Flying Solo

“Sendirian aja Mbak di Jogja?”
“Iya sendiri aja”

“Ooo.. berapa lama?”

“10 hari.”

“HAAAA…10 hari sendirian??” Mata OB hostel tempat Loli menginap langsung membelalak.

 

“Coba kalau itu Oknum R yang sendirian 10 hari, pasti nggak ada yang nanya!” protes Loli, seorang teman kuliah. Hari itu kami sedang reuni mini, sambil ngemil lemper dan kue bolu.

 

RA Kartini pasti menangis dalam kubur mendengar cerita Loli. Di era ini, perempuan Indonesia sudah ada yang semumpuni Loli yang lulusan S3 Geneva, bisa makan salak 5KG sekali makan, dan menghabiskan 10 tahun hidupnya melanglang buana, sendirian. Namun perempuan Indonesia ini tetap tidak pantas bepergian sendirian.

 

We are still the weaker sex, demikian akhirnya gue menyimpulkan, setelah berulang kali mendapat pengalaman seperti Yoli. Suka nggak suka, setuju gak setuju, ada beberapa aspek yang di dalamnya perempuan dianggap masih tidak semahir laki-laki.

 

Sebagai seorang eksportir, gue memang sering harus pergi ke tempat-tempat pelosok Indonesia, lalu lanjut piknik seorang diri. Dan seberapapun gue (merasa) andal dalam bekerja, gue tetap mendapat tatapan curiga bercampur belas kasih terhadap seorang perempuan perawan tua yang kemana-mana harus sendiri ini.

 

Terakhir, adalah saat gue mengunjungi Bingin, resor mungil tepi tebing di selatan Bali. Saat itu gue baru menyelesaikan satu pekerjaan di Bali dan harus berangkat lagi ke Surabaya beberapa hari setelahnya. Daripada keder kayak pramugari gagal, mending gue istirahat dulu, leyeh-leyeh di pinggir pantai sambil minum bir dan makan indomie rebus.

 

Namun logika sederhana itu nampaknya sulit dipahami. Mulai dari pemilik penginapan hingga pemadam kebakaran pernah bertanya, “Kok Mbaknya sendirian pacarnya gak dibawa?” Yang kemudian gue jawab enteng, “Ngapain dibawa nanti berat, koper saya overweight.”

 

Setelah keberaparatus pertanyaan yang gue dapatkan gue jadi mendadak kritis, dan bertanya balik: Emang kenapa sih musti bawa cowok kalau jalan-jalan?

 

Mbak restoran organik menjawab gantung, yaa.. kasian aja kan Mbaknya ke sini jauh, harus nyetir sendiri.. Ya elah, gue membatin, gue disamain ma Ibu-ibu yang nggak bisa naik motor. Ngasi sen kiri beloknya ke kanan. Bukannya gue nggak pernah jadi korban ibu-ibu macam ini, tapiii gue juga sering kok jadi korban mas-mas yang nggak ngasi sen sama sekali tau-tau belok.

 

Kenyataannya, gue mampu menyelesaikan rute Padang-Payakumbuh hanya dalam 3.5 jam saja. Jauh lebih cepat dari dugaan pak supir (laki-laki) yang memprediksi jarak tempuh 6 jam.

 

Lagipula, justru karena gue perempuan sendirian, gue bahkan gak perlu mikirin nyetir. Berdasarkan pengalaman, kalau mau jalan ke luar, gue cukup clingak clingkuk aja di luar hotel. Pasti ada bule yang menawarkan ojek gratis sampai ke tujuan.

 

Stereotip ini memang kadang memberikan keistimewaan, misalnya perempuan gak bisa parkir dikasih Ladies Parking. Gue juga seneng sih , kalau parkirannya habis. Tapi jangan salah, kalau masih ada parkir ‘normal’, gue pilih parkir normal, semata gue malas urusan sama tukang parkir yang dengan pamrih membukakan area ladies parking itu.

 

Mas pengawas di Pantai Padang-Padang yang terletak berdekatan dari Bingin beralasan: Yaaa.. biar ada yang jagain aja Mbak. Meh. Sepanjang pengalaman gue berenang di laut lepas, gue cuma pernah cidera sekali. Yaitu ketika rekan berenang (laki-laki) panik alat snorkeling bocor lalu menarik-narik gue hingga gue menabrak pinggir perahu. Ya. sedekat itu dengan daratan.

 

Sejak saat itu gue tahu, keberadaan lelaki tidak akan menyelamatkan gue dari mati terjungkal tebing atau terseret arus. Tidak juga jika ada perampok bersenjata api.

 

Menyetir, berenang, ataupun caving menurut gue adalah kemampuan teknis, yang bisa dipelajari dan menjadi kebiasaan. Untuk mempelajari, batasan perbedaan fisik perempuan dan lelaki sebenarnya tidak membuat yang perempuan jadi lebih lemah.

 

Terbiasa berenang di laut lepas, gue lebih tidak mudah panik daripada peserta piknik pada umumnya. Dan, gegara punya kerjaan di udik, gue sudah lebih khatam menyetir ke pelosok negeri.

 

Alasan yang agak sedikit berbeda, diberikan oleh ibu pemilik penginapan. “Yaa kan seneng kalau ada pacar ada yang nemani apalagi kalau malam-malam di sini sepi,” ujarnya dengan logat Bali yang kental.

 

Ya, gue menatap laut bewarna biru azzura, berpadu dengan pasir bewarna keemasan. Sesekali debur ombak menghantam bibir karang yang tegak membatas. Memang cocok jadi spot honeymoon.

 

Apalagi penginapan gue yang terletak persis di bibir pantai. Hanya ada lima bungalow beratap rumbia yang menghadap langsung ke tebing pantai Dreamland, yang ketika malam melemparkan cahaya temaram lampunya ke buih putih samudera.

 

Siapa yang nggak jadi mupeng kalau begini. TAPIIII kenapa pertanyaan itu hanya dilontarkan pada gue, bukan pada surfer-surfer yang berkelana sendirian berbulan-bulan? Pemandangannya kan sama, berarti mereka juga harusnya mupeng juga dong?

 

Namun nampaknya, bukan hanya perempuan adalah the weaker sex, perempuan juga dianggap sebagai the nicer sex. Yang harusnya settling down terlebih dahulu. Harusnya hidup manis dalam kungkungan domestik dan bukan menjelajah dunia.

 

Ketika gue menjawab mengapa gue sendirian adalah karena ‘Saya nggak punya pacar’ rentetan pertanyaan susulan akan muncul: mengapa dan bagaimana. Sangat tidak wajar ada perempuan usia di atas 30 yang tidak panik tak berpacar.

 

Anggapan yang menurut gue nggak adil banget! Gue menenggak bir tanpa beranjak dari bean bag hijau dalam gazebo beratap rumbia itu menatap matahari yang mulai turun tenggelam ke laut. Apakah pemandangan seperti ini hanya boleh jadi milik pria, dan perempuan jika didampingi pria?

 

“Hahahaha.. I feel you!” gue kembali menanggapi Loli, “kemarin pas gue ke Bali juga gue ditanyain gitu mulu!”

“HAH? LOE NGAPAIN SENDIRIAN DI BALI?” gantian Loli yang membelalak.

“Lah ya sama aja kali, loe ngapain ke Jogja sendirian?” Gue ganti menyerang.

“Beda Gy, gue ke Jogja, sendirian mah wajar, lah ke Bali sendirian?” HAHAHAHAHAHAHAHAHHAA.”

 

Yahh.. sama aja! Yang perempuan juga membangun stereotip begitu!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *