bukan shopaholic! Jumlah baju gue memang diatas rata-rata manusia pada umumnya, tapi emangnya kenapa, gue selalu mencari penawaran terhemat kok! Gue emang suka lihat baju baru dan belanja, yah..wajarnya perempuan pada umumnya lah! Ternyata gue memang tidak dalam denial state! Ga ada yang berlebihan dari diri gue! Horeee…

Se-menyedihkan inikah seorang yang dalam kondisi in-denial?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *