Akhir2 ini gue punya aktivitas baru. Selepas jaga pameran poto di museum tengah kota, gue akan melancong ke perpustakaan terdekat guna membaca Jakarta Post, berharap bisa mengejar pengetahuan umum gue agar tidak malu2in banget dalam tes masuk jadi jurnalis sebuah kantor berita ibukota. Meski ternyata sistem kebut seminggu itu terbukti tidak efektif, gue tetap mendapat hikmah, memahami fungsi baru dan utama sebuah perpustakaan: tempat pacaran.
Yap ! Setelah taman kota dan WC umum, nampaknya perpustakaan juga makin populer sebagai tempat melaksanakan aktivitas permesuman. Mengapa tidak ? Iringan denting2 piano yang terdengar sayup2, AC yang dipasang kenceng guna menjaga buku2 tidak berjamur, dan lampu remang2 romantis menjurus sangat mendukung perpustakaan sebagai tempat indehoi paling asoy. Belum lagi aroma buku2 tua yang bisa menambah kesan intelektual pada pasangan.
Tidak heran ketika gue lagi sibuk menghafal nama2 calon gubenur Sumatra Utara, ada tiga pasang kekasih sedang bercinta2an di sekitar gue. Ketiganya sama-sama baru pulang sekolah nampaknya, dengan seragam masih melekat di badan (herannya masih bisa melekat di badan!), sama-sama hot dan sama-sama tidak peduli sekitar. Makin seru gue plototin, makin seru juga tangan mereka saling menyelip dan melibat sana-sini, nyaris ga kliatan lagi telapaknya. Dan dengan pemandangan demikian, bisa diramalkan bahwa gue segera lupa tugas utama gue, apalgi nama calon gubenur Sumatra Utara yang mendapatkan voting terbanyak berdasarkan quick count.
Naluri gue langsung mengarah kepada kamera yang slalu gue tenteng dimana-mana. Dengan hati-hati gue membidik pemandangan 17 tahun keatas ini. Tidak ada dari ketiga pasangan itu yang nyadar. Justru malah petugas perpustakaan yang menangkap penampilan kamera segede gaban gue, dan segera menegur, âMiss, you cannot take picture in the library, please delete what youâve taken…â
Arrghh..kenapa sih..kenapa sih? Ituu nooohhh tegor yang lagi pacaran! Mentang-mentang ga melanggar hak cipta ga digubris! Tapi sebagai anak yang sering sekali dilarang ngambil foto, gue tau lebih baik daripada berdebat dan didenda di Singapura. Jadi dengan manisnya gue tersenyum dan menyarungkan kamera gue. Hilang satu picture of the month.
Padahal foto tersebut akan melengkapi koleksi foto-foto gue. Selama beberapa lama ini, gue emang sibuk menyantronin tempat-tempat berpacaran paling ahoy seperti halte bus, taman umum, kendaraan umum, kafe mojok, untuk mendokumentasikan kelakuan âanak muda jaman sekarangâ itu.
Semua ini berawal dari keempetan ibu tercinta melihat pasangan-pasangan yang secara bebas dan terbuka meluapkan gairah dan nafsunya di tempat umum. Nasib membawa kami suatu sore untuk duduk berdampingan dengan sejoli yang sedang asyik berkasih-kasihan di sebuah halte bus. Seolah-olah halte milik mereka berdua dan yang lain ngontrak, mereka duduk pangku-pangkuan, dengan mulut tak lepas dari anggota tubuh pasangannya. Kehadiran nyokap gue disitu tidak menyurutkan gairah mereka. Malah makin lama makin asik aja mereka ber-french kiss ria, necking, grepe-grepe…
âIhh..jadi eneg, mending cakep…â begitu kata nyokap gue dengan tampang jijik. Dan setelah 30 menit menjadi penonton tidak suka rela karena bus yang kami nanti tak kunjung datang, nyokap gue kembali harus disuguhi adegan mesra ketika penumpang bus dihadapan kami…juga lagi ber PDA!
Sebenernya gue uda cukup kebal dengan pemandangan seperti ini, bahkan terkadang gue menemukan adegan tersebut cukup menghibur. Ketika gue tingkat 1, gue dan teman sekamar gue sangat gemar akan menyetrika di tempat setrika umum, meski kami punya setrika pribadi. Alasannya, letak kamar setrika di asrama kami itu sangat kondusif, dengan jendela menghadap ke arah kamar salah seorang rekan sebangsa. Biasanya kita bisa mengamati rekan sebangsa itu ngejemur baju, sambil pinggang dan lain-lainnya dipeluk sama pacarnya. âAhh..kamu..â begitu dia menghindar manja, sambil tertawa geli ketika sang pacar membisikkan sesuatu ke telinganya. Sangking asiknya, kami kadang sering lupa tujuan awal, menggosok bagian baju yang sama berkali-kali, hingga tangan sering keselomot ujung setrikaan. Jederr! Biasanya gue bakal melompat kaget, mengalihkan perhatian gue ke kerah semi garing baju gue, dan ketika gue kembali focus keluar jendela, pasangan itu sudah hilang, dengan pintu kamar terkunci rapat…
Tetapi dengan nyokap yang mengingatkan secara continual agar gue tidak melakukan hal yang sama jika berpacaran nanti, gue jadi akhirnya ikut terganggu, dan dengan munafiknya berkata, âiya mam! Tauk tuh, orang sini emang pada ga bermoral…â Lalu sambil geleng-geleng kepala mengeluarkan tampang pura-pura prihatin dan muak.
Hal inilah yang kemudian membuat nyokap gue mengeluarkan mandat untuk gue mengumpulkan foto-foto PDA, demi menunjukkan betapa minimnya moralitas di Singapura. Dan apa yang pertamanya hanyalah uji nyali buat gue, berakhir dengan gue berkata, âguys, come on, get a room!â dari lubuk hati yang terdalam.
Coba bayangkan setting sebuah taman kecil ditengah mall besar ibukota yang dilengkapi dengan air mancur ditengahnya. Dan ditengah-tengah kolam air mancur itu, ada sepasang remaja sedang asik berciuman, basah-basahan, persis kayak di film India. Belum puas, setelah keluar dari kolam yang harusnya untuk mempercantik mall, mereka berguling-guling di rerumputan, dengan baju super transparan karena total basah.
Kalau ini terjadi di Amerika, mungkin gue Cuma bakal nengok dikit dan bilang, âohh…ada yang lagi pacaran tho…â tapi ini terjadi di Singapura, Asia tenggara, 45 menit dari Batam, Indonesia, 30 menit dari Johor Baru, Malaysia. Dan disaat gue lagi menonton replica âoh my darling I love youâ buatan Bombay itu, gue jadi terngiang2 kata-kata PM singapura, âKita ini Negara Asia, segala nilai-nilai barat itu tidak sesuai dengan nilai-nilai Asia…dan akan membuat kekacauan jika diterapkan disini…â
Singapura adalah sebuah Negara yang selalu bangga dengan kemampuannya menjadi negara maha modern tapi dengan tetap mempertahankan nilai luhur bangsa Asia. Tapi jika moralitas, dan sense of community sering diidentikan dengan Asian Values, dan individualisme (ga peduli orang lain mau liat apa kagak), freedom of expression (aku cinta kamuuu..mmuach!) diidentikan dengan PDA, maka bolehlah gue bertanya2, di Negara Asia dengan tingkat PDA sangat tinggi ini, MANAAA ASIAN VALUENYAAA…
Maksudnya, ya udalah yang terjadi di balik pintu kamar itu risiko masing2, tapi harus yah gue menjadi saksi percintaan kalian semua? Harus yah gue ikutan dewasa secara kilat? Gue kemudian protes kepada teman-teman sesama Asia, warga negara Singapura. Tetapi biasanya tanggapannya tidak menjawab pertanyaan, seperti:
1. âga semua orang beruntung punya single room yang ga diawasin kayak loe…â
2. âKenyataan bahwa mereka memilih go public, ga di rumah, menunjukkan mereka masi menghormati orang tua mereka…â
3. âAhh..normal kok, mana yang salah? Ga ada yang salah…namanya juga orang pacaran, wajar kan klo mesra dikitâ lalu kalau gue mulai mengeluarkan koleksi gue, salah satunya adalah gambar seorang cewe sedang bersandar secara strategis kepada cowonya, dengan tangan cowonya menekan tubuh pasangannya di MRT, dia lalu berkata, âahhh..iya, that one yaa…â
Apakah ini tanda-tanda modernisasi? Perkembangan jaman ? Kalahnya Asian values vs err..entah values sapa ini ? Sungguh misteri ! Sekadar catatan, Singapura melarang hubungan seks di tempat yang bisa terlihat publik, tapi karena rancunya definis seks, nampaknya pemerintah harus menutup mata terhadap adegan X rating di taman presiden. Juga sekadar catatan, polisi Singapura melarang remaja untuk berkeliaran selepas tengah malam, tapi tidak berdaya menghadapi remaja yang keluyuran di hotel transit sebelum tengah malam.
Dan jika benar ini adalah bagian dari globalisasi yang menyergap hampir semua kota besar, bukan tidak mungkin pemandangan serupa akan mewarnai hari-hari kota Jakarta, meski pembakaran majalah Playboy dan pemboikotan artis dangdut kian marak.
Apalagi di Jakarta tempat-tempat kondusifnya lebih mendukung. Perpustakaan misalnya, perpustakaan di Jakarta biasanya lebih gelap, lebih lembab, lebih sepi. Balai Pustaka, yang gosipnya adalah salah satu perpustakan terlengkap di Jakarta, penuh dengan rak-rak yang secara natural menyediakan bilik-bilik privat. Ditambah dengan mbak-mbak pustakawatinya yang lebih tertarik ngerumpi daripada ngider di antara rak-rak buku demi membantu mencarikan buku. Tentunya jika dikembangkan, Balai Pustaka bisa menjadi tempat pacaran yang lebih berkualitas dibandingkan Esplanade Library yang agak terlalu terang itu.
Tapi mungkin dengan kenyataan bahwa gue, orang Indonesia produk asli modernisme ini masi bisa ngerasa risih dan perlu membela diri di depan nyokap, menandakan bahwa masi ada sedikitttt yang membedakan gue dengan orang bule. Tapi itu juga dengan catatan, gue ga janji klo gue punya pacar, perbedaan itu ga jadi lunturâ¦
Ps : beberapa foto PDA tersebut bisa ditemukan di bagian Photoâ¦gak semua tapi, ntar website ini dikategorikan sebagai website bokep dan dihilangkan keberadaannya dari dunia maya