Pertanyaan kuis uji nasionalisme: Sebutkan makanan dan minuman khas Indonesia!
Kunci jawaban: Baso borax, sate ayam tiren, tahu bacem formalin, tempe goreng plastik, sambel lampung cap tekstil, buah-buahan suntik gula dan daging giling sisa hotel.
Gue punya feeling klo juri Miss Indonesia bakal protes dengan kunci jawaban buatan gue. Tapi emang bener kok, semua makanan layak buang itu telah menjadi bagian dari kehidupan berbangsa.
Coba, anak SD mana yang masa kecilnya tidak dihabiskan dengan jajan minuman sirop mirip fanta yang warnanya unguuuuu banget. Jaman gue, sekantong plastik besar harganya Cuma 300perak. Ungunya awet di lidah! Juga sapa yang ga pernah makan permen white rabbit asal China dan teman-temannya yang ternyata sama dengan makan piring plastik?
Di sekeliling setiap sekolah, selalu ada gorengan tahu dan tahu gejrot, yang diawetkan dengan formalin, plus digoreng pake paraffin bersama dengan aqua plastic bekas biar tambah garing. Dan mayoritas sekolah punya warung nasi soto ayam suwir-suwir yang entah ayamnya mati sejak kapan atau empal glonggongan atau sisa hotel yang dicuci kembali. Jangan lupa makannya pake saos sambel merah darah. Ada juga baso daging tikus rasa sapi….
Di kasus gue, juga dijual jamu antah berantah yang bisa menyembuhkan segala penyakit, dari pusing sampai gatel-gatel. Jamu yang kalau diminum bisa bikin hati damai dan tidak lagi memusingkan penyakit yang diderita. Setelah bertahun-tahun mengandalkan pengobatan alternatip itu, pemerintah menetapkan jamu SINATREN sebagai obat golongan G, mengandung bahan kimia berbahaya dan menimbulkan kecanduan. Gue yakin bukan Cuma gue yang dibesarkan dengan mengandalkan obat ‘tradisional’.
Semua jajanan ramah kanker itu telah mewarnai hidup gue dan jutaan teman-teman gue lainnya sepanjang masa sekolah kami, dan kadang dilanjutkan dengan jajanan warung ketika sudah bekerja. Rasanya cuma anak-anak yang sekolah di JIS atau seumur idup di luar negeri yang tidak berbagi pengalaman dengan kami.
Sebagai bagian dari kehidupan, bukan cuma konsumen yang tergantung pada junk food (literally) ini. Roda perekonomian bisnis makanan rakyat kecil jadi sangat bergantung pada supply daging sisa hotel, bahan kimia berbahaya dan teknik pewarnaan yang sangat fantastis ini.
Gue sering protes, ini pemerintah kemana sih? Ditertibin tuh makanan yang aneh-aneh..mau apa sebangsa bego semua? Tapi kemudian gue mikir, lha kalau semua pemasok ikan formalin, tahu formalin, minyak goreng paraffin ditangkepin semua, siapa yang masok ikan di warteg?
Kenyataannya, dengan harga BBM melonjak drastic, subsidi disalahgunakan dan daya beli yang rendah, sangat tidak mungkin nelayan dan penjual tahu menggunakan system pengawetan yang seharusnya. Untung menjaga kelangsungan si ikan, perlu pendingin; pendingin pake listrik; listrik pake solar; solar pake..duit…Harga tahu dan ikan yang ‘jujur’ pasti lebih tinggi. Lha kalau harganya naik, warteg mana yang mau beli?
Juga tanpa daging glonggongan, ayam tiren dan daging olahan sisa restoran, warteg, tukang sate ayam, tukang soto dan tukang-tukang yang lain juga bakal susah hidup. Dengan harga gas yang naik terus, cuma dengan memakai ayam tiren yang dijual lebih murah, si tukang sate bisa mempertahankan harga jualnya. Dan bayangkan jeritan anak-anak kost ketika uang 5000 yang tadinya bisa buat makan kenyang, jadi tidak berarti….
Mending cuma menjerit; kalau akhirnya beneran ga jadi makan? Rezeki pengusaha kecil makanan ini bakal terhambat, lalu bangkrut. Lebih parah lagi, sumber daya manusia Indonesia bakal turun drastic karena mahasiswanya yang kost jadi lemes karena kurang makan. After all, lebih baik makan daging glonggongan daripada ga makan daging sama skali.
Dan mana mampu semangka bibit local yang tidak unggulan itu bersaing dengan semangka China yang merah dan gede (dan mungkin disuntik estrogen juga)? Menanam bibit unggul itu kan juga pake duit, dan itu yang petani Indonesia ga punya saat ini. Atau bisakah si soda local bersaing dengan coca-cola klo warnanya ga ungu janda? Disinilah suntik pewarna tekstil berperan besar….
Niscaya, jika aturan pengedaran makanan beneran diperketat, bakal banyak nelayan, perajin makanan dan petani yang dikiamatkan. Jika tidak ada pasokan, pasar-pasar bakal banyak yang kekurangan stok makanan; harga lalu melambung, ditambah harga makanan yang ‘bener’ emang lebih mahal. Jika harga melambung, bakal banyak tukang jual makanan yang gulung tikar. Jika ga ada yang jualan makanan…
Memang ga semua daging dan makanan yang dijual di pasaran segitu mengerikannya. Tapi coba cek warung sekitar. Kebanyakan menawarkan harga yang fantastis: ayam, pake nasi dan lalap kurang dari Rp.10.000. Padahal harga sepotong ayam yang sudah pasti ga mati kemaren itu sepotongnya Rp.7000. Memang ga semua warung, tapi cukup untuk meningkatkan inflasi.
Melihat krisis moneter yang tiada akhir, korupsi makin membudaya, rasanya akan lama sekali sampai makanan ‘khas’ Indonesia ini hilang dari pasaran. Pertama harus menghancurkan budaya korupsi dulu supaya dana bantuan pemerintah sampai ke tangan yang tepat. Anggota KPK tau bener betapa mustahilnya menghilangkan korupsi…Lalu butuh pegawas makanan yang anti suap. Ga mungkin juga kan? Makanya jenis makanan yang telah disebutkan itu bakal semakin melekat pada identitas bangsa.
Tapi jangan sedih dulu. Mungkin tidak semenyeramkan itu. Gue adalah satu dari jutaan anak bangsa yang telah dibesarkan dengan makanan sedemikian. Jadi selama minimal 12 tahun, kadar melamine dalam darah gue harusnya sudah bisa buat bikin piring. Pewarna tekstil yang menumpuk sudah bisa mewarnai kain 2 meter dan formalin yang ditelan bisa untuk mengawetkan satu orang. Harusnya, gue sudah mengalami retardasi mental, gagal ginjal, hepatitis, kanker usus dan cacingan. Tapi, gue ga bodoh-bodoh amat kok, sehat lagi!
Kata temen gue, mungkin gue itu uda jadi goblok, tapi karena semua orang makannya kaya gue juga, semua orang jadi segoblok gue, sehingga gue ga berasa lagi jadi yang paling goblok. Tapi engga juga kok. Masi ada aja orang Indonesia yang menang Olympiade Fisika, meraih medali emas bulu tangkis dan diterima beasiswa di uni sana-sini. Berarti dengan konsumsi pangan yang salah pun, orang Indonesia tetap bisa bersaing dengan SDM luar negeri yang makanannya sangat terkontrol!
Oleh karena itu, bagi anak-anak Indonesia, jangan bimbang! Teruslah konsumsi minuman yang warnanya nge-jreng, permen susu yang kertasnya bisa dimakan, dan gorengan yang lebih garing dari sandal jepit yang kejemur. Lestarikan budaya bangsa! Selamat menikmati…