Untuk Semua nya nuhun…ini sbenernya nulisnya uda dimulai minggu lalu, tapi terdistract sama mas mantan yang numpang lewat di tengah minggu…lalu si bos dateng dari singapur..jadinya baru terpost skarang..tapi kondisi tetep sama kok..tetep ga punya mimpi…
Apa hubungannya film Laskar Pelangi dan Soulnation? Engga ada. Kecuali bahwa gue menonton yang satu setelah yang satunya lagi. Dan dengan menonton secara berurutan membuat gue mengambil hipotesis tentang mimpi: Yang meraih mimpi dan difilmkan itu adalah anak-anak di Laskar Pelangi, bukan yang nonton Soulnation.
Ini membuat gue sedih.
Pas nonton Laskar Pelangi, sebagaimana penonton yang baik, emosi gue mendukung sepenuhnya perjuangan anak-anak SD Muhamadiyah yang jadi protagonis. Tapi dalam hati, gue jadi gelisah mempertanyakan, mengapa ga ada anak SD PN timah yang jadi ngetop? Apa yang salah dengan system pendidikan yang dianggap ‘bagus’?
Maklum, demografi gue lebih mendekati penonton Soulnation daripada anak-anak Laskar Pelangi. Kalau gue boleh menempatkan diri dalam film tersebut, gue ga bakal jadi pemeran utama. Gue bakal jadi anak-anak SD PN Timah yang kalah cerdas cermat.
Sejak kecil gue, dan sebagian rakyat kelas menengah kota besar di Indonesia, bersekolah di sekolah yang ‘lumayanan’. Biarpun bukan termasuk SD unggulan, juga tidak pake AC dan berbahasa pengantar Inggris, setidaknya sekolah gue memiliki fasilitas yang cukup, dan muridnya pakai seragam yang bersih.
Teorinya, dengan fasilitas yang lebih baik dan guru-guru yang lebih banyak, gue atau teman-teman gue harusnya uda ada yang jadi ‘something’. Tapi nyatanya, disinilah gue, menulis blog dan bukan menulis bestseller; temen gue jadi pegawai kantoran bergaji 2 juta. Singkatnya, nasib kami tidak lebih baik daripada anak dari dusun terpencil yang rajin belajar lalu jadi juara Olympiade Fisika. Padahal, sperti sebuah pesan moril, jika dengan pendidikan yang minim aja seorang anak bisa meraih beasiswa, apalagi gue yang dididik oleh bukan Cuma satu tapi banyak guru yang berdedikasi tinggi. Harusnya beasiswa gue 200%.
Gue lalu melakukan flashback ke 12 tahun silam, mencari apa yang salah dengan gue, dan menemukan…bahwa…Gue bisa aja mendapatkan apa yang gue cita-citakan dengan modal yang ada, tapi…gue ga akan meraih yang lebih dari teman-teman gue di SD daerah yg kecil karena…gue emang ga pernah mengharapkan lebih dari apa yang mereka cita-citakan.
Ketika anak-anak itu bermimpi jadi dokter, gue juga Cuma bermimpi jadi dokter saja. Bukan dokter yang menemukan vaksinasi baru atau mendirikan rumah sakit sendiri. Ketika mereka mimpi jadi insinyur, gue juga Cuma mimpi jadi insinyur, saja, titik. Bukan insinyur yang bikin bangunan bisa jalan sendiri.
Bedanya, untuk mereka, menjadi dokter itu mimpi, sedangkan buat gue, semua cita-cita itu rencana. Ketika seseorang dari daerah pelosok Papua ingin menjadi dokter, ada begitu banyak halangan yang muncul. Membayangkan si anak ini meneruskan sekolah sampai SMA lalu lulus seleksi kedokteran UI adalah kisah 1 banding 1000. Karena segala kemustahilan inilah maka keinginan menjadi dokter itu tepat disebut mimpi.
Tapi adalah wajar bagi seorang anak lulusan sekolah terbaik di Indonesia untuk masuk fakultas kedokteran dan jadi spesialis. Segala tahap-tahap pendidikan telah dipersiapkan ke arah sana. Semuanya dalam batas jangkauan tangan manusia. Uang, fasilitas, kemampuan memang ada. Makanya cita-cita ini lebih mirip rencana daripada mimpi. Jadi…gue ga bisa meraih mimpi karena gue emang ga pernah mimpi!
Gue lalu bertanya-tanya, kok bisa sih gue ga punya mimpi? Sebagai anak muda jaman sekarang, tentunya gue kurang suka menyalahkan diri sendiri. Ini pasti salah sistemnya! Semua sekolah memang mengajarkan kita untuk menggantung cita-cita setinggi langit, tapi dalam prakteknya, seringkali Cuma jadi jargon semata.
Gue inget pertama kali punya cita-cita. Gara-gara suka banget Lima Sekawan, gue bercita-cita jadi Enyd Blyton, penulis kawakan yg dikenal seluruh dunia. Tapi terus gue masuk SD dan belajar bahwa menjadi penulis itu adalah profesi yang non-profit banget. Idealis dan anti kemapanan.
Lalu gue pun mengganti cita-cita gue jadi: PENGUSAHA. Ternyata setelah mengeyam pendidikan 6 taon, gue menyadari bahwa Cuma 1 banding 1000 yang bisa jadi pengusaha sukses, sisanya bangkrut. Yang satu itu pun biasanya turunan Lim Siew Liong atau Mochtar Riyadi. Menyadari latar belakang keluarga yang ga punya perusahaan untuk diwariskan, dan kemampuan dagang yg kurang Cina, gue kembali menegosiasikan cita-cita gue…jadi insinyur aja deh! Gampang! Pasti kesampean asal bisa masuk IPA!
Mungkin kondisi inilah yang membedakan gue dengan anak-anak didikan Ibu Muslimah. Meski tanpa sumber daya, ga pernah si ibu guru meremehkan anak muridnya sendiri. Mereka dipacu to dream the impossible, dan menghargai kemampuan diri.
Sedangkan pendidikan gue banyak tapi-nya…gantungkan cita-cita setinggi bintang…TAPI…jangan lupa realitas…kamu itu biasa ajah…atao…cita-cita sih boleh, tapi jaman gini mana bisa klo ga punya duit…atau…Makin tinggi pohon jatuhnya makin sakit loh…kalau gagal masa uda diskolahin cape-cape mentok disitu?
Bukan Cuma dari system pendidikan, hidup gue juga mungkin ga dikondisikan untuk berani ngimpi. Liat aja Soulnation. Humphh…biasanya mungkin gue ga akan mikir gitu, secara, kemungkinan besar gue akan jadi bagian dari yang nonton, dandan all-out dan ajojing dengan teman-teman.
Tapi hari itu gue bukan si ibu editor yang slalu pake blazer dan stiletto matching. Gue lagi jadi si janda miskin dan anak terlantar: Wartawan kumal yang masuk gratis. Dengan spatu teplek dan muka keringetan, gue bgitu kontras dengan penonton Ashanti. Gue lebih cocok berada di luar; bersama dengan calo karcis dan preman parkiran.
Dan melihat kaum gue yang kini bersebrangan dengan gue itu…gue bercermin…alangkah menyenangkannya hidup gue! Mampu membayar 500ribu rupiah untuk semalam penuh gemerlap, tata cahaya dan sound system…Mata dimanjakan si montok Ashanti…dancers yang asoy geboy…Why would I want to dream if I live in a dream? Ain’t it way too risky to pursue a dream and find myself stuck in a condition way below what I had before?
Life has been too easy for me. Dengan fasilitas yang tersedia, gue hidup di tengah sajian mimpi yang melenakan gue dan membuat gue lupa untuk mikirin mimpi gue sendiri. Gue ga tau yang lain, kalau gue sih akhirnya jadi ‘males’ mimpi macem-macem. Daripada kehilangan idup yang cukup menyenangkan ini, mending ga usa neko-neko mempertaruhkan segalanya demi meraih cita-cita.
Sedangkan buat orang-orang yang kondisinya jauh lebih sulit, there’s nothing to lose. Idup yang sekarang uda susah, mau usaha mati-matian, mungkin bisa maju, kalau ga ya uda, ga bisa lebih buruk dari ini. That’s why…mungkin…mungkin saja…justru mereka yang berani mimpi…
Tapi…apa gue sudi tukeran tempat dan menjadi orang yang dididik untuk mimpi dan mewujudkannya?
Humpphh…Sedih sih…but I’m a big city girl.. Pas di Laos banyak temen gue yang bisa menemukan jati diri di tengah komunitas komunis yang ga masuk listrik. Menarik sih, tapi gue lebih menemukan kebahagiaan ketika kabur nyebrang sungai Mekong untuk shopping di Thailand. Gue lahir, hidup dan bernafas dalam music top 40 yang menandakan penjajahan budaya, mall yang mendukung konsumerisme, dan budaya hura-hura hedonisme. Pokoknya semua yang gue cela-cela telah membuat gue ga bisa mimpi, boro-boro mewujudkannya. Tapi itulah hidup gue dan at least, gue mensyukuri apa yang gue miliki sekarang daripada terus berkeluh kesah mencela-cela.
Lagipula, mengingat cerita kesulitan dan penderitaan di muka bumi ini, rasanya gue ga akan keberatan jika mereka jadi lebih sukses dari gue. They struggle harder, so I guess they deserve it… J