Ketika pastor menyatakan bahwa penangkal paling mujarab dari segala kutukan gantung jodoh, santet, sihir dari tiga arah mata angin adalah memaafkan dan tidak dendam akan orang yang mengawali segitiga setan ini, gue langsung memutuskan: gue mau cari dukun aja.
Maksudnya, ya gimana ya, gue itu manusia, dengan segala kelemahan dan kekurangan. Gue tahu persis gue tidak punya hati seluas samudera, tampar pipi kiri kasih pipi kanan. Menurut gue, dua hal yang diminta itu bertentangan dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam diri gue. Sakit doang mah masih cincay, tapi kalau yang disantet manggis satu kontainer, KURANG AJAR!! SIAPA BERANI-BERANI!!!!
Maka setelah melakukan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham),dewan direksi memutuskan bahwa guna memastikan kelangsungan perusahaan, kami akan mencari minimal penawar sihir.
Bukan karena ingin cepet kaya ala-ala pesugihan, tetapi kami menyadari bahwa di tengah maraknya penggunaan ilmu hitam di kalangan pengusaha buah-buahan, rasanya tidak mungkin kami bertahan hanya mengandalkan keikhlasan hati saja (yang terjadi dalam jangka waktu yang tidak dapat ditentukan).
Mulailah pencarian tersebut. Berdasarkan aturan perdukunan yang baru gue ketahui, santet tidak bisa dilawan oleh dukun atau jin yang berasal dari daerah yang sama. Itu berarti gue harus mencari dukun di luar Sumatera Barat dan Jawa Barat.
Supaya aman, sebaiknya di luar Sumatera dan Jawa, menyisakan Dayak dan Bali sebagai dua daerah yang dikenal cukup kaya kemagisannya sebagai daerah target operasi. Karena dukun Dayak belum turun gunung padahal pengiriman harus jalan terus, gue memutuskan mencari eliksir penangkal ke Bali.
Luar biasa perjuangan mencari sang Balinese Healer. Segala alam seolah menentang usaha gue. Begitu tiba di Bali, hujan lebat mengguyur. Perjalanan menjadi tiga kali lebih sulit. Jalanan yang rusak membuat mobil ogah bergerak. Belum lagi faktor biologis yang tiba-tiba muncul, membuat gue terpantang masuk pura.
Dan ketika bertemu, Balinese Healer yang sesungguhnya, ternyata tidak seperti bayangan gue. Lupakan Ketut Liyer dalam Eat Pray Love! Ia adalah seorang Mangku, pemuka agama Pura, yang tidak bisa bahasa Indonesia, boro-boro Bahasa Inggris! Ia juga tinggal di hutan, yang tidak bisa dicapai dengan sepeda saja. Perlu range rover kayaknya.
Penjelasan secara instan? BAH! Itu hanya ada dalam film! Pengobatan yang sebenarnya terjadi lewat cara yang sangat tidak instan. Dengan bahasa tradisional Bali yang diterjemahkan, beliau menyatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi pada gue saat ini, memang merupakan gangguan dari yang ingin mengganggu. Gue harus punya tekad kuat, agar bisa mendapatkan eliksir penangkal. Artinya: balik lagi besok, ya..
Gangguan belum berhenti sampai di situ. Keesokannya, mobil rusak. Bali banjir (ya, Bali bisa banjir), gue dan teman dibuat uring-uringan. Sampai akhirnya memutuskan menyerah dan mencoba besok saja, baru matahari kembali bersinar cerah dan gangguan biologis berhenti tanpa ada sisanya.
Namun karena tidak punya pilihan (pilihan yang lain adalah: memaafkan, yang semakin sulit dengan segala gangguan yang membuat gue berkata **NAMA PENYANTET** SIALAAAAANNNN… AWASSS LOE YEEEE…), gue tetap teguh, hingga harus ketinggalan pesawat di hari terakhir sekalipun.
Akhirnya ritual dijalankan. Sang Mangku tidak banyak melakukan apa-apa. Lebih banyak ketawa-ketawa sambil menyiapkan doa. Lalu, munculah eliksir air aqua yang setelah dijampe-jampe berubah menjadi warna pink sirop.
Sang Mangku menjelaskan. Eliskir ini konon akan menawarkan segala macam sihir yang dikirimkan saingan bisnis maupun pengepul sakit hati. “Dengan eliksir ini, tidak ada yang akan bisa menyakiti kamu, tapi, ia tidak bisa mencegah kamu menyakiti diri kamu sendiri,” jelasnya pendek.
Sesaat ketika mendengar penjelasan itu, gue seperti tersambar petir yang memang lagi menyambar-nyambar di tengah hujan deras. Gue seperti mendengar pesan Pastor dengan cara yang berbeda.
Sudah hampir setahun, gue bergelut dengan hal-hal yang ada dan tiada ini. Setiap harinya gue berdoa memohon-mohon agar dibebaskan dari segala yang jahat. Gue berbusa-busa bangun jam satu pagi setiap harinya tahajudan doa Rosario biasa, doa Rosario pembebasan, dan doa-doa yang lain.
Namun dalam usaha ini, gue malah semakin mengikatkan diri gue pada sifat yang jahat, yang ada dalam diri gue, rasa takut, kesal, marah, dan benci. Alih-alih minta dibebaskan, gue malah semakin memenjara diri dengan permasalahan yang seolah tak kunjung berakhir.
Padahal, apa sih yang nggak terjadi kalau Tuhan sudah bilang Kun Fayakun? Kalau gue sakit, meskipun karena hal yang tidak wajar, tidak mungkin tanpa sepengetahuan Tuhan. Sebaliknya kalau Tuhan bilang sembuh, seampuh apapun dukunnya, masa sih, gue nggak jadi sembuh?
Kenapa gue tidak berserah dan berpasrah saja pada Tuhan? Membiarkan setiap orang melakukan apa yang menyenangkan hati mereka? Terjadi atau tidak, tentu atas kehendak Yang Kuasa. Gue malah sibuk cari penangkal sana sini, tanpa menyadari penangkal yang utama, datangnya dari dalam diri sendiri.
No one can hurt you, unless it’s yourself
Perkataan itu sebenarnya, yang jadi obat penangkal dari Sang Mangku. Gue bisa saja dapat penangkal yang mujarab, yang bisa menangkis semua saingan bisnis, lalu usaha jadi sukses. Namun sampai gue berdamai dengan diri sendiri, gue tidak akan mendapatkan rasa puas yang harusnya gue miliki, ketika usaha gue sukses.
After all, kekuatan magis ada yang bisa membuat kebal bacok, kebal peluru, kebal segala macem, tapi tidak ada kekuatan magis yang mencegah seseorang untuk bunuh diri.
Saat itulah gue berjanji pada diri gue sendiri, this is it. Gue sudah cape 3 hari dikerjain karena mencari penangkal. Fine, gue tidak akan cari penangkal lagi. Gue bahkan tidak akan lagi mencegah orang menjahati gue dengan cara yang tidak wajar.
Silakan saja, mereka yang suka kirim-kirim pesan tapi nggak lewat radio itu, kirim sesuka hati mereka. Gue sadar, mereka jauh lebih menderita dibandingkan gue, karena gue tahu betapa tidak menyenangkannya punya hati yang gusar.
Gue tidak akan lagi menyalahkan atau marah atas perbuatan mereka. Kalau gue sakit, itu karena memang waktunya gue memperlambat fase hidup dan menghabiskan banyak waktu di rumah.
Kalau gue berat jodoh, itu karena memang belum waktunya bertemu dengan yang tepat. Kalau bisnis dikerjai, mungkin karena gue masih harus melanjutkan kerjaan saat ini beberapa waktu lagi.
Karena gue tahu, bahkan segala makhluk yang bisa buat 1000 candi semalam itu, ada atas sepengatahuan dan diatur oleh yang kuasa. Gue-lah, yang harus mengatur hati gue sendiri, agar mampu berdamai dengan diri sendiri dan juga orang lain.
Sepulangnya dari Bali, gue mencoba untuk meraih hidup yang normal yang sempat hilang itu. Memang sih, kadang muncul semut hitam di apartemen. Memang sih, tipi masih suka rusak. Tapi kali ini, gue tidak ambil pusing.
Gue juga akhirnya berani memutus kontak yang harusnya diputus sejak lama, namun tidak gue lakukan hanya karena takut memperparah ‘keadaan’. Gue tidak peduli dampaknya. Mau marah kek, mau sewot kek, terserah. Gue yakin apa yang gue lakukan, membantu mereka melanjutkan hidup dengan cara yang lebih damai.
Iseng-iseng ngetes, gue mengunjungi ibu tukang pijat yang bisa mengeluarkan roh halus meski dirinya tak pernah menyadari hal itu. “Nah gini dong neng, badannya ga ada anginnya, gak kayak kemarin, eh bused, kayak dipelokin angin! Doyannya di bagian yang empuk-empuk pula!”
Setelah itu, banyak orang yang bertanya, gue sembuh, apa karena mangkunya sakti banget? Gue akan bilang ya, mangku adalah orang yang sakti, tapi apa yang gue rasa bisa menjaga diri gue adalah ketika gue menghapus dendam, memaafkan, dan tidak membenci orang yang menjahati gue.
Saat itulah gue tahu gue sudah dibebaskan.