Dasar anak kota!

Kemane aje loe?! Sudah hampir tiga minggu gue lebih sering absen dari kegiatan per-online-an. Maklum, gue sedang memikirkan chicklit khusus cowo yang ternyata jadi (excuse). Ditambah gue mendapat tambahan kerja jadi lifestyle editor untuk MSN Singapore (excuse). Si blog ini mau dibukukan (excuse). Dan gue sakit 3minggu penuh (excuse). Okeh, gue harus berhenti membuat alasan. Kalau tidak, the whole post is going to be made up from my excuse and once I stop making excuse, the whole blog is gone.

 

Kenyataannya, gue cuma sedang menjadi anak kota sesuai stereotype pengamat budaya dan sosial lainnya saja. Anak kota yang mengutamakan sosialisasi, sehingga dalam 3 minggu diserang 3 virus flu yang berbeda. Anak kota yang hidup untuk senang-senang, sehingga setelah dipotong waktu istirahat flu dan kerja, sudah tak ada lagi waktu untuk merenung dan berefleksi.

 

Kenyataannya, daripada memanfaatkan liburan long-weekend untuk pemulihan kesehatan dan merawat diri, gue malah ngotot berwisata ke Batu Karas dengan kuartet macan (empat sahabat perempuanku), mengakibatkan sakit berlipat ganda dan semakin sedikitnya waktu dihabiskan secara positif.

 

Tapi tetep ada hikmah yang bisa diambil kok dari Petualangan Batu Karas, selain hikmah kenikmatan (excuse lagi). Berada di dua jam lepas Pangandaran (atau 9 jam lepas Jakarta) memberi kesempatan mengkonfrontasi stereotype tentang perempuan kota sekaligus mengukuhkan jati diri gue.

 

Setiap kali gue mendapatkan pandangan dasar anak kota.. gue menemukan satu lagi stereotype sekaligus ciri-ciri kami, yaitu bahwa anak perempuan kota itu…

 

1.       Tidak peka terhadap norma sekitar

Entah apa yang ada kami pikirkan. Mungkin kami memang tidak peduli dengan tata karma yang berlaku di tempat lain. Jika kami PEKA, mungkin kami tidak akan hanya membawa BIKINI untuk berenang di KALI. Tiba di Sungai dan Air Terjun Citumang dengan celana pendek, tanktop, kaca mata hitam besar dan topi ala Jackie O saja gue sudah langsung mendapat tatapan heran warga sekitar yang sedang berendam di kali tersebut. Apalagi terjun ke dalam sungai dengan pakaian murah hati  bagian dada, paha, dan anything in between tersebut.

 

Bidadari saja pas mandi cuma berani lepas selendang…Kami berpikir saat mengamati sekelompok wanita turun ke air dengan baju lengkap hingga kerudung sedangkan kaum pria-nya berendam di sisi lain sungai. Terpaksa bagi yang bawa baju ganti, berendam dengan baju gantinya sekaligus, yang nggak bawa, harus percaya diri. Selalu lihat sisi positif, kami jadi benar-benar bisa menjelajah daerah aliran sungai tersebut; Mamang yang mengantar kami nampaknya cukup senang menjadi tour guide tanpa bayaran sekalipun…

 

2.       Nekad, tidak pemalu, tidak alus-alus

Di daerah manapun di Indonesia, memang tetaplah setiap anak perempuan diajarkan untuk bersikap santun dan agak sedikit pasrah. Namun nilai emansipasi dan kejamnya ibukota mungkin telah menggerus nilai-nilai tersebut. Guna membela nilai keadilan dan kebahagiaan, kami tanpa basa-basi akan bersikap nekad, meninggalkan nilai kelembutan, bahkan kalau harus berhadapan dengan pengedar sekalipun.

 

Sudah menjadi rahasia umum, daya tarik Batu Karas selain pantai pasir hitam dan Citumang, adalah  ‘jamur gembira’, menjadikannya salah satu agenda penting liburan kami. Alangkah kecewanya kami saat jamur campur fanta yang dibeli ternyata cuma membuat kami ketawa-ketawa. Meski lepas tengah malam, berbondong-bondong kami menyantroni markas Bang Jabrik (pengedar mushroom berambut gondrong) di pinggir pantai yang telah gelap gulita.

 

“MANAA yang katanya jamurnya bagus!! Nih!!Kita kagak kenapa-napa!” Botol jus jamur yang sudah kosong diacungkan ke muka Bang Jabrik yang sudah agak mabuk. Hasilnya, kami menyetir pulang dengan paket jamur baru hasil menuntut ganti rugi. Dipikir-pikir, harga yang kami dapat malah jadi sangat menguntungkan, bahkan lebih murah dari harga jamur di musim hujan. Mungkin lain kali saat menggertak kami bisa sekalian menuntut banana boat dan ongkos pulang ke Jakarta.

 

3.       Citra dan pembuktian diri itu penting…pengalaman juga deh.

“Ada tempat foto bagus apa lagi?” Begitu pertanyaan, baik diutarakan maupun dalam hati, dalam setiap kepergian. Seolah-olah travelling adalah untuk berfoto, bukan untuk jalan-jalan. Maksudnya, toh dengan mengunjungi tempat baru kita pasti dapat pengalaman, sekarang, bagaimana caranya supaya pengalaman baru itu diketahui khalayak ramai? Bahwa kita pernah kesitu lho..Tak heran, sesi foto adalah acara utama kunjungan ke tempat manapun.

 

Guna menangkap suasanya petualangan dan crossroad ala film Britney Spears, berhentilah mobil kami di tengah pematang sawah yang cuma bisa dilewati satu mobil dan rusak total, meski untungnya, tidak sampai menimbulkan kemacetan logistik desa.

 

Foto itu nantinya akan mewarnai facebook, display picture laptop, dan jangan lupa, blog ini, pembuktian diri bahwa gue pernah been there done that. Maklum, gue kan juga anak kota…

 

Ingin melihat batu karas cadas? http://margarittta.multiply.com/photos/album/16/Batu_Karas_Cadas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *