“Ci, enci nggak ikutan ngejarah di Ramayana situ?” suara Tetangga Tante yang pada tanggal 14 Mei 1998 itu masih tinggal di rumah keluarga besar di Tanah Abang memecah lamunan. Tante nggak langsung menjawab. Masih bingung. Meski kabar belum mudah tersebar seperti zaman now, si Tante udah curi dengar tentang penjarahan serta kerusuhan yang tengah berlangsung. Dan ia punya feeling: meski etnis Cina banyak disebut di insiden ini, kayaknya posisinya bukan sebagai yang menjarah.
“Saya barusan ikutan, Ci, ada mobil yang bawa ke Jatinegara situ, rame-rame ma anak kampung sini. Eh tapi pas nyampe, udah mau dibakar tuh Ramayana, daripada jadi gosong ye kan, saya sabet aja nih BH 4 potong, langsung saya keluar, jalan kaki sampe sini!” tetangga Tante terus nyerocos, mengabaikan ekspresi Tante yang masih melongo.
“Saya udah nggak ngeliat ukuran lagi, Ci, tapi kalau Enci mau, nih saya bagi dua buat Enci BH-nya!” ujar tetangga sambil mengulurkan dua lembar BH merek Triumph itu lewat pagar rumah Tante. “Ati-ati ya Ci, jangan kemane-mane dulu, lagi rame di luar!” ujar tetangga sambil berlalu pulang ke rumah.
Ada banyak kejadian yang masih membekas dalam benak gue, 24 tahun dari masa kerusuhan . Tidak semuanya lucu. Well, hampir semuanya tidak lucu. Namun selain bubungan asap dari supermarket di seberang lampu merah Kelapa Gading, serta perempuan Minang yang nggak jadi diperkosa tapi digampari perusuh karena nikah sama Cina, insiden BH ini adalah salah satu yang paling gue ingat.
Yang meyakinkan gue, bahwa kerusuhan 98 bukanlah sebuah kerusuhan rasial, melainkan sebuah mekanisme politis jahat yang dibuat oleh kaum elit, dengan menjadikan etnis Tionghoa sebagai kambing hitam, like olweis, dan mengompori massa yang sebenarnya tidak punya kebencian rasial untuk melawan saudaranya sesama manusia.
Si tante itu Cina. Kulitnya putih, lipetan matanya absen, batang hidungnya minim. Dilihat dari Monaspun ciri fisiknya Cina. Dan lagipula, kalau nggak kelihatan Cina, nggak mungkin juga dipanggil Enci. Jadi bukan karena salah sangka, si tetangga membagi tante BH hasil jarahan.
Tetangga tante, sekadar tidak punya kebencian rasial terhadap etnis Cina. Baginya tante, terlepas dari etnisitasnya, adalah tetangganya, teman mainnya, dan karenanya wajib dibagi harta jarahan.
Jargon-jargon yang disebut bahwa ada kebencian terhadap etnis Cina yang dianggap lebih memiliki privilese, dan karenanya ‘massa’ berniat memiskinkan dengan cara menjarah terpatahkan dengan dua lembar BH itu.
Orang Indonesia itu tidak rasis, namun gampang dikompori. Nggak tau gimana dan siapa yang ngajak, ikut aja si tetangga naik mobil ompreng melakukan aksi penjarahan. Nggak tau kenapa dan siapa yang nyuruh, mau saja jadi bagian dari label massa anti Cina di jalanan. Demikian teori BH gue hari itu.
Sebuah teori, yang dikonfirmasi penelitian longitudinal beberapa waktu lalu, yang menunjukkan bahwa ketika ditarik garis dan ditilik trend-nya, sentimen antar etnis di Indonesia akan meningkat dan menurun tergantung dengan… insiden politis yang terjadi.
Sentimen antar etnis dalam kondisi netral cenderung stabil, namun akan meningkat drastis ketika ada momentum, seperti saat pilgub Jakarta, dan ditandai dengan hadirnya provokator, entah media, entah tokoh ‘keagamaan’ entah tokoh masyarakat. Setahun selepas itu, responden sudah lupa lagi mengapa mereka meneriakkan anti Cina. Emang kemarin kenapa ya?
Dan itulah yang gue percayai setiap kali gue masuk kebon. Mungkin gue beruntung. Di setiap area yang gue datangi, sebagian besar dikenal sebagai daerah-daerah top 5 paling tidak toleran di Indonesia, tidak pernah sekalipun gue mengalami diskriminasi.
Bagi mereka konteks Cina itu adalah sebuah konteks yang jauh, yang asing, sedangkan gue dekat, ada di tengah mereka, ngomongnya pake Bahasa Indonesia pula. Gue ya bukan Cina, gue sama aja seperti mereka, orang Indonesia.
Kondisi ini membuat gue sadar betapa besarnya tanggung jawab gue untuk meluruskan kesalahpahaman yang pernah terjadi. Untuk bisa mengusir kompor mleduk yang bertugas ngacak-ngacak negara demi kepentingan sepihak.
Buat gue, interaksi dan konfrontasi tetap jadi obatnya, untuk mencegah prejudis dan kesalahpahaman antar etnis, untuk membuat jaring yang lebih kuat ketika kompor mulai dinyalakan kembali.
Bagi beberapa desa sekunder itu yang gue datangi itu, gue mungkin adalah orang Cina, Katolik, perempuan pertama yang pernah mereka temui. Jika gue nipu ya semua orang Cina nipu. Jika gue bener, ya semua orang Cina bisa jadi bener. And nobody would tell them otherwise, karena.. ya kebanyakan orang seperti gue, takut berinteraksi dengan mereka yang berseberangan ras dengan kita.
Sehingga ketika sentimen anti Cina muncul pas ada yang ngomporin, bilang bahwa hasil bumi daerah ini baiknya dikelola oleh PRIBUMI, urang awak, dan sejenisnya, they are the ones who could say otherwise. Bahwa enggak, ada gue yang Cina ini bukan tukang tipu.
Hingga akhirnya, gue benar-benar dianggap satu rumpun. Seperti ketika seorang berkata kepada gue, “kita harus menang di sini bu, kita kan PRIBUMI”. Sebuah istilah, yang puluhan tahun menjadi momok bagi gue, kini mendefinisikan diri gue di mata sebagian orang.
Namun gue tahu tidak semua orang punya keberanian seperti gue. Tidak semua orang pernah melihat BH saksi sejarah persahabatan antar etnis di tengah kerusuhan 98. Yang membuat gue berani untuk masuk ke desa-desa sekunder Indonesia, karena meskipun gue adalah golongan ‘korban’ di masa kerusuhan, gue yakin bisa menemukan mereka yang berbagi BH terlepas dari suku-agama-ras dan golongannya.
Dan gue resah. Interaksi hidup antar etnis tetap seminim 24 tahun yang lalu, jika bukan makin minim. Area-area percampuran perkotaan semakin homogen. Perumahan berdasarkan agama semakin banyak. Demikian juga the new pecinan tumbuh menjamur hampir di setiap sisi Jakarta. Sekolah berbasis agama semakin ngelotok tidak ada pertukaran pelajarnya. Secara ikhlas dan sukarela, we segregate ourselves.
Sedangkan Indonesia bakal segera kembali menghadapi pertarungan pulitik. Biasanya, ini momen kompor mulai dinyalakan. Kompor yang dari pilkada dan pilpres kemarin saja masih anget. What would happen? Apakah gue kembali dicina-cinakan, dianggap layak dilecehkan, meskipun sudah jemuran sampai tanned kayak Agnezmo?
Apakah si tante yang kini sudah meninggalkan rumah keluarga dan pindah ke Jakarta Barat akan dianggap berseberangan dengan tetangganya dan oleh karenanya layak jarah? Gue hanya bisa terus ngoceh tentang isu yang ga kelar-kelar ini lewat medium yang gue tahu. Dan berharap bahwa BH persahabatan itu tidak terkoyak.
It’s 80-B, btw…