Dilema Cinta Lelaki Berbulu Dada

Setelah huru-hara perbukuan dan kejaran oom deadline menulis chicklit mereda, gue akhirnya bisa kembali mendengarkan dan menuliskan kembali cerita keresahan di antara sesama umat manusia. Salah satunya adalah keluhan kisah kasih seorang teman, bahwa pacarnya ternyata berbulu dada.

“Gy! Oh my God! Oh my God! Oh my God!” teman gue langsung nyerocos begitu gue menyebut kata ‘halo’ di telepon.

“Gue gak tahan! Gue ga bakal tahan!” ia melanjutkan tanpa menanti jawab.

“Ga tahan apaan? Kerjaan? Gimana pacar?” gue berusaha menelusuri pangkal permasalahan.

“Cowo gue, Gy!”

“Emang cowo loe kenapa? Bukannya dia dokter, ganteng, bermobil bagus dan baik hati?”

“Iya, GY, tapi cowo gue itu….berbulu dada…”

Berikutnya, giliran gue yang memanggil-manggil Tuhan. “Yang bener loe? Oh my God! Oh my God! Oh my God!”

“Iya, Gy, gimana dong?” tanyanya panik.

“OMG, emang parah banget ya?” gue bertanya setelah kepanikan gue mereda.

“PARAHH BANGET! LEBAT!!”

“Aduh…gimana ya? Cuma bulu dada sih, tapi itu bulu dada..ya ampun…ngeri banget…bulu dada…” gue kembali panik.

Menit berikutnya kami berdua mulai membincangkan isu bulu dada seperti membincangkan kenyataan bahwa si pacar ternyata adalah teroris yang menyamar, atau kedapatan punya penyakit kelamin raja singa.

 

Di akhir pembicaraan, cuma ada dua solusi yang gue tawarkan: cukur bulu dadanya, atau putuskan saja.

 

Sebenarnya ada satu saran yang tidak gue sebut. Saran yang orang kebanyakan akan utarakan sebagai poin pertama atau bahkan satu-satunya: Love him just the way he is. Apalah artinya sehelai (atau satu meter persegi) bulu dada dibandingkan perhatian dan segala keunggulan yang dimilikinya. Tiada manusia yang sempurna. Kita pun mungkin punya kekurangan yang sulit ia terima, namun ia sanggup menerima kita apa adanya. Mengapa masalah sepele seperti ini dibesar-besarkan?

 

Sebagai orang yang berhati emas, kata-kata bijak menyejukkan diatas-lah yang harusnya gue ucapkan. Menjadi malaikat mulia yang beroperasi atas dasar norma kebajikan yang berlaku: sifat egoisme dan ekspektasi berlebihan dari orang lain haruslah dimusnahkan, agar kawan gue ini bisa kembali ke jalan yang benar.

 

Sayangnya, gue tidak dilemparkan ke tengah-tengah malaikat bersayap putih yang selalu bernyanyi dengan iringan harpa surgawi. Sebaliknya, gue justru beroperasi di jalan sesat juga, dan bersahabat dengan tokoh-tokoh yang diberi peran sebagai ‘kaum antagonis’ dalam hubungan percintaan. Kenalan gue adalah pelacur, perebut pacar orang dan perempuan yang dituduh sebagai simpenan bos. Teman gue yang berpacar karpet di atas pun bisa disebut sebagai oknum wanita super demanding yang sangat picky-picky.

 

Dan mendengar kisah percintaan sinetron diceritakan dengan gaya bahasa sudut pandang ‘orang ketiga’ telah menyadarkan gue bahwa sebuah hubungan romantis tidak berlangsung di antara para malaikat, tetapi antara manusia-manusia.

 

Memberi nasihat penuh moral yang tidak didasari empati bisa saja membuat teman gue masuk surga, tapi selama berpacaran di dunia, ia sengsara. Karena gue juga tidak mau disuruh pura-pura menjadi utusan Tuhan saat berhubungan, gue akhirnya berusaha memberi dua opsi yang lebih manusia-wi.

 

Manusia adalah makhluk subjektif. Seberapa pun setiap orang mencoba menjadi objektif, manusia tetaplah sesosok objek yang akan membuat judgement dalam setiap hal, berdasarkan latar belakang ia dibesarkan, dan kultur yang membentuk pola pikir. Pendapatnya, tindakannya, adalah sesuatu yang pasti didasarkan oleh preference akan sesuatu.

 

Sifat subjektif manusia itu telah melahirkan apa yang dikenal sebagai ‘selera’. Kecenderungan untuk menyukai satu hal lebih dari yang lain, dan membenci satu hal juga lebih dari yang lain, mulai dari warna favorit hingga lelaki idaman.

 

Selera  yang beragam itu melahirkan keanekaragaman dan juga kecocokan di seluruh dunia, membuat setiap hal seperti gembok dan kunci, ada pasangannya masing-masing. Bayangkan jika semua orang itu sama, kata cocok menjadi tidak terpakai karena setiap orang adalah seragam.

 

Kadang, ada selera yang lebih dominan karena dipilih lebih banyak orang. Yang kedoyanannya bertentangan dengan mayoritas mungkin akan dipertanyakan, namun tidak permasalahkan. Jika gue suka warna hijau dangdut, gue mungkin akan lebih sering diminta memberi jawaban filosofis dibalik warna tersebut, daripada gue suka warna hijau saja. Tapi juga tidak akan ada yang menyerang pilihan gue atas warna hijau dangdut tersebut.

 

Subjektivitas yang sama muncul saat mencari jodoh. Setiap orang akan memilih pasangan dengan preference tertentu, yang berbeda satu sama lain.  Selera dominan adalah memilih karena sifat, seperti enak dilihat, kaya dan berpendidikan. Namun ada juga yang mendasarkan pilihannya atas karakteristik yang lebih sepele, seperti warna rambut, bau tubuh dan bulu dada. Prioritas karakteristik atau sifat itu juga berbeda satu dengan yang lain.

 

Tapi anehnya, meski tak terhindari, subjektivitas dalam hubungan seolah dilarang. Kini timbul norma bahwa hubungan haruslah penuh pengorbanan, tanpa syarat dan.. menerima segala-galanya. Sepertinya salah jika seseorang mempermasalahkan ketidakcocokan seksual, keposesifan atau bulu dada. Seolah ada hal-hal tertentu yang terlalu sepele dalam hubungan, sehingga mengambil keputusan karena adanya hal tersebut menjadi kejam dan keji.

 

Padahal, empati manusia terbatas. Sampai gue mengalaminya sendiri, gue tidak berhak mengklaim gue memahami apa yang dirasakan orang lain.  Dan karenanya, sampai seseorang masuk ke dalam satu hubungan, ia tidak berhak menentukan bagaimana hubungan itu harus berakhir.

 

Tidak ada masalah yang begitu sepele sehingga karenanya seseorang dilarang untuk mengambil keputusan tertentu dalam hubungan. Bagi sebagian orang, mau rambut panjang atau pendek, selama terlihat pantes, tidak masalah. Bagi gue pun, punya kawan pria berambut panjang tidak pernah mengganggu pengelihatanan. Tapi saat masalah romantika disinggung, rambut panjang seorang pria seolah punya kekuatan untuk menekan tombol ON/OFF, sehingga menjadikan tubuh gue dalam keadaan TURNED OFF.

 

Jika  gue memaksakan diri menikahi lelaki gondrong karena rambut bukan alasan valid untuk putus,  kemungkinan gue tetap tidak bisa total memberi dan diberi nafkah lahir-batin. Hal ini akan menimbulkan kekecewaan pada pasangan, sehingga rumah tangga menjadi dingin dan tidak harmonis, yang akhirnya akan berbuntut perselingkuhan dan perceraian. Siapa tadi yang bilang masalah rambut itu urusan sepele?

 

Lagipula, sebagai manusia, kita memang dilahirkan dengan kelemahan dan kejahatan. Kita ingin pasangan menjadikan kita orang yang lebih baik, tapi kita tidak menjalin hubungan agar terlihat baik. Kita menjalankannya agar kita bahagia.

 

Siapa peduli jika teman gue dibilang kejam karena memutuskan pacar cuma karena bulu dada? Ia tidak perlu mengorbankan perasaannya hanya demi pujian sebagai perempuan yang bisa mencintai tanpa syarat. Teman gue tidak perlu persetujuan masyarakat untuk memutuskan hubungan personal.

 

Tentunya pasangan yang bisa menerima apa adanya tetaplah menjadi pasangan ideal yang dicari dan dijadikan panutan. Gue sangat senang memiliki satu sosok yang dengannya gue bisa menjadi diri sendiri dan diterima secara utuh. Tapi bukan karena seseorang bisa menerima orang lain apa adanya, orang tersebut jadi punya kewajiban untuk menerima segalanya apa adanya juga.

 

Marilah kita balik keadaannya! Bahwa gue-lah perempuan yang menemukan Mr Perfect, orang yang bisa membuat gue menerima beliau apapun yang terjadi padanya, atas nama kecocokan dan perasaan yang tumbuh demikian dasyat. Namun gue pun tidak bisa memaksakan si Mr Perfect ini untuk menerima gue sepenuhnya jika ternyata ada karakteristik penting baginya yang tidak pernah ada pada gue.

 

They call it, compatibility. Saat variabel karakteristik yang berubah-ubah tidak terlalu penting bagi seseorang sehingga bisa dinegosiasikan tanpa mengubah prinsip hidupnya, sedangkan variabel  tetap yang diminta olehnya juga tidak terlalu penting bagi pasangannya sehingga bisa dijaga kepastian nilainya tanpa menyebabkan pasangannya kehilangan arti dirinya. Demikianlah sebaliknya.

 

Akan ada perempuan yang menerima bahkan tergila-gila pada bulu dada, sehingga seorang lelaki mapan berwajah rupawan berbulu dada menjadi begitu sempurnanya. Jika suatu hari sang lelaki memanjangkan rambut, sang perempuan tetap akan mencintai beliau apa adanya karena rambut panjang bukan kriteria utama.

 

Sedangkan sebaliknya, jika memiliki bulu dada itu tidak terlalu penting bagi yang pria, tidak masalah jika ia harus mencukur bulu dadanya selama kekasihnya bahagia. Kehilangan bulu dada tidak membuatnya kehilangan jati diri.

 

Jalan tengah inilah yang akhirnya dipilih oleh pasangan yang berbahagia. Namun teman gue lupa, bahwa lelaki yang berbulu di satu tempat, akan cenderung berbulu di daerah tubuh yang lain juga. Kini pertanyaannya menjadi, kepentingan siapa yang lebih krusial dalam kasus bulu lebat di punggung, tangan, dan…organ tubuh yang lain?

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *