Don’t Cha!

Seolah-olah mencari pria Katolik yang mampu mencintai dan dicintai untuk diri sendiri di Jakarta belum sesulit mencari jarum di antara tumpukan jerami, kami berusaha mencari jodoh tersebut bagi guru yoga kami. Setelah menawarkan berbagai instruktor yang ternyata gay, kami menemukan target: lelaki berdarah Brazil yang lewat mata batin para wanita, cukup berpotensi.

“IYAA..tapi dia udah punya pacar!” Sang Guru protes.

“Bisa dibuat single! Selama janur kuning belum berkibar, masih ada kesempatan!” seorang murid mengompori

“Enak aja! Emang kita perempuan apaan!”

“Halah! Masa sih kita harus mengorbankan kebahagiaan sendiri untuk orang lain?” murid lain membujuk.

“HUSH! Kalian ini! Sibuk-sibuk ngurusin gue, justru yang harusnya cemas itu kalian, yang punya pasangan. Karena ingat, jomblo-jomblo seperti kami, mengajak para single di kelas bersekutu, cih, sebal,  berkeliaran bebas di luar sana dan kami suka menggoda seperti…sambil menekan tombol kaset lalu berjoged…DON’T CHA WISH YOUR GIRLFRIEND WAS FUN LIKE ME!”

 

Senormalnya gue setuju pada pandangan Maha Guru: Ketika satu pasangan (dua pihak) tiba-tiba bersinggungan dalam hubungan bersinergi romantis dengan pihak ketiga, beban moralitas dan kecemasan terbesar ditanggung oleh pihak pertama dan kedua yang telah lebih dulu ada dalam hubungan bersinergi romantis tersebut.

 

Pihak pertama, yang selanjutnya akan disebut sebagai TERGODA akan mengalami pertanyaan etis apakah akan mengikuti hasrat hati atau tetap setia dalam status quo yang nyaman. Pihak kedua, yang selanjutnya akan disebut sebagai TERANCAM, tentunya cemas bukan kepalang dan dengan tetap mengikuti kaidah etis yang berlaku, berusaha mengusir pihak ketiga, yang selanjutnya akan disebut sebagai PENGGODA.

 

Sebaliknya PENGGODA tidak perlu cemas dan memikirkan moralitas. Namanya juga PENGGODA, maka peranannya adalah menggoda sehabis-habisnya untuk menggeser status hubungan bersinergi, menggeser peran TERANCAM sehingga tidak lagi disebut dalam kontrak dengan TERGODA.

 

Pendapat gue tersebut diambil saat gue menjadi pihak keempat atau PENGAMAT yang kurang bisa mendalami kasus. Ketika gue membaca kontrak hubungan sinergi romantis ini lebih teliti, gue baru menyadari: pengambilan keputusan terberat justu berada di pihak ketiga.

Coba perhatikan lewat studi banding milik seorang kawan berikut ini: Pemuda A sudah berpacaran seumur hidupnya dengan Pemudi B. Tidak ada yang salah dalam hubungan mereka. Semua berjalan lancar, keduanya sepadan untuk yang lain. Tidak ada yang salah, sampai Pemudi C muncul dalam cerita, sambil berkata DON’T CHA! Dan A.B.C tiba-tiba berada di sudut sebuah segitiga yang dihubungkan dengan garis berenergi romantis.

 

Menilik lagi klausa yang ada, lebih sering, meskipun tidak bisa digeneralisir, jika pihak pertama telah disebut sebagai TERGODA, maka sekitar 90% dari keputusan sebenarnya telah terbentuk. Cinta bisa datang kapan saja, namun tidak setiap saat. Dan sesuai aturan hidup bahagia, tak seharusnya Pemuda A menyia-nyiakan kesempatan dan bertahan di hubungan yang tak lagi membahagiakan.

 

Bagi TERANCAM, sebenarnya sikap yang tepat juga sudah jelas. Sebagai seorang korban, TERANCAM sudah tidak lagi harus bergelut dengan persoalan moral. Ia hanya perlu menimbang akan bersikap bodoh atau pintar. Jika memutuskan untuk menjadi rasional, maka sudah ada guidelines dalam bertindak: he’s an ass-hole. Leave him. Find someone better. Besides, why do you want to be with someone who doesn’t want to be with you?

 

Sekarang semuanya jadi tergantung pada PENGGODA. Apakah Pemudi C sebaiknya mengorbankan perasaan untuk kebahagiaan dan harkat sesama wanita? Jika ya, apakah dengan demikian Pemudi C juga telah mengorbankan Pemuda A? Jika tidak, apakah Pemudi C sanggup menyakiti wanita lain dan menanggung stigma negatif masyarakat? Lalu pun demikian, apakah Pemudi C memang benar akan bahagia jika bersama dengan pria yang pernah berlaku sedemikian pada Pemudi B?

 

Ternyata ada begitu banyak pertimbangan serta tanggung jawab yang harus ditanggung oleh seorang PENGGODA. Macamnya reality show perjodohan, kunci keputusan ada pada tangan perempuan yang bisa mematikan atau menyalakan lampu bagi pria di tengah panggung. So, are you going to take him out? 

 

Sebagai seseorang yang punya standard moral yang kurang tinggi, kebahagiaan orang lain dan pandangan masyarakat jarang jadi pertimbangan dalam bertindak. Pemikiran ‘Emang gue cewe apaan?’ jarang mengusik mata batinku.

 

Gue ga percaya adanya norma yang berlaku umum dimana perempuan harus sopan, halus baik hati penuh perasaan bak Ibu Kita Kartini. Tidak sebaiknya ada aturan yang membatasi baik buruknya satu gender. Setiap tindakan haruslah dilihat latar belakang dan kondisi yang melingkupi.

 

Gue beruntung dilahirkan bukan sebagai tokoh agama atau panutan masyarakat. Gue bisa egois. Gue tidak perlu harus mengorbankan perasaannya HANYA-SUPAYA manusia lain bahagia. Berjuang sendiri dong demi kebahagiaan masing-masing! Masa harus gue yang usaha? Siape loe?! Dan gue akan tetap menyalakan lampu gue untuk tanda I am going to take him out.

 

Tapi justru karena gue adalah orang yang egois, gue akan semakin prihatin akan kebahagiaan gue sendiri. Roda hidup berputar. Karma berjalan. Persis saat gue berhasil menggeser TERANCAM, maka akan timbul kontrak baru dimana gue akan menggantikan posisi TERANCAM tersebut, membiarkan posisi PENGGODA kosong hingga saat yang tak ditentukan.

 

Menilik sejarah TERGODA yang pernah sukses digoda, adalah sangat masuk akal jika suatu saat adalah giliran gue yang tergusur. Apalagi jika TERGODA meninggalkan TERANCAM karena semata melihat karakteristik positif lebih yang ada pada diri PENGGODA.

 

Perempuan suka menjadi the exception. Suka menganggap dirinya lain dari yang lain dan tak tertandingi. Sayangnya, di atas langit masih ada langit. Di atas pussycat-dolls-wannabe, ada lagi wannabe lainnya yang lebih fun, lebih freak, lebih hot. Dan di atas wannabe yang berlebih itu, masih ada…Pussycat-Dolls yang asli. Bukan tidak mungkin TERGODA akan segera berpindah hati jika ada yang karakteristik positifnya lebih banyak dari gue.

 

Meskipun saat giliran tiba gue sudah tidak perlu lagi bingung akan opsi yang harus diambil, bukan berarti itu akan jadi keputusan yang mudah. Mengapa gue harus mengambil risiko tidak bahagia HANYA-SUPAYA pihak pertama menjadi senang secara konstan dan gue secara sesaat?

 

Masih untung jika memang posisi PENGGODA didapat karena karakteristik positif. Mungkin saja hubungan TERGODA-TERANCAM sebenarnya adalah hubungan paling membosankan di muka bumi. Kambing di-pita-in pun bisa jadi katalis yang mengakhiri kisah yang memang dekat tanda tamat itu. Karena gue egois, tentunya gue enggan disamakan sama kambing berpita.

 

Inilah mungkin saatnya gue mematikan lampu gue. Dan dengan begitu mendapat bonus tepok tangan serta doa syukur dari TERANCAM.

 

Tapi sekali lagi, ini adalah versi PENGAMAT. Akhir cerita bervariasi, seturut pihak yang bersangkutan. Balik ke studi banding, Pemuda A ternyata memutuskan hubungan dengan Pemudi C dan menikahi Pemudi B. Pemudi B memutuskan untuk bertingkah bodoh dan menerima lamaran Pemuda A. Namun cinta Pemuda A hanya untuk Pemudi C, demikian sebaliknya. Sesaat setelah menikah, Pemuda A kemudian berselingkuh dengan Pemudi C  untuk sepanjang pernikahannya.

 

Pemuda A selalu bersama wanita yang dicintainya, yang membawa petualangan dalam hidupnya. Namun ia juga mendapat jaminan seorang wanita yang akan selalu setia dan menemaninya hingga tua.

 

Pemudi B berhasil mempertahankan pria yang dicintainya, dan seperti wanita kebanyakan, she doesn’t really want to know the truth. Sedangkan Pemudi C, tetap dapat hadiah hiburan dan bisa mempertahankan kebebasannya dari status yang menghambat pencarian pria yang sungguh-sungguh untuknya. Win-win solution…meski semua melenceng dari kontrak.

 

Kalau dipikir, kisah ini lebih cantik dari kisah Jennifer Aniston yang dicerai gara-gara Angelina Jolie. Mungkin Pemuda A memang pantas dipertahankan. Ia jelas lebih cerdas daripada Brad Pitt…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *