“Adek-adek yang manis, yuk sini kumpul di depan yuk.. Hayoo.. siapa yang mau hadiah?”
Suara MC terdengar cempreng mewarnai hiruk pikuk suasana sebuah sports club akhir pekan itu. Restoran yang terletak di pinggir kolam renang siang ini sedang dibook sepenuhnya untuk ulang tahun Cillia, atau nama barat sejenis, seorang anak perempuan berusia tujuh tahun.
Kendatipun begitu, bocah-bocah tamu acara seolah melawan hukum alam tentang anak-anak kecil yang selalu jejeritan dan mencari hadiah. Demikian juga Cillia, si tuan rumah, yang tampil bongsor mirip remaja berusia 14 tahun dengan kemben dan sayap kupu-kupu menempel lebar di punggung. Tak ada yang merespon tawaran MC.
“Oh, anak orang kaya semua kali ya? Pada ga napsu ditawarin hadiah?”
“Iya, udah biasa kalau hadiah-hadiah gituan doang” Gue berkomentar sama si kakak pertama.
Pantang menyerah, si MC kemudian mengulangi ajakannya sekali lagi.
“Come on, boys and girls, who wants presents??”
Dan serta-merta bocah-bocah tamu jejeritan melompat ke depan sesuai dengan kodrat asli mereka, “Meeeeee….”
Ah! Ternyata bocah-bocah yang usianya tak lebih dari tujuh tahun dan bertampang aseli Endonesia ini tak paham Bahasa Indonesia! Pantesan mereka nggak responsif pas dipanggil MC pertama kali! Mereka Cuma ngerti bahasa Inggris!
Spontan pecahlah tawa di meja keluarga kami. Ini pasti anak-anak TK internasional semua! Uda bayar mahal tapi malah jadi OON! Dan secara otomatis, pembicaraan jadi bergeser ke topik membesarkan anak.
“Punya anak sekarang makin mahal,” kata kakak kedua, “kemarin ada temen yang masukkin anak ke SD, masa uang pangkalnya 40 juta!”
“Ah, itu kan kalau SD internasional, yang karyawisatanya pake ke Universtal Studio,” kata mami.
“Ih, yang semi internasional juga segituan kok, kalau yang full bahasa Inggris lebih mahal,” ujar kakak pertama.
“Iya, itu baru sekolahnya, belum ulang tahunnya..” gue melirik keramaian pesta. Ada kamera panggul yang digunakan untuk merekam jalannya acara. Seluruh porsi sop buntut goreng yang seporsinya senilai kira-kira 95 ribu ikut habis diborong yang punya pesta.
Dan pembicaraan itu membuat gue semakin mantap pada kesimpulan gue: bahwa punya anak di jaman sekarang itu susah dan mahal. Dan gue belum sanggup, financially, psychologically.
Bukan, gue tidak bilang membesarkan seorang anak jaman dulu itu mudah. Gue sadar betul betapa beratnya perjuangan si mamih membesarkan ketiga anak perempuannya yang bandel-bandel, kritis dan tidak mudah puas ini. Dari jaman dulu juga sangat sulit mendidik anak untuk jadi orang yang ‘bener’. Ngegedein anak juga selalu pake duit yang tak jelas Return On Investment-nya.
Tapi dengan segala ‘pernak-pernik’ khas jaman sekarang, memastikan anak jadi orang yang ‘bener’ itu punya lebih banyak syarat dan ketentuan, semuanya, didapat dengan mengeluarkan uang lebih banyak.
Di jaman gue dibesarkan itu, sekolah internasional itu belum umum. Playgroup juga enggak. Gue baru kenal sekolah pada saat TK, lalu belajar Bahasa Inggris pas kelas lima SD. Mandarin waktu kuliah.Sebelumnya? Gue goler-goler aja di rumah, main di tanah sambil dibacakan buku dongeng yang sudah ditranslasi ke bahasa Indonesia.
Olahraga yang gue kenal di masa itu juga cuma menggeliat-geliat sambil guling-gulingan. Biarpun di Kelapa Gading banyak terapi alternatif, tahun segitu belum ada baby massage, baby spa, atau baby yoga.
Si mamih juga membuat aturan dasar rumah tangga berdasarkan keyakinan sendiri. Tidak atas dasar buku psikologi apalagi konsultasi. Artinya, gue dibentak, ditakut-takutin sama kecoa dan akrab dengan kisah kakak-kakak yang dirotan dan dikunci di kamar mandi ketika nakal.
Ketika agak besaran dikit, si mamih sudah cape ngebilangin dan menasihati kami yang tambeng itu. Biarin aja nyoba ini itu biar merasakan sendiri akibatnya dan susah sendiri, lalu kapok.
Kalau cara mendidik anak macam ini ditawarkan ke ibu-ibu muda macam maminya Cillia, yang dibesarkan dengan cara yang sama sebenarnya, mereka pasti bergidik ngeri. Ini cara yang sangat primodial, kuno, ketinggalan jaman, dan tidak teruji riset!
Pertama-tama, pendidikan anak itu nomor satu. Harus GO INTERNATIONAL. Ini era globalisasi gitu loh. Gimana bersaing dengan Cina kalau bisanya Cuma bahasa Indonesia yang ga keren ini? Jadi sekolahnya harus yang sudah mengajarkan bahasa Inggris, kalau perlu Mandarin ala Beijing dan Taiwan. Kurikulumnya ala Cambridge, atau apa gitu. Sistem pengajarannya harus metode kompetitif.
Dan yang internasional ini harus dilakukan SEDINI mungkin! Dari playgroup, dan harus masuk playgroup. Kenapa? Karena di usia satu sampai tiga tahun itu otak berkembang maksimal. Apapun juga diserap si kecil. Keluarga dan babysitter itu kan nggak ahlinya pendidikan, kalau misalnya salah asuh gimana?
Sudah jelas, pendidikan sekolah internasional itu lebih mahal, dan karena dimulai lebih awal, maka uang yang dihabiskan juga empat tahun lebih besar, karena biaya playgroup itu kadang Cuma beda seratus dua ratus dolar dengan pendidikan primernya.
Susu juga makin mahal. Bukan saja karena harga dasarnya meningkat, tapi juga karena susu sekarang diperkaya dengan AHA, DHA, dan singkatan-singkatan lainnya yang menjamin otak si anak bisa berkembang lebih besar dan cepat daripada anak-anak jaman Albert Einstein.
Bukan hanya dari sisi materi, mendidik anak secara benar sekarang juga sudah punya tools baru, PSIKOLOGI ANAK, yang membuat aturan-aturan baru tentang bagaimana mengasuh anak, that will put every tiger mother to shame.
Anak jaman sekarang itu nggak boleh ditakut-takuti, nanti jadi paranoid. Padahal barang atau figur tertentu itu punya nilai positif yang perlu dipelajari anak. Juga nggak boleh dilarang. Jangan bilang jangan! Yang bener, harus diberi pengertian, mengapa sesuatu itu sebaiknya tidak dilakukan.
Kalau tetap dilakukan, juga nggak boleh ditegur bandel. Nanti jadi self-fullfilling prophecy, dia merasa dirinya memang nakal, lalu memaafkan tindakan nakalnya. Apalagi dihukum secara fisik. Ini akan menimbulkan luka batin! Si anak bisa mendem lalu tumbuh sebagai psikopat.
Jadi sebuah teguran yang berbunyi “Eh! Jangan berantakin lemari mami! Nakal banget sih! Kasi tikus loh!” harus diganti menjadi “Adek, kalau kamu acak-acak lemari mami, nanti berantakan, terus mami susah ngeberesinnya, main puzzle bubble aja ya?”
Tapi ini anak kecil loh, mana bisa dibilangin sekali? Maka teguran itu akan berulang sekitar 15 kali lainnya, sedangkan lemari dan kamar akan berantakan bak kapal pecah. Kalau begitu gimana? Ya sabar dong, namanya juga seorang ibu, harus sabar!”
Sebagai seorang wanita yang hasrat keibuannya belum tumbuh, gue sebenarnya mempertanyakan jika semua aturan yang baru muncul ini efektif. Seandainya gue lahir di jaman sekarang, pasti anak macam gue itu jadinya bodo, nggak bisa bersaing di pasar global, lalu jadi cecungguk yang tidak berprestasi.
Gue juga berbadan ga sehat (emang sih, tapi gue curiga lebih karena gue kurang menjaga pola hidup sehat), dan akan menyimpan luka batin dan dendam ke pada orang tua, trauma, punya self image yang salah, atau penakut, tidak paham akan baik buruknya sesuatu, dan punya kecenderungan jadi pembunuh berantai,
Tapi seinget gue tidak. Gue tidak tahu apakah ada orang di luar sana, selain ibu bapak gue sendiri yang menganggap gue telah berkembang menjadi anak yang ‘bener’, tapi gue tidak terlalu merasa ada yang kurang dalam perkembangan jiwa dan kepribadian gue. Temen-temen seangkatan kakak pertama dan kedua juga sudah banyak disebut ‘sukses’.
Gue tetap dapet kerja di pasar global Singapura biarpun terlambat belajar bahasa Mandarin. Tidak satupun dari kami bertiga yang mendendam pada orang tua. Sebaliknya, gue berterima kasih, berkat formula pendidikan yang gue terima gue menjadi seorang yang mandiri, percaya diri dan (merasa diri) kreatif.
Atau.. gue terselamatkan dari berbagai penyakit kejiwaan justru karena gue terlahir di masa lampau? Globalisasi akan semakin berkembang, dan anak macam gue akan tertinggal dari angkatan gue yang lain, yang diberi susu AHA DHA, belajar di sekolah internasional dan diberi baby massage.
Tentu saja jawaban dari pertanyaan gue ini baru akan terjawab 20 tahun lagi. Dan ibu macam apa yang berani menguji coba teori gue pada anak sendiri. Yang jelas gue bisa pastikan dampaknya, ibu dari anak yang tidak mengikuti ‘trend mendidik anak’ bakal dikucilkan dari pergaulannya. Dipandang rendah dan tega untuk menaroh anaknya di di SD negeri, dengan risiko nanti anaknya jadi bodo dan ga bisa kerja.
Seperti yang gue lihat pada pesta ulang tahun Cillia, yang paling jelas menikmati acara adalah sang orang tua dan teman-temannya. Cillia nampaknya masih terlalu kecil untuk menghargai kemewahan yang membanjirinya. Tetangga Cillia bakal memilih pindah rumah daripada mengadakan acara ulang tahun ketujuh yang kalah mewahnya.
Kata orang, baby is the new fashion. Keren punya anak, apalagi kalau bisa didandani dan dipamerkan. Jangan-jangan cara mendidik yang ‘modern’, pendidikan yang ‘sudah diimprovisasi’ dan jenis gizi ‘formula baru’ juga termasuk trend yang perlu diikuti orang tua si anak. Buntutnya ada korban mode, yang setengah mati mengikuti aturan tren saat dompet tak memadai.
Tentu saja di dalam keyakinan gue, tidak ada ibu yang tidak ingin yang terbaik untuk anaknya. Apalagi hanya sekadar untuk bergaya. Eh, tapi menjadikan anak up-to-date mengikuti perkembangan mode itu juga demi kebaikan anak, loh!