Setiap tahunnya menjelang masa natal, sebagai anak bapak yang baik, gue akan mendatangi Gereja, berlutut, berefleksi, dan mengakui dosa-dosa gue dihadapan Pastor.
Setiap tahunnya menjelang masa natal sejak pubertas, gue akan menyatakan:
Saya berdosa, dalam pikiran dan perkataan, dalam perbuatan dan kelalaian, khususnya bahwa saya telah: Berbohong pada orang tua (Alhamdullilah bagian ini sudah hilang tahun ini), bergosip, membicarakan kejelekkan orang lain, suka mencela dan menyakiti orang lain dengan ucapan saya….
Setiap tahunnya menjelang masa natal. Di Gereja yang sama, pada Pastor yang sama, selama 4 tahun, hingga akhirnya Sang Pastor bertanya, anakku, mengapa engkau mengulangi dosa yang sama setiap tahunnya? Waspadalah terhadap setan yang selalu menjerumuskan engkau pada lubang yang sama.
Dan gue menjawab, saya sudah berusaha pastor, tetapi sulit…Lalu seperti pada tahun sebelumnya, si Pastor akan menasihati gue untuk tidak menyerah berusaha, memberi gue pengampunan dan membiarkan gue pergi dalam damai.
Kurang dari 24 jam dari pengakuan dosa itu, gue terlibat dalam sebuah pembicaraan di MSN:
“Eh..eh..si X putus ya?”
“ahh, masa sih? Kemarin gue denger masih baik-baik aja tuh”
“Coba aja loe liat Facebooknya, statusnya single, trus loe liat dong wall-nya..”
“tunggu bentar, gue buka dulu…ehhh..iya bener! Tuu kan! Feeling gue tepat! Dia memang bukan pria yang tepat untuk si X!”
“Ga, Gy, feeling loe ga bilang gitu, loe cuma bilang pacarnya udik!”
“Ehh..itu bukan feeling, tapi fakta!”
Dalam hati gue mengucap, ampuni saya Tuhan…aku hanyalah manusia yang lemah…Lalu lanjut dengan topik gossip berikutnya.
Gue sukaaa sekali gossip. Bagi gue, gossip itu bukan sekadar hobi, tetapi sebuah kebutuhan yang hakiki. Jika satuuuu hari aja ga ngomongin orang, hidup gue langsung terasa hampa, badan pegel-pegel, dan perasaan gue langsung ga enak.
Sebaliknya, ketika gue sedang stress berat, hati galau, pikiran kalut, cukup dengan bergunjing, perasaan gue langsung plong lagi! Ada sebuah kenikmatan yang tak terlukiskan yang muncul ketika gue mencela-cela si objek gossip tanpa belas kasihan. Dianugrahi lidah yang (mengutip mantan pacar) setajam silet, melarang gue bergosip sama seperti melarang berjalan orang yang berkaki sehat.
Gue yakin gue ga sendirian dalam hal ini. Dalam sebuah survey yang diadakan di Inggris bulan ini, ditunjukkan bahwa mayoritas perempuan lebih memilih gossip daripada seks sebagai hiburan gratis favorit. Di sebuah survey lainnya, masyarakat lebih membutuhkan akses online social networking (macamnya facebook dan messenger) daripada pasangan seksual. Hal ini menunjukkan, bahwa seseorang lebih bisa tahan hidup tanpa seks daripada hidup tanpa bergunjing.
Meski hal itu membuat gue meragukan sample survey tersebut, ini yang disurvey anak umur 13 tahun smua apa ya? Tapi survey ini telah menunjukkan bahwa gossip adalah sebuah kebutuhan, bahkan lebih primer daripada kebutuhan seksual. Sebuah hal yang bisa dimaklumi karena tidak seperti seks, gossip adalah hiburan murah meriah yang bisa didapatkan dimana saja, dari siapa saja, kapan saja diinginkan. Mulai dari artis, teman, pacar teman, mantan pacar teman, rekan kerja, boss, bawahan, semua bisa digosipin! Juga gosip bisa dilakukan dimana saja, baik jalur darat (salon, ruang rapat, kelas, fitness centre), telepon maupun online.
Dengan fakta ini, dan kenyataan bahwa gue sangat..sangattt menikmati gossip, gue jadi mempertanyakan, sejahat itukah gossip? Haruskah penggosip dihina dan dicerca dan diceburkan dalam api neraka?
Gue jadi inget semasa kuliah kelas filsafat dulu berkenalan dengan tokoh filsuf bernama Friedrich Nietzsche. Si Oom Nietzsche ini pada intinya mempertanyakan moralitas. Bagaimana sesuatu itu menjadi baik atau buruk? Dan bagaimana pandangan tentang hal yang baik dan buruk ini dikukuhkan dalam norma yang jarang dipertanyakan. Padahal, jika kita balik sedikit, sesuatu yang buruk itu belum tentu buruk.
Nietzsche bilang moralitas itu diciptakan oleh kaum yang lemah agar bisa mengalahkan kaum yang kuat. Di masa sekarang, kuat dan kaya itu ga boleh menindas yang lemah, karena yang lemah itu..baik. Padahal, emang salah ya jadi kuat? Bukannya kuat itu hal yang baik adanya dan perlu mendapat penghargaan atas kekuatan yang dicapainya itu? Gara-gara aturan absolut ini, orang yang mempunyai kelebihan akhirnya memilih untuk mengingkari anugrah natural yang didapatkannya, karena tidak mau dianggap buruk. Nietzsche hobi banget mengkritik agama dan moralitas tradisional.
Urusan gue tidak sebesar agama atau konstruksi dunia. Urusan gue yang paling penting Cuma..gosip! Dari dulu gossip dianggap buruk dan salah. Makanya gue harus ngaku dosa sehabis bergunjing. Makanya dulu ada rencanya melarang tayang infotainment (yang tentunya sebagai hiburan primer gue, slalu gue tonton dari pagi hingga sore).
Tapi ga ada yang pernah mempertanyakan, emangnya kenapa gosip itu salah? Ada yang bilang karena hal tersebut bisa menyakiti hati orang yang diomongin. Tentunya ini merupakan jawaban yang sangat lemah. Si orang yang diomongin itu Cuma sakit hati kalau…dia tahu bahwa dia diomongin! Lalu gue mengambil posisi sebagai objek gosip. Gue ga keberatan tuh. Kalau gosipnya salah, ya diluruskan…kalau ga ada yang percaya..ya sudah berarti bukan temen baik gue..kalau gosipnya benar, ya gue pantas malu!
Ada juga yang bilang, bahwa menyebarkan kabar bohong tentang seseorang bisa mengubah pandangan orang lain terhadap seorang ini. Tetapi ini berarti bukan gossip, melainkan fitnah. Ini juga menandakan bahwa definisi gosip telah tercemar, tidak lagi objektif. Dari sejuta definisi gossip di blog yang berkonotasi negatif (misal: gosip itu NGOMONGIN ORANG YG JELEK2 ATAU BUKAN FAKTA ALIAS MELEBIH- LEBIHKAN, atau berita yang saling diceritakan oleh banyak orang karena faktor ketidak tahuan atau dengan tujuan menimbulkan kekacauan dan rasa takut tanpa memperhatikan benar tidaknya ucapan atau berita tersebut), gue memilih definisi yang lebih netral: gosip adalah membicarakan sesuatu atau orang lain, entah itu membicarakan keburukan maupun kebaikan orang lain.
Harus diakui, gosip memang lebih banyak tentang hal yang buruk, tapi kembali lagi pada metode Nietzsche, bukankah lemah/salah/buruk itu sifat yang inferior? Lha kalau emang bikin salah, pantaslah dihukum dengan stigma dan pembicaraan masyarakat, masa dosanya malah pindah ke masyarakat?
Dengan stigma buruk yang melekat, manusia lalu memendam naluri bergosipnya. Padahal mungkin gosip itu adalah satu manifestasi dari sifat natural manusia sebagai makluk social. Pernahkah kita sadari bahwa sebenarnya semua orang itu bergosip? Jurnalis hidup lewat berita. Ekonom, sosiolog, politikus, antropolog, filsuf, semuanya suka memberi social commentary. Gue juga hidup dari bergosip. Setiap hari gue digaji untuk menulis headlines yang sangat bitchy ketika mengomentari gosip artis terbaru.
Gosip adalah alat bersosialisasi. Kita hidup dalam masyarakat. Kita membuat takaran hidup dengan membandingkan diri kita dengan manusia di sekitar kita. Gosip menjadi salah satu cara kita melihat posisi kita di masyarakat berbanding dengan manusia di sekitar kita.
Bukan Cuma itu, gosip adalah alat untuk terus mengikuti perkembangan orang lain yang bisa menimbulkan rasa kebersamaan dalam komunitas. Karena saya kenal kamu. Juga dalam menjalin hubungan, sangat penting untuk memiliki topik bersama. Kadang, topic itu tidak selalu berwujud kegemaran bersama atau benda mati, tapi terkadang juga manusia, yang kemudian disebut gosip. Teringat Oknum R yang di masa kuliah sangat popular karena selalu up-to-date dalam hal gossip mahasiswa NTU. Istilahnya, kalau mau tahu tentang anak NTU, cari Oknum R aja…
Ini baru gosip…Ada sekian ratus sekian juta lagi hal dan sifat yang dianggap buruk, jelek, salah. Gue ga bilang bahwa semua norma itu harus dibalik sih. Aturan memang dibuat baik adanya, tapi seringkali ditelan bulat-bulat, tanpa melihat konteks dan latar belakang. Menerima semua norma secara absolut Cuma bikin hidup jadi kosong (macamnya hidup tanpa gosip…). Hanya dengan terus menerus mempertanyakan norma-norma yang telah dibuat, kita bisa menjadikannya relevan dan berguna untuk kehidupan.
Jika hal sehina gosip aja punya nilai objektif, nampaknya sekian ratus sekian juta hal dan sifat yang lain juga berhak dilihat sisi lainnya. Dan tentunya, alangkah indahnya jika objektivitas bisa diterapkan dalam hal..bergosip!