Dua Garis Biru Tanpa Pilihan

Ke klinik aborsi naik bajaj

 

Demikian ‘tantangan minggu ini’ yang gue terima. Entah apa yang membuat gue berpikir sekolah di SMU unggulan yang ekskulnya segabreg sebagai kurang sibuk dan menantang, sehingga ikut kegiatan uji nyali bersama beberapa teman beda sekolah yang sifatnya adalah kurang kerjaan dan nirfaedah.

 

Tapi melewatkan tantangan adalah sebuah bentuk kepengecutan dan berakhirlah gue menghampiri satu bajaj di sebuah deret jalan di Jakarta Pusat yang dikenal pada dekade lampau sebagai ‘area klinik aborsi’. Mungkin sekarang juga sik.

Begitu gue bilang ‘Bang, ke klinik, bang!’, si Abang Bajaj langsung memberi tatapan penuh arti, ‘Ahhh..’ lalu menstarter bajajnya segera. Jelas ada sebuah nota kesepahaman antara tukang bajaj dan penumpangnya sehingga tanpa perlu menyebut secara detail, gue tiba di tempat yang dimaksud.

 

Klinik itu tidak besar, namun lumayan laris. Sore itu, gue dapet nomor 7. Tentu gue bisa saja langsung cabut karena bukti tanda keberanian berupa selembar nomor antrian sudah digenggam. Tapi takut dikira intel yang mau menggrebek, gue memutuskan untuk duduk dulu sebentar.

 

Gue menyapu pandangan ke sekitar. Ada seorang anak perempuan yang kelihatannya masih lebih muda dari gue saat itu. Mungkin SMP. Ditemani ibunya yang wajahnya tertutup kerudung coklat karena selalu menunduk. Ada satu pasangan mbak-mbak ditemani mas-mas. Tangan kirinya memegang helm motor, tangan kanannya SMS-an.

 

“Pertama kali ya!” Observasi gue terpecah oleh suara seorang perempuan menegur. Rupanya wajah newbie gue terlalu menarik perhatian. Memangnya bisa berapa kali, gue membatin dalam hati.

 

Tapi belum sempat menjawab ia sudah lanjut bicara, “Udah nggak apa, gak ada rasanya kok! Nih, saya udah tiga kali!” ujarnya bangga sambil memberi kode pada perutnya, seperti menuturkan sukses meraih Piala Oscar untuk Pemeran Pembantu Terbaik tiga kali berturut-turut.

 

Si Mbak pasti masih mau memberi motivasi, ketika tiba-tiba pintu ruang dokter terbuka. Seorang perempuan dalam keadaan tak sadarkan diri digotong bersama-sama oleh wajah-wajah tegang. Seorang perempuan membuntuti dengan terisak menangis.

 

Gue kembali melemparkan pandang ke arah rekan-rekan sejawat sore itu. Wajah mereka semua khawatir, namun tak berapa lama kembali menundukkan kepala, kembali konsen antre. After all, what other options do they have?

 

Dan film Dua Garis Biru kembali mengingatkan gue pada pengalaman uji nyali gue sekaligus tentang betapa sedikitnya opsi untuk perempuan jika mengalami kejadian yang dalam norma sosial dianggap tidak sesuai.

 

Gue bertanya-tanya jika rumah aborsi yang didatangi Dara, bukan terletak di pinggir kali item yang pasti baunya tidak sedap, dekat tukang jus pinggir jalan yang dicampur pake air, dalam rupa rumah ditutup kerai bambu yang jelas SOP-nya belum tersertifikasi, apakah ia akan mengambil keputusan yang berbeda?

 

Gue teringat seorang teman kuliah di Singapura yang ternyata lagi tekdung di tahun-tahun terakhir kuliah. Kami, teman-teman bintang kelas yang egois lagi kiasu, jelas menyatakan ‘teserah eloe maunya gimana, kita sih mau tetep lulus cepet.’

 

Tapi si teman punya pilihan. Di ruangan klinik yang higienis, ia mendapat konseling tentang apa yang akan terjadi padanya. Setelah dua hari menimbang, ia menandatangani pernyataan dan kemudian melakukan sebuah prosedur. Ia lulus bareng dan kini menempuh karir di negeri lain.

 

Nggak sih, gue gak bilang any options is better. Gue cuma mau bilang di Indonesia, opsi yang gak OK aja nggak ada. Kecuali kalau aborsi ilegal dengan risiko infeksi, pendarahan, mati muda PLUS masuk neraka, itu dianggap satu opsi.

 

Dan jika dalam pilihan yang gak ada itu kemudian mempertahankan kehamilan, opsinya juga gak tambah banyak. Dara, si gadis bintang kelas, dikeluarkan dari sekolah karena hamil di luar nikah. Pacarnya, Bima, yang menghamili, dan nggak pinter-pinter amat, bisa sekolah bisa enggak, tergantung mau anaknya milih apa.

 

Sudah jadi semacam norma kalau ada kasus hamil di luar nikah, yang di-DO adalah yang perempuan. Kecuali kalau sekolahnya isinya laki semua kayak sekolah tetangga kami dulu. Konon ada rumor bahwa seorang anak di sekolah tersebut dikeluarkan dari sekolah karena kasus ini. Kami bercanda, pasti karena isinya lakik semua. Kalau sekolah heterogen, tentu dia selamat!

 

Adalah memalukan untuk seorang perempuan hamil di luar nikah, tapi prestasi untuk seorang lelaki berhasil menghamili. Dan lebih jauh lagi, seolah punya anak adalah murni tanggung jawab seorang perempuan daripada laki-laki.

 

Bahkan yang hamilnya sah-sah aja, biasanya yang disuru resign yang perempuan. Gue punya seorang teman yang gajinya 3x gaji suaminya. Pas punya anak, dia dong yang berhenti kerja. Nampaknya pendidikan ‘Ibu memasak nasi dan Bapak mencari nafkah’ sudah begitu melekat di Indonesia.

 

Mungkin itulah mengapa isi bioskop siang emak-emak netijen julid semua kecuali satu penonton bernama Joko Anwar. Tipe ibu-ibu yang ketika dalam film ada pertanyaan ’emang ada apa di Korea’, langsung dengan fanatik menjawab ‘Lee Min Ho!’

 

Gue sendiri mengalami kegagalan berulang mengajak teman-teman bergender cowok nonton film ini. Rupa-rupa penolakan dituturkan:

“Kita selama ini.. Cuma temenan kan?” diajak nonton Fast & Furious cepet banget, diajak nonton Dua Garis Biru jadi kritis!

“Kenapa judulnya dua garis ya? Kenapa nggak tanda lain?” itu sih teserah desainnya aja, mao tulisannya AKU HAMIL, gambar LOVE-LOVE, tulisan MAMPUS LOE juga bisa!

“….” Pura-pura tidak mendengar, tidak menjawab, bahkan tanpa the non-committal ‘ah atau uh-oh’. Kalau di whatsapp, itu modelnya cuma di-read doang.

 

Sekali lagi, ini bukan artikel pro-choice, pro-life. Soal ginian, gue golput aja deh! Namun gue merasa si film Dua Garis Biru ini sakseus menangkap betapa mungkinnya kasus hamil di luar nikah terjadi di Indonesia.

 

Wajah-wajah yang gue lihat di klinik saat uji nyali, bukan wajah-wajah perempuan nakal. Lebih banyak perempuan muda polos yang clueless. Sungguh ironis, jika sekadar menutup mata dan beranggapan opsi tidak perlu diberikan karena… tidak signifikan masalahnya.

 

Film ini juga tidak seperti film ‘pernikahan dini’ lainnya, karena bisa menangkap betapa  ‘amsyongnya’ seorang perempuan dengan pilihan terbatas itu. Terlepas dari ‘teman baru’ gue yang begitu cerita dan penuh semangat, sisa hawa di ruangan klinik aborsi sore itu memang terasa penuh keputus-asaan, kebingungan, dan kebuntuan.

 

Kembali pada klinik uji nyali, gue diam-diam melipir pergi. “Lho? Kok nggak jadi sih? Yang kayak gitu cuma satu dari seribu kok!” ujar si Mbak menyadari gue sudah beranjak pergi. “Nggak mbak, saya.. mau pikir-pikir dulu!”  Bukan apa-apa, gue takut keburu dipanggil, lalu karena nggak ketemu apa-apa, usus gue kena kuret!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *