“Jadi, harusnya dipepet atau enggak nih?”
“PEPET LAHH!! Udah umur berapa inii? Mau sampe kapan lagi loe nunggu terus diserobot orang! Jemput ke kantor! Santronin rumahnya tiap hari! SANTET semua saingan!”
“Ya elah siiisss…. Susah-susah amat, klo mau cepet kawin mah, loe pindah agama aja, pake atribut agamanya, terus pindah ke daerah X, pasti ada yang kasian trus mau ngawinin eloe!”
“Ya nggak se-desperate itu juga kali Gy, masa asal dapet doang?”
“YA ITU DIA MAKSUD GUEEE! LOE MAU ASAL KAWIN AJA??”
Suasana private room di restoran Perancis yang sengaja disewa untuk acara siang itu langsung terdengar riuh dengan perdebatan kami. Salah satu dari kami, sebut saja Tinta, baru saja ditikung seorang perempuan yang semenjana sekali rupanya dan karirnya. Nggak jelek sih, tapi juga nggak cakep-cakepnya orang.
Sedangkan Tinta, pengusaha perhiasan yang punya pelanggan sampai ke Hong Kong, rajin yoga, langganan dokter kulit. Dugaan keras, perempuan tersebut lebih sakses karena jago memepet.
Di saat Tinta masih bergelut dengan gengsinya untuk menelpon duluan, untuk bilang suka duluan, gadis semenjana sudah melesat menjemput Pujaan Hati ke bandara, jadi sopir AKAP, menunggu di depan kantor hingga subuh. Sudah jelas siapa yang akhirnya jadi juara. Tinta kalah set.
Seminggu setelahnya, Pujaan Hati menunjukkan bahwa ia masih menyukai Tinta. Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Tinta bertanya-tanya apakah kini sebaiknya ia ganti strategi, adu pepet untuk merebut hak yang hilang. Toh pujaan hati tidak pernah menunjukkan ia bangga punya kekasih seperti Gadis Semenjana.
Hari itu gue berpihak pada tim non-pepet. Ngapain, udah usaha susah-susah, yang gue dapatkan hanya cowok yang bisa dipepet. Buat hidupnya sendiri aja dia nggak berani ngotot untuk apa yang dia lebih inginkan. Maunya milih yang gampang aja. Masa gue yang usahain supaya dia seneng? Tidak ada hukuman yang lebih layak dibandingkan mendapatkan hidup yang semenjana saja.
“Ya tapi kan itu karena loe masih lebih muda, Gy!” demikian tukas seorang teman yang lain mendengar argumen gue. Di antara teman-teman gue siang itu, gue memang satu-satunya yang berusia di bawah 30 tahun.
Mungkin aja, kalau gue sudah umur 31, gue bakal frustrasi dan kalang kabut mencari suami. Lalu gue akan memfokuskan semua usaha gue untuk memepet pria semenjana manapun agar sudi meminang gue.
“Tapi justru karena loe udah pada tua! Stamina loe semua kan udah pada turun! Suatu hari nanti akan ada perempuan lain yang muda belia seger yang sanggup mepet laki loe dengan lebih getol! Kabur dong die!” gue berkilah berargumen.
Hidup gue nggak bakal pernah tenang kalau mendapatkan cowo yang memlih pasangan hanya karena dipepet. Kehilangan pasangan, cuma perkara hari ini atau 30 tahun lagi.
“Ah, nggak semua kayak gitu kali, Gy… Dia kayaknya tipe setia deh, mungkin setelah nikah dia nggak bakal mau dipepet perempuan lain,” demikian Tinta membela Pujaan Hati. Ya bisa aja sih.. ada juga pasangan yang awet meski berawal dengan dipepet, gue mengakui.
“Tapiiii.. loe kan tau loe ngedapetin cowo itu karena loe mepet! WHAT WOULD YOU TELL YOUR HEART?” gue kembali berkilah. Gue segera membuka jejaring sosial milik Pujaan Hati dan Tinta di kedua handphone.
“Loe liat, pas loe yang jalan sama pujaan hati, siapa yang lebih sering upload foto duluan?”
“Pujaan hati,” jawab Tante.
“Klo loe yang posting, dia ngasi comment ga?”
“Iya.”
“Di-like nggak?”
“Iya.”
“Seneng nggak loe?”
“Seneng…”
Gue kemudian mengganti account Tinta ke Gadis Semenjana.
“Tuh, loe liat, pas pujaan hati jalan sama Gadis Semenjana, siapa yang lebih banyak ngeposting?”
“Semenjana,” jawab Tante manteb.
“Dikomen nggak sama Pujaan Hati?”
“Jarang, kalau yang pasang-pasangan gini nggak pernah.”
“Di-like nggak?”
“Nggak.”
“Sedih nggak loe, di social media aja loe nggak diakuin?”
“iya juga sih sedih.”
“Sedih nggak loe kalau loe baru jadian tapi cowo loe sibuk nyariin perempuan lain?”
“Aduh! Amit-amit! IYA! Sedih banget!”
“Nah!” Gue mencetus. Seberapapun gue terlihat sebagai gadis yang beruntung telah mendapatkan pujaan hati, hati kecil gue nggak akan bisa dibohongi. Gue dipilih karena gue mepet. Bukan karena kecantikan gue, karena kecerdasan gue, atau karena sifat gue yang lembut seperti putri salju.
Gue nggak akan bisa marah kalau suami gue selingkuh. Karena.. emang dari awal dia nggak cinta-cinta amat sih sama gue! Gue juga nggak akan bisa berkutik kalau dibandingkan sama perempuan lain. Karena well, keunggulan gue emang cuma jago mepet.
Betapa buruknya hal itu bagi kepercayaan diri gue. Gimana gue bisa bangga akan diri gue sendiri kalau pacar sendiri aja nggak bangga pacaran sama gue.
“Tapi ya, Gy, itu tuh pikiran sesat yang muncul karena loe merasa mapan! Buat perempuan lain mah, nggak masalah tuh! Buktinya Gadis Semenjana hepi-hepi aja di foto!” Tinta kembali berkilah.
Hmmm.. gue berpikir. Mungkin juga. Dan mungkin itulah penyebab teman-teman gue ini, para perempuan high level management dan para pengusaha berwajah cantik ini tetap melajang di usianya yang sudah kepala tiga.
Kata orang, kalangan ini banyak gengsi. Maunya dikejer. Maunya dicari-cari.
Tapi dalam proses mencari yang semacam itu, lupalah mereka. Usia makin meninggi, karir makin memapan. Bukannya nggak bangga dan nggak naksir, tapi yang model kayak gini bikin jiper.
Akhirnya, kalau nggak mengejar, nggak ada yang tahu bahwa perempuan berhati baja ini pun juga manusia. Justru, perempuan sejenis ini harus lebih lagi memepet lelaki, untuk menunjukkan perasaan yang sebenarnya. Lagipula, mau sampai kapan bergelut dengan gengsi.
Suatu kali, seorang teman pacarnya dipelet pembantaian. Di hari pertama, ia berkata lantang, “Biarin aja Gy, dia dipelet, makan tuh pembantu! Gue masih bisa cari yang lain!”
“Setuju!”
Di bulan berikut, setelah melakukan observasi, ia pun menambahi, “Eh tapi kalau tiap kali gue dapet laki yang lumayan terus diserobot orang melulu, kayaknya sih kita musti berbuat sesuatu!”
Namun entah mengapa, gue masih terus enggan untuk menerapkan metode pepetan. Mungkin kemakan filosofi si mamih yang diturunkan pada anak-anaknya. “Carilah suami yang mencintai kamu lebih dari kamu mencintai dia.”
Perempuan, akan dengan mudahnya jatuh hati dan menjadi setia pada pria yang mencintainya dengan tulus. Akan tetapi, lelaki akan lebih mudah berpaling jika ditemukan perhatian lebih dari perempuan lain.
Bukannya 100 persen jaminan lebih setia, tapi setidaknya jika ia memang mengagumi istrinya, barrier selingkuh akan menjadi lebih tinggi. Dengan begitu, gue akan lebih merasa aman, dicintai, dan bisa menjadi diri apa adanya dalam sebuah hubungan.
Dan mencari suami dengan cara memepet, jelas tidak sesuai dengan filosofi ini. Tentu saja ada beribu alasan untuk membantahnya. Tapi seorang teman yang pernah mengalami keduanya (lebih mencintai daripada dicintai, dan lebih dicintai daripada mencintai) selalu memberi contoh kasus yang menyemangati.
Hope sudah jadi kekasih gelap seorang pria dari si pria belum menikah, hingga menikah. Totalnya 7 tahun. Kalau perempuan lain bercita-cita ingin jadi istri, Hope cukup bahagia jika dijadikan istri kedua.
Tentu saja ada masanya Hope menghibur diri dengan menyatakan pria ini lebih mencintai dirinya daripada istrinya. Dia nggak bahagia sama istrinya, dia nyesel nikah cepet-cepet, dia mau cerai… hanya karena orang tua dan agama… blah…blah..blah..
Sebuah alibi yang gue dengarkan sambil lalu sambil main blackberry (waktu itu masih jaman). Yang gue lihat, hanya seorang perempuan yang setengah mati mencintai pria yang nggak menganggapnya worthy enough untuk melakukan perjuangan yang terlalu berat. Atau mungkin seorang perempuan tangguh yang jatuh cinta sama pria yang melempem?
Hingga akhirnya entah petir apa yang membuat tai kucing itu tidak lagi terasa coklat. Di usia yang agak kelewat tua, yang jelas di atas 30, ia akhirnya menikahi pria lain yang sungguh-sungguh bisa menjadi teman hidupnya. Katanya sih, ternyata dicintai dan dipuja sama orang yang kita sukai tetap lebih enak.
One in a million! Tetep aja temen loe nggak nikah sama cowo yang disuka, tetep aja perempuan lain yang dapet! Begitu nyinyirnya teman-teman sore itu ketika mendengar kisah motivasi dari gue.
“Yang kawin kan tetep Semenjana, gue tetep aja gue jomblo!” Cetus Tinta lantang.
Sesaat gue menghentikan makan, menatap lurus, lalu bertanya, “loe mau tuker tempat?”
“IHHH enggak lah! Gue mana sempet jemput-jemputin gitu tiap hari, gue musti bedah 5 pasien tiap hari!” jawab yang satu, seorang dokter bedah.
“Kan gue cuma mau kawinnya aja! kalau tukeran gaji sama penghasilan juga mah ogah! Rugi banget gue!”
“Ya jangan sampe nasib juga tukeran dong, Sekarang gue kalau di Amerika ke mana-mana naik private jet, sama dia? Cuma naik Garuda Ekonomi!” cetus nona pengusaha.
Jawaban yang sama dicetuskan ketika dulu gue bertanya pada pada Hope. Mau tuker tempat? Mau jadi istri, tapi tahu suaminya tidur dengan perempuan lain? Mau jadi istri tapi tau bahwa pas tidur yang dibayangin suaminya orang lain?
“Ya sudah kalau gitu,” Gue menutup perdebatan sambil kembali berkonsentrasi pada veal steak gue.
Pada akhirnya, it’s all about choices and values. Akan ada orang-orang yang bersedia mengorbankan perasaannya sendiri demi mendapatkan apa yang diinginkan, bahkan ketika hal itu tidak sepenuhnya jadi miliknya. Bagi mereka, tidak masalah harus mengubah jati diri agar lebih sesuai untuk orang lain. The Power of Love, kata istri mantan pacar Hope.
Orang-orang inilah yang kemudian mendapatkan orang-orang yang bisa dipepet. Mereka mungkin jodoh yang dirancang Tuhan.
Namun akan ada orang-orang lain, yang akan bilang makan tuh cinta! Yang tidak ingin mengorbankan perasaan dirinya sendiri demi sebuah status. Bagi mereka, bahagia dan merasa cukup dengan diri sendiri lebih penting daripada meng-iya-kan tuntutan sosial.
Untuk mereka, Tuhan mungkin juga sudah menyiapkan jodoh, tapi jumlahnya satu. Lebih susah dicari. Dan yang satu itu mungkin bukan yang mereka harapkan pada awalnya.
Tidak ada yang benar dan salah. Yang pro pepetan, akan menuduh tim seberang jual mahal, keras kepala, nggak mau kompromi dan berakhir tua ditemani kucing-kucing. Yang kontra pepetan, akan bilang tim seberang hina dina, makan ati seumur idup, menipu diri sendiri.
Apapun yang akhirnya dipilih teman-teman siang itu, gue berharap they could look at the mirror every morning, and tell their heart honestly, that they are happy, mepet, or not mepet.