Di Belakang Toa Kita Semua Sama

Ini akan jadi pagi yang tenang, gue membatin. Gue tengah berada di sebuah kota kecil di Sulawesi Utara. Memang sih, penginapan gue berdampingan dengan pasar. Tapi pasar ekstrim harusnya belum buka pagi-pagi. Paling banter kokok ayam jago kepagian, ditipu Roro Jonggrang, jika memang ada legenda sejenis di pulau ini. Tapi ah, jika pagelaran gaib semalam suntuk tidak membangunkan gue, apalagi bunyi-bunyi natural semacam itu.

Pukul 5 pagi.

“Pooji Soookoooorrr Kita Ucapkan atas Pageeee yang ceerah… Mari sooodaraa kita samboot dengan madah poojiaaann..” Diiringi kidung-kidung madah pujian yang disiarkan lewat toa di atas menara di tengah pasar itu.

Gue terbangun dari tidur yang baru gue awali dua jam sebelumnya. Tertawa tertahan, setengah geli, setengah kesal, menyadari ternyata, di belakang toa, kita semua sama…

They say, if you want to know the real person, give them power. Frase bijak ini sudah teruji sudah terbukti. Lihat saja mereka yang tahun 1998 berkoar-koar menurunkan suatu orde, atas tuntutan mengentaskan Korupsi Kolusi Nepotisme.

Berapa yang kini berada di balik jeruji besi, mengenakan rompi oranye, menjalani masa tahanan atas tuduhan yang sama seperti yang mereka coba hapus 25 tahun yang lalu? Berapa yang hari ini dengan perut gendut menggelambir duduk enak, sepatunya bersih selalu menginjak karpet merah, sambil bicara rakyat tertindas yang kaki telanjangnya terendam lumpur sawah sewaan?

Atau sesederhana para manaher-manaher baru naik pangkat. Yang dengan rakusnya melumat anak buah, dalam posisi yang baru beberapa hari lalu para bos ini tinggalkan. Serampangan kata-kata kasar dimuntahkan, pekerjaan dirudalkan, sibuk menjilat telapak sepatu atasan, dengan harapan bisa merangsek naik lagi, agar bisa menindas lebih banyak lagi?

Atau sesederhana… menjadi superior berkat warna kulit atau agama dalam keluarga yang melahirkan. Sebuah posisi, yang didapat, atas dasar keberuntungan keturunan dan posisi tanah yang dipijak.

Ah tapi siapa yang bisa menolak menyeruput nikmatnya kuasa? Sungguh mudah untuk terbuai, tersanjung, dan terlena akan privilese yang membuntutinya. Bahkan bagi mereka, yang ketika dalam posisi minoritas berkoar-koar tentang kesetaraan hak.

Gue aja gitu kok. Berada di tengah area di mana gue menjadi mayoritas, dalam acara yang menutup separuh badan jalan, dengan iring-iringan sirene lampu ajaib yang membuat bus AKAP menepi tak berdaya, gue mendadak amnesia.

Mana peduli gue akan truk pangan yang mungkin jadi terhambat dua jam dan ketinggalan jadwal pengiriman akibat arak-arakan? Mana ingat gue akan doa-doa buruk yang gue haturkan setiap kali melihat kendaraan pribadi tanpa kepentingan jelas menerobos kemacetan Jakarta dengan uing-uing yang menyilaukan mata?

Hidung gue kembang-kempis bangga. Kami tidak harus unggah-ungguh minta izin kegiatan untuk ditolak. Kami berkuasa, setidaknya atas jalanan ini.

Sesaat gue tersentak, “kita tidak pakai pengawalan agar yang kurang berkepentingan menepi dari jalan. Kita pakai pengawalan agar semua mengetahui bahwa kita penting dan yang lain kurang.”

Karena gue tahu benar tumbal macam apa yang harus dikorbankan demi kuasa semacam ini: Kemanusiaan. Hal yang konon membedakan ras manusia dengan hewan lainnya. Kemampuan untuk berempati, dan melindungi sesama manusia. Tanpanya, kita akan terus bergulat dengan seleksi alam, yang kuat menang, yang lemah mati.

Seperti postingan media sosial yang tersebar luas itu. Menurut antropolog Margaret Mead, tanda peradaban itu adalah kerangka dengan tulang paha yang pernah patah. Mengindikasikan bahwa ada manusia lain di masa itu, yang memilih untuk merawat sesamanya, membiarkannya tidak menjalankan fungsi mencari makan hingga sembuh, dan bertahan hidup.

Dan tanpanya kita bukan makhluk beragama seperti yang kita banggakan. Karena semua agama mengutamakan kemanusiaan. Tanpanya, kita bahkan bukan manusia. Dan dengan tidak memikirkan orang lain yang dirugikan dengan tindak perilaku, gue telah perlahan, membekap empati hingga kehabisan napas.

Gue tidak bisa berkata setiap orang harus melepaskan privilesenya, apalagi yang didapat sejak lahir. Tetapi akuilah privilese itu, dan jangan lepaskan kemanusiaanmu. Gunakan kekuatan yang dianugerahkan untuk membela hak-hak minoritas yang lain. Gunakan toa-mu untuk menyenangkan hati manusia lain, terlepas apapun agamanya. Meskipun mudah untuk berkata ‘bukan urusanku’.

Dan bagi mereka yang kini terjerat menjadi minoritas, rayakanlah juga privilese menjadi minoritas itu! Sungguh kita dapat melihat orang sejati-jati dirinya. Dalam suatu liputan lepas waktu yang gue ambil baru-baru ini, pemberi tugas memperlakukan gue seperti wartawan kroco yang baru lulus. Puji Syukur, berarti gue kelihatan muda. Sayangnya juga, pasti terlihat miskin.

Rekan peliputan mengamati gue dengan kalem menyapu kata-kata sombong dengan senyum, sambil berbisik lirih, “Gue bertanya-tanya, seandainya dia tahu siapa eloe, dan bagaimana petani loe memandang eloe, mungkin akan beda caranya.”

Ah tapi buat apa? Gue menjawab. Yang akan gue lihat itu hanyalah ilusi. Yang gue lihat sekarang adalah orang sejati-jatinya. Gue jadi tidak perlu terjebak dengan relasi yang dilandaskan kebaikan palsu.

Dan semoga dengan begitu, ketika kesempatan memegang toa datang, gue masih terus bisa mengingat-ngingat, bagaimana rasanya, to be on the other side of the toa…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *