“Dia scammer bukan sih?”
“Afrika banget nih Gy?”
Gue tersenyum sambil mencatat dalam hati respon beberapa orang kenalan gue, ketika melihat gue dengan Di, seorang pesepakbola asal Pantai Gading. Gue tidak membantah, tidak memberi alasan, karena mereka, para kenalan, adalah bagian dari responden tanpa konsen dari tugas akhir gue, sebuah fitur tentang pendatang Afrika di Singapura.
Kami menguji jika masyarakat yang disebut ‘siap akan keberagaman’ dan hobi mengutuk rasisme, bisa menerima pendatang yang berkulit lebih gelap dari mereka, dan mematahkan prasangka yang dimiliki dari awal. Sebuah penelitian, yang menjadikan diri gue sendiri sebagai bagian dari objek riset, menguji prasangka gue sendiri terhadap orang yang berkulit lebih gelap dari gue.
Gue sedang berada di fase pertengahan riset saat pertentangan budaya mulai terasa mengganggu. Para narasumber menyebutnya dengan istilah freestyling, kebiasaan pria Afrika Barat, baik yang jomblo, punya pacar, ataupun beristri, untuk mengajak kenalan yang sering kali terasa terlalu frontal buat budaya Asia. Gue berakhir selalu memakai cincin kawin di jari manis dengan cerita akan menikah setelah lulus kuliah, agar bisa wawancara tanpa dicolak-colek.
Dengan prasangka yang sudah mulai muncul itu, tentu sulit buat gue untuk berempati terhadap cerita. Stare and glare menjadi salah satu kata kunci yang muncul, tentang bagaimana ras Asia akan melirik curiga kepada mereka yang berpenampilan berbeda, dan menjadi dasar perlakuan kepada mereka. Saat itu, dalam hati gue nyeletuk, ya jelas aja orang curiga, eloe deketin cewe random ga pake ba-bi-bu gitu…
Alarm berdesing dalam otak gue. Jika gue membiarkan prasangka menguasai, bagaimana gue bisa menulis dengan adil. Maka saat itu pulalah gue memutuskan untuk pertama-tama, memerangi prasangka dalam diri. Gue akan mendekati salah satu narasumber gue, menguji prasangka dalam diri gue, sekaligus mengalami langsung stare and glare.
Kandidat jatuh pada Di, yang gue kenal saat sedang meliput pertandingan Liga Singapura di sebuah stadion kecamatan pinggiran yang lebih mirip tepi kota Cirebon. Jangan tanya kenapa. Wartawan lepas junior majalah kebugaran pria tidak punya keleluasaan untuk memilih materi liputan yang disukai.
Pertandingan berlangsung menjemukan. Lebih banyak bola keluar daripada masuk lapangan. Dan yang paling menyebalkan, sewajarnya di lomba sepakbola antar-kampung lainnya, setelah pertandingan usai, mulailah beredar jameth-jameth berkebangsaan Singapura menggoda dan towel-towel.
Seperti ksatria berkuda, Di yang ternyata sedang cidera keluar dari arena cadangan. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang di antara para jamet, bahkan yang keturunan India dan Afrika sekalipun. Ia berpesan agar gue menunggu di area yang ramai. Lalu setelah berganti pakaian, Di menemani gue berjalan ke stasiun MRT terdekat. Dan seperti dalam metode narasumber yang baik, gue memperkenalkan diri sedang menulis tentang diaspora Afrika di Singapura, bertukar nomor telepon dan membuat janji wawancara.
Maka muncullah citra yang membuat kontroversi itu. Salah seorang mahasiswa terbaik universitas elit yang telah memiliki portfolio menulis di kantor berita asing dan wajahnya menghiasi beberapa iklan di Singapura berkulit kuning keturunan Cina, bergandengan dengan seorang pria kulit hitam Afrika.
Tidak penting bahwa pria kulit hitam ini adalah atlet yang sebelumnya telah merumput di klub sepakbola bergengsi di Belgia dan Jepang. Tidak penting bahwa ia pandai memasak, berbahasa Perancis, sholat 5 waktu, dan selalu mencium tangan gue setiap bertemu. Tidak penting bahwa ia mempunyai mimpi besar untuk suatu hari membela negaranya di Piala Dunia.
Semua tereduksi menjadi: Pria kulit hitam. Dan semua prasangka negatif tentang tukang tipu pemadat kurang ajar pelanggar visa dari negara terbelakang tukang santet menempel.
Ironisnya, baru ketika gue berjalan dengan pria yang mengalami prejudice lebih parah, embel-embel panjang tentang ‘siapa gue’ itu muncul. Biasanya, gue mah cina-aja. Gak ada yang mau tau prestasi gue, apa yang sudah gue lakukan untuk membawa nama negara apalagi kalau di belahan bumi tertentu tampang gue memenuhi standar cakep. Gue cina. Dan stereotip pendukung akan segera ditempelkan.
Tapi yang paling ironis adalah bagaimana gue, dan teman-teman gue, yang semua pernah punya pengalaman terdiskriminasi, jatuh lagi dengan prasangka terhadap orang yang berbeda dengan kami dengan begitu mudahnya. Membuat kotak-kotak yang sama untuk mengklasifikasi manusia berdasarkan prasangka dan mengambil keputusan berdasarkan kotak-kotak yang tidak kami uji terlebih dahulu itu.
Gue juga menikmati stare and glare itu. Bukan, itu bukan pandangan ingin tahu. Itu bukan pandangan kagum. Itu pandangan curiga, pandangan jijik. Seperti pandangan yang diberikan para pendemo kepada etnis Tionghoa. Dan hanya ketika gue berada di sisi bersebelahan dengan orang yang terdiskriminasi gue memahami rasa pandangan itu.
Riset yang awalnya adalah untuk meneliti kesiapan Singapura sebagai negara kosmopolit menerima orang-orang yang berwujud fisik berbeda dengan mayoritas penduduk, justru lebih banyak membantu gue mengeksplorasi diri dan trauma gue sendiri.
Bahwa di dalam diri setiap orang selalu akan ada prejudice, it’s humane. Prasangka dan stereotiplah yang selama ini membantu setiap orang menavigasi pergaulannya di dunia, terlepas dari suku dan ras apakah dia. Prasangka juga tidak selalu buruk. Bisa saja prasangka itu adalah bahwa semua orang Cina kaya dan jago dagang. Atau ras kaukasia itu lebih agung daripada kita.
Namun ketika kita tidak menguji prasangka ini dengan mengkonfrontasi perbedaan, kita akan terjebak dalam keputusan berdasarkan asumsi tak teruji ini. Paling ringannya, orang Indonesia keturunan Cina bisa saja jadi serasis polisi Amerika, karena takut berdekatan dengan kelompok lain. Lebih personal, asumsi bisa mungkin merugikan juga kalau sebelum wawancara kerja sudah kalah mental sama londo.
Dalam hal ini, hasil pengujian gue terhadap prasangka yang gue miliki telah membantu gue melihat figur yang tidak berbeda dengan gue sebagai manusia dengan segala kelemahan dan kekurangannya. Gue tidak bilang bahwa riset ini tidak mempertemukan gue pada scammer, tukang pulung barang bekas dan tukang selingkuh. Tapi riset ini juga mempertemukan gue dengan dokter, pengusaha berlian, dan orang-orang yang menjadi sahabat-sahabat gue.
Lebih dari melihat satu kelompok sebagai ‘korban’ yang patut dikasihani, gue melihat mereka sebagai satu kelompok manusia, sama seperti gue juga tidak melihat diri gue sebagai ‘korban diskriminasi’ melainkan bagian dari satu etnis yang berjuang.
Tidak berapa lama dari rampungnya riset, Di pamit. Ia menerima kontrak untuk membela salah satu klub sepakbola di Perancis. Gue kembali bertekun dengan pekerjaan, menulis hal yang ringan-ringan saja. Namun enam tahun kemudian, teman-teman yang tahu masih suka menggoda keputusan tidak populis gue dalam riset.
“Loe tuh ngapain sih Gy dulu, all out banget risetnya pake dipacarin!” cetus seorang teman beberapa tahun kemudian. Kami sedang duduk-duduk santai siap-siap nobar Piala Dunia. Seperti dulu, gue juga cuma senyam-senyum. Tapi kini gue sudah punya jawaban pamungkas. Gue mengangkat tangan gue pada skuad yang sedang diperkenalkan di layar kaca lalu berkata, “loe pada, ga ada yang pas lagi nonton Piala Dunia kek gini, bisa nunjuk ke layar dan bilang, mantan gue tuh!”