Gawat-Darurat

Nit..nit…nit…nit… Suara alat deteksi jantung dari pasien di sebelah gue itu terdengar nyaring di telinga. Nit…nit…nit….NITNITNITNITNITNITNITNITNIT… Ada yang nggak beres nih, aduh, kok bunyinya kedengerannya nggak sehat sih? Suster…Suster…

Gue menggeliat panik sambil menggerutu dalam cubicle Unit Gawat Darurat itu. Masa gue jadi harus menyaksikan hembusan nafas sih…Padahal gue hanya demam saja, curiganya paling lantaran flu. Tapi di malam minggu yang syahdu itu, tidak ada dokter yang bertugas, sedangkan dokter umum rumah sakit sudah pulang. Maka berakhirlah gue dalam sebuah UGD, dengan kondisinya yang memang gawat darurat.

 

Sembari menunggu dokter yang sedang sibuk keleleran, pikiran gue berkelana. Here’s another UGD experience… batin gue. Mungkin akibat Global Warming yang menyebabkan cuaca makin tak menentu dan virus-virus bermutasi, gue jadi makin sering menyambangi rumah sakit, terutama UGD-nya. Dan UGD, selalu memberi gue pemandangan sekaligus pengalaman yang aneh bin ajaib.

 

Pengalaman pertama dengan UGD adalah saat sakit di Singapore General Hospital dan prosedur ke dokter umum adalah melalui UGD. Ada sekitar 100 orang yang minta diperiksa malam itu. Dan itu berarti, gue harus memandangi seorang nenek yang tangannya mengangkat ke atas tanpa bisa diturunkan, dengan mata membelalak lebar, selama kurang lebih tiga jam sampai beliau diperiksa.

 

Setelah dites rontgen, urin, darah, dan dituduh hamil untuk ketiga kalinya, dokter menyimpulkan beliau tidak mengetahui penyakit yang diidap. Gue disarankan masuk rumah sakit dan besok diperiksa dokter spesialis. Gue menolak. Sakit hati dibilang hamil. Maka lima jam setelah masuk UGD dan terkontaminasi jutaan penyakit inovasi baru lainnya, gue pulang dengan tangan hampa.

 

UGD di Jakarta lebih gawat-darurat lagi. Lantaran demam setelah memberi ceramah di satu universitas negeri ini, gue memutuskan menuju rumah sakit terdekat, yang kebetulan adalah rumah sakit umum milik pemerintah. Ruang tunggunya penuh dengan pasien dengan penyakit paling eksentrik di Indonesia.

 

Dari pinggir pintu ruang periksa yang tidak ditutup, gue dapat melihat seorang pasien kecelakaan sedang diperiksa. Badannya penuh perban dengan rembesan darah. Setelah diberi pertolongan pertama, pasien itu segera ditandu untuk rawat inap. BU MARGARETA, panggil suster semenit setelahnya. Gue memasuki ruangan. Suster sedang mengelap jok ranjang periksa yang ternodai darah pasien sebelumnya.
“Diperiksa dulu, ya, silakan tiduran,” ujar dokter jaga menunjuk jok ranjang yang baru dilap.

“Ehhh..nggak usah dok, bener nggak usah diperiksa! Saya cuma demam! Kasih resep aja langsung!” Gue langsung panik. Membayangkan harus menempelkan kepala pada bercak darah yang belum mengering.

“Nggak apa, kok, biar jelas penyakitnya.” Sambil meringis gue menuruti si dokter, berusaha sedikit mengangkat kepala agar tidak terlalu menempel pada jok.

 

Belakangan seorang dokter keluarga yang praktik di rumah sakit tersebut menyarankan lain kali kalau sakit cari rumah sakit lain saja. Seperti dugaan gue, di rumah sakit itu banyak pasien berpenyakit istimewa yang sangat menular. Tempatnya juga kurang higienis. Salah-salah gue malah tertular penyakit aneh-aneh. Tapi gue sukses sembuh dengan obat lima macam seharga Rp 18.000. Itupun, bisa lebih murah kalau punya kartu jamkesmas.

 

Di ranjang UGD, gue tersenyum kecil, sesaat sebelum alat deteksi jantung pasien di sebelah gue berbunyi mengindikasikan ketidakberesan. Gue langsung duduk tegak dan berhadapan dengan seorang pasien yang sedang kesulitan nafas, dengan alat bantu pernafasan terpasang ketat di hidung.

 

Dokter! Mana Dokter! Gue mencari di sekeliling, dan mendapati dokter yang dicari sedang menganalisa sebuah foto X-Ray seorang anak yang dari kacamata orang awam saja jelas, mengalami patah tulang. Sesaat gue bertanya-tanya apakah gue akan bisa tersenyum kecil mengingat pemandangan ini, seperti kedua pengalaman UGD gue sebelumnya.

 

Gue tidak habis pikir. UGD, adalah pengalaman yang buruk. Alasan pertama, gue pasti ke UGD karena sakit. Kepala pusing, badan demam tinggi, kaki lunglai, tekanan darah rendah, pokoknya nggak enak. Alasan kedua, gue akan bersama dengan orang-orang yang sama sekali tidak enak dilihat, bahkan bisa dibilang, mengerikan kondisinya.

 

Tapi berada dalam UGD yang lain, gue mengingat pengalaman UGD lalu dan malah bisa tersenyum kecil. Seolah yang tersisa dalam ingatan hanyalah kesan unik yang cukup menarik untuk membekas dalam hati. Apakah manusia punya kemampuan menghapus ingatan yang buruk dan hanya mengekstrak ingatan yang baik saja dari sebuah pengalaman? Gue bertanya-tanya.

 

Secara kebetulan, momen demam tinggi gue adalah bersamaan dengan kembalinya kenangan dalam ujud lelaki yang bangkit dari kubur. Sepanjang ingatan gue, hubungan kami tidak berakhir begitu baik-baik, setidaknya dari kacamata gue. Abang XYZ bahkan merasa tidak perlu untuk menyatakan BUBAR saat sudah punya pacar baru. Hilang begitu saja.

 

Tapi ketika kembali bertemu, gue tidak menggampar dan menyumpah serapah. Gue bisa bersikap ramah, seolah tidak masalah Abang XYZ pernah membalas sms dua hari sekali, membatalkan janji pada H-20 menit, lalu memutuskan sepihak bahwa hubungan ini sudah tak bermasa depan setelah berpindah hati ke senior gue sendiri.

 

Feeling gue bilang, Abang XYZ, juga sudah lupa. Biasanya, kalau gue memperlakukan orang lain dengan begitu buruk, gue akan merasa malu dan tidak berani bertemu dengan orang tersebut hingga masa yang tidak ditentukan. Gue tidak akan punya nyali untuk kembali hadir menggoda.

 

Lebih parah lagi, Abang XYZ bahkan sudah lupa kalau beliau sudah memutuskan gue BERTAHUN-TAHUN yang lalu. Cukup kaget bahwa gue ternyata sudah punya pacar riil, bukan pacar bohongan dan kini punya titel EX-girlfriend. Beliau baru melakukan ritual penghapusan PIN BB (dua kali!), kemarin, sesuatu yang seharusnya dilakukan tiga tahun yang lalu, meski saat itu BB belum ‘in’.

 

Gue sampai merunut-runut, agar yakin, bahwa kronologis yang ada dalam benak gue adalah benar. Bahwa tahun di mana gue masih dengan sabar menanti sambil menulis blog, adalah benar terjadi. Bahwa mutual agreement tidak saling menghubungi adalah halusinasi XYZ saja. Tapi kalau versi gue yang benar, mengapa gue tidak berlaku seperti Oknum R, “Klo itu mantan gue, udah gue gampar-gamparin! Mumpung ketemu!”

 

Padahal menurut riset, perempuan lebih mudah mengingat pengalaman buruk, dan lebih mudah melupakan pengalaman baik. Itu sebabnya perempuan punya kebiasaan mengungkit-ungkit kesalahan pacar setiap kali ada masalah baru. Sedangkan lelaki, lebih mudah moving on, baik dari hal baik maupun buruk, sehingga bisa lebih fokus pada keadaan yang dihadapi.

 

Sungguh bertentangan dengan gue yang perempuan ini, yang justru tidak peduli Abang XYZ ada dalam BB gue atau tidak, atau sudah malas mengungkit-ungkit kesalahan tiga tahun lalu, karena bagi gue, sudah tidak penting lagi dan tidak akan membuat perubahan berarti. Yang gue ingat, bagaimanapun juga lelaki ini pernah menemani gue merutuki Singapura dan menginspirasi gue menulis blog.

 

Mungkin benar kata Mas Uda, bahwa teori tersebut hanya berlaku pada masa yang sedang berlangsung. Perempuan cenderung mudah mengingat hal buruk, tapi sekali hal buruk itu terlupakan, perempuan lebih sulit mengingatnya kembali. Berbeda dengan lelaki yang lebih mudah lupa, tapi ingatan terhadap hal baik maupun buruk selalu kembali setiap saat.

 

Gue mungkin suka mengungkit-ungkit dan tidak rela diputus, tiga tahun yang lalu. Tapi begitu lupa, gue sudah tidak peduli lagi dan moving on dengan bahagianya. Sedangkan Abang XYZ, mungkin cepat lupa (apalagi punya pacar baru), tapi tiga tahun kemudian ingatannya bolak balik, entah yang baik atau yang buruk…

 

Itulah sebabnya kisah guru killer di sekolah homogen gue dulu bisa terdengar begitu menggelegar. Gue dan teman-teman perempuan bisa trauma sambil bersumpah-sumpah tentang kegalakan si guru yang dasyat. Tapi begitu lulus, saat reuni, kita tertawa terbahak-bahak mengingat mendapat nilai minus 1/7 lantaran punya nilai 6/7 lalu dihukum tidak menulis nama lengkap.

 

Saat dikata-katai ‘cantik-catik tapi licik’, gue bisa keringat dingin sambil nyaris pingsan, tapi setelah lulus, bisa jadi panggilan yang selalu mengundang tawa sekaligus bangga, dibilang cantik sama guru matematik!

 

Gue kembali menatap ruangan gawat-darurat di sekitar gue. Gue ingat pernah merutuki rumah sakit lebih dari siapapun saat gue berada di dalamnya, bersumpah-sumpah tidak mau masuk rumah sakit lagi meski dibayar satu miliyar. Tapi kini, gue bisa senyum-senyum mengingat rumah sakit.

 

Mungkin memang benar kata sebuah status Facebook seorang kenalan, ada persamaan antara rumah sakit, dengan bad relationship, atau pengalaman buruk lainnya. Ada banyak hikmah yang bisa diingat, siapa yang membesuk, dokter yang pintar, suster yang ramah atau tetangga pasien yang gokil. But you definitely don’t want to return back there.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *