Gangsta’

Kalau lembar hasil laboratorium itu adalah hasil ujian, gue sudah pasti tidak lulus.

Setelah empat hari mengalami demam tinggi 40 derajat Celsius secara konstan siang dan malam, gue dianjurkan untuk tes darah. Curiganya, kalau bukan tifus, mungkin demam berdarah, atau penyakit dalam lainnya. Maka gue dites untuk berbagai penyakit tersebut. Yang hasilnya menyimpang dari normal diberi warna merah, yang baik-baik saja warna hitam.

Lembar itu, bewarna merah nyaris di semua bagian. Virus demam berdarah berkomplotan dengan bakteri tifus, didukung virus campak dan juga gangguan liver untuk menyerang badan. Paket combo. Gue masuk rumah sakit seketika.

Terbaring lemah dengan demam tinggi sepanjang masa tentunya membuat gue banyak merenung tentang arti hidup dan mati. Gue agak keki, karena penyakit-penyakit itu secara tidak acih telah main geng-gengan. Kalau berani, satu lawan satu dong! Gue baru tahu, bahwa sesuatu yang dilakukan bersama-sama dalam sebuah komunitas, bisa punya dampak negatif, seperti komunitas penyakit yang bersama-sama mengobrak-abrik seluruh organ pencernaan gue ini.

 

Maklum, seumur hidup gue di Indonesia, gue selalu diajarkan bahwa komunalitas adalah sesuatu yang bernilai luhur. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Membentuk kelompok, menjadi kuat. Networking jadi satu kegiatan wajib yang penting. Itulah sebabnya, manusia Indonesia termasuk gue, terbiasa hidup dalam geng seumur hidup.

 

Saat SD, ada grup berisi anak-anak paling pintar dalam kelas. Tipe mereka yang duduk di depan, disayang guru bukan main, dan jadi ketua kelas. Saat SMP dan SMA, ada grup AADC, sekelompok anak-anak tercantik dan tergaya.

 

Tipe mereka yang selalu melanggar peraturan dengan rok terlalu pendek atau membolos. Tipe yang selalu mangkal di radio anak muda, makan roti panggang di daerah selatan, dan tampil lebih tua dari umur demi masuk klub malam.Atau geng aktif kreatif, ikut ekskul paling keren, jadi dedengkot acara sekolah dan punya jaringan paling luas di luar sekolah.

 

Kehidupan geng-gong yang dilandasi takaran persekolahan, seperti prestasi akademis dan rating kegaulan mengambil bentuk yang berbeda setelah memasuki dunia karir. Kali ini, klub elit berisi beberapa orang itu ditandai dengan sepucuk undangan membeli tas bermerk yang hanya dibuat 1000 buah untuk edisi pertama. Atau punya sandangan itu-itu Expert atau specialist.

 

Bahkan, mereka yang belong to nowhere, yang tidak punya tempat di dunia nyata yang kejam ini, jika dikumpulkan, bisa membentuk komunitas sendiri. Mereka juga punya klaim properti, meski biasanya adalah lokasi yang sudah ditinggalkan orang lain, bahasa sendiri, acuan sendiri tentang baik-benar, lucu-jayus, pinter-goblok, yang biasanya, meski biasanya berlawanan dengan pakem dunia mayoritas.

 

Ketika bergabung dalam geng tertentu, tentu saja, gue tidak merasa ada yang salah dengan berada dalam sebuah lingkup komunitas. Segalanya terasa menyenangkan saat berada dalam kelompok. Semua punya pemikiran dengan cara yang sama sehingga sangat mudah menyampaikan ide, serta diterima idenya.

 

Geng juga memberi gue hak-hak lebih. Gue bisa memiliki properti secara gratis, seperti pada pojokan pohon sekolah yang kini jadi ‘milik geng’ dan siswa lain dilarang nongkrong di pohon tersebut. Gue juga punya hak untuk menentukan standard nilai sendiri, yang berlaku secara absolut dalam tempurung komunitas gue.

 

Dan tentunya, yang paling menyenangkan adalah membuat judgement terhadap orang lain berdasarkan cara pikir satu orang dalam kelompok saja, beraksi menggencet orang tersebut, dan…mendapatkan dukungan penuh orang lain (Baca: anggota geng) untuk melakukan hal itu.

 

Gue bisa menyebut adik kelas gue kasar dan tidak sopan dan gue akan mendapatkan dukungan untuk menggamparnya bolak-balik dalam WC, bahkan dibantuin ngegampar. Perkara kasar dan tidak sopan itu sebenarnya sangat subjektif, dan ternyata hanya dilandasi rebutan lelaki, itu tidak jadi masalah. Gue melihat dari kacamata komunitas dan mereka di luar komunitas, tidak bisa memahami gue. Gue bisa menyebut orang lain sebagai tolol, atau anggota geng lain sebagai kroco dan melakukan blackmail, bahkan saat gue sendiri adalah kroco dari geng gue.

 

Tidak ada yang salah, selama gue berada dalam komunitas itu. Gue baru merasa tidak nyaman, ketika gue berseberangan dengan anggota komunitas tersebut. Seperti saat virus dan bakteri, melakukan apa yang terbaik atas nama keberlangsungan prokreasi komunitas penyakit, dan nyaris menghilangkan hak hidup gue.

 

Ternyata, banyak perbuatan yang dilakukan atas nama komunitas, telah menghilangkan hak-hak orang lain. Membuat gue mempertanyakan, jika komunitas itu telah memberi gue perceived reality akan hak dan kebajikan yang semu. Dan karena berpegangan terhadap hal semu, membuat gue sebenarnya terlihat konyol di mata mereka yang bukan anggota komunitas.

 

Pohon di sudut sekolah itu bukan milik geng gue. Pohon itu jelas milik sekolah, yang dipergunakan untuk keteduhan seluruh siswa. Namun karena merasa berkuasa, pohon itu gue sita, dan segala kegiatan yang berlangsung di bawahnya gue atur. Ketika sekolah mau mempergunakannya untuk kepentingan seluruh komunitas, gue marah. Gue telah menghilangkan hak damai siswa lain. Semu. Dan sebenarnya konyol.

 

Virus dan bakteri yang merajalela, mungkin merasa badan gue adalah lahan milik mereka yang bisa digarap sesuka hati. Namun begitu antibiotik, parasetamol, jus kurma dan jambu ditelan, badan gue melawan dan memberi tahu, siapa sebenarnya pemilik tubuh ini. Mereka semua binasa secara konyol.

 

Menjadi hakim sendiri telah menghilangkan hak orang lain untuk dinilai secara adil dan objektif. Juga terkadang menimbulkan kekonyolan saat penilaian gue itu maha subjektif dan tidak didasari fakta. Yang diledeki tolol, bisa saja ketawa ngakak guling-guling karena sebenarnya beliau adalah seorang peraih beasiswa bahkan bukan dari sekadar instansi lokal, melainkan dari pemerintah negara asing.

 

Tas bermerk itu di kalangan masyarakat tertentu telah menjadi identitas yang melekat pada diri. Begitu pentingnya, hingga menghilangkan identitas diri lainnya yang sebenarnya lebih luhur. Semu. Dan di mata orang di luar kalangan tersebut, tas bermerk itu sungguh tidak ada artinya. Orang kaya hanya jadi terlihat konyol.

 

Bukan berarti gue mendukung gerakan anti-sosial melawan komunitas. After all, gue juga telah mencicipi dampak positif bergabung dalam komunitas. Saing-saingan waktu SD memicu semangat belajar, membandel saat SMP memberi gue masa remaja yang indah, dan pertemanan positif SMA membuahkan kuliah bersubsidi. Belum lagi berapa banyaknya gue dibantu oleh solidaritas komunitas di berbagai tempat.

 

Hanya saja, berada di ranjang rumah sakit dan menjadi ‘korban komunitas’, gue merasa perlu berhati-hati, sebelum menjadi terlalu bangga menjadi bagian dari sesuatu. Sense of belonging adalah hal positif. Namun jika berlebihan, dan terhadap barang punya orang lain, atau fasilitas umum, tentu patut diwaspadai.

 

Mencari takaran identitas akan apa yang dianggap baik dan buruk memang dibutuhkan. Namanya juga makhluk sosial. Namun penting juga untuk mencari esensi secara obyektif, sungguhkah yang dianggap benar ini, adalah sesuatu yang bisa diterima orang lain?

 

Sejak didera komplotan virus, gue memutuskan keluar dari sebuah instansi. Namun itu juga tidak membuat gue ingin menjadi bagian komunitas yang berseberangan dari instansi tersebut. Gue memilih menjadi neither here not there, yang tidak setuju akan kebijakan instansi, namun tidak membuat gue membenarkan apa yang komunitas tuduhkan lewat kacamata sempit satu pemikiran saja.

 

Karena seperti yang tubuh gue buktikan, bersatu dan terlalu absorbed ke dalam komunitas is not cool. Not cool at all.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *