Gue Juga Pribumi

“Pak! Bagi stikernya dong, satu!” Gue memanggil dari balik kaca mobil yang gue turunkan separoh. Pria berkopiah berjaket majlis yang sedang membagikan stiker ‘pribumi’ warna ijo di bilangan Kelapa Gading, melirik, lalu menggelengkan kepalanya.

 

“Loh kenapa? Saya kan pribumi!” gue ngotot, sambil mengendarai mobil dengan kecepatan rendah membuntuti si Bapak. Ia kembali melirik, melihat wajah sipit hidung pesek kulit koneng, dengan rambut highlight loreng bak harimau Sumatera yang sudah hampir punah.  Ia menggumam-gumam, nggak..nggak..bu…

 

“Dasar pelit! Biarin, saya cetak sendiri stikernya!”  Gue memaki lalu meninggalkan si Bapak yang melongo heran. Mungkin kaget, mendapat cacian yang biasanya lebih sering dilemparkan pada orang-orang berwajah seperti gue daripada dirinya.

Dan itulah yang kemudian gue lakukan dengan teman-teman seangkatan. Mencetak stiker SAYA JUGA PRIBUMI, dan foto narsis seperti para peserta demo 313. Mungkin ini, puncak kemuakan gue terhadap upaya mengembalikan Indonesia kayak barang pecah belah. Dan keyakinan bahwa satu-satunya cara memerangi, adalah menyatakan dengan gamblang bahwa gue tidak menyetujui istilah salah kaprah ini.

 

Akhir-akhir ini gue semakin sering mendengar kata PRIBUMI. Sebuah istilah kuno yang dibuat di jaman Belanda guna memastikan Indonesia tidak bersatu menjadi negara yang kuat dan merdeka. Istilah yang berbuntut pembantaian, pemerkosaan massal hampir 20 tahun yang lalu.

 

Istilah, yang, sejak Gus Dur jadi presiden mulai sedikit demi sedikit berkurang pemakaiannya hingga hampir tidak mudah diingat lagi. Mereka yang menyebutnya perlahan mulai punya rasa malu, gengsi dicap rasis, lalu menggantinya dengan istilah lain.

 

Lalu tiba-tiba, karena ada yang kepengen banget jadi gubernur, istilah ini dipopulerkan lagi. Mau temanya Gubernur Muslim kek, turunkan sembako kek, buntut-buntutnya PRI-NONPRI lagi. Mereka yang merasa punya hak menyebut dirinya pribumi, muncul dengan bangga, kembali mengata-ngatai.

 

Seperti di masa-masa sebelumnya, orang-orang diam saja. Yang merasa dirinya pribumi, merasa tidak dirugikan, lalu cari aman, diem saja. Yang merasa tersindir karena dulu dianggap nonpri, diam saja, karena takut, nanti dibully, lalu diapa-apain.

 

Padahal, diam, entah karena takut atau karena cari aman, adalah sebuah bentuk pembiaran. Tidak pernah ada orang salah, kemudian bertobat karena dibiarkan begitu saja. Yang ada makin menjadi-jadi. Dalam hal ini, puncaknya, adalah PRIBUMI literally muncul sebagai LABEL, yang ditempelkan hanya pada kalangan etnis tertentu.

 

I’m done being called nonpri, pendatang, ASENG, dan cap-cap lain yang menyatakan gue bukan bagian yang sah dari bangsa ini. Memangnya manggis negara mana yang mati-matian gue promosikan di Perancis hingga jadi produk nomor satu? Memangnya nama negara mana yang gue kibar-kibarkan ketika sekolah di Singapura? Siapa elu, berani-beraninya bilang gue bukan orang Indonesia sejati?

 

Itulah sebabnya gue minta stiker hari itu, lalu ketika nggak dikasi nyetak sendiri. Bukan karena sekadar pengen ikut-ikutan dan malah menyebarkan judul itu lebih jauh lagi. Kalau artinya apa, oh, sebuku tuh udah gue tulis mempertanyakan diskriminasi ras. Tulisan tentang arti pribumi juga banyak dan sah semuanya.

 

Sebaliknya, gue ingin mempertanyakan, atas alasan apa label PRIBUMI ditempelkan? Yang dengan bangga foto di socmed dengan tulisan itu tau nggak artinya apa? Yang bagi-bagiin ngerti nggak tujuan stiker ini dicetak mahal-mahal apa?

 

Hasilnya, seperti di Kelapa Gading dan di socmed, ternyata tidak terlalu banyak yang ngotot salah. Proporsi dukungan dan cacian sekitar 3:1. Bagi yang biasanya koar-koar bantai Cina juga diam saja.

 

Tentu saja masih ada yang nyinyir. Seperti @toko_frada yang menulis di IG seorang teman ‘Bukan… lu cina”. Tapi untuk orang-orang ini gue selalu bisa menjawab ‘lu juga bukan… because you’re just an asshole’.

 

Dan gue mengajak teman-teman gue yang lain untuk melawan ketakutan yang muncul, ketika melawan diskriminasi. Gue paham banget, gimana rasanya takut mobil gue diganyang ketika minta stiker. Atau pedihnya dihujat, pas gue pasang foto di FB.

 

Tapi apa yang akan terjadi jika gue diam saja akan lebih mengerikan. Pembiaran terhadap istilah pri-nonpri dengan kebencian yang menumpuklah yang membuat ratusan mobil diganyang, dibakar, pemiliknya dibinasakan di tahun 1998.

 

Gue juga ingin mengajak teman-teman gue yang merasa ‘aman’ dan tidak tersentuh isu ini untuk ikut melawan juga. Karena pewajaran oleh kaum ‘mayoritas’ lah yang menggiring pemusnahan masal jutaan orang Yahudi di Jerman dan kemunduran Jerman setelah kekalahannya di Perang Dunia 2.

 

Melihat kisah Suriah, sudah tidak ada lagi pihak yang diuntungkan ketika sebuah kota yang indah berubah menjadi medan perang. Mayoritas, maupun minoritas, semuanya sudah melebur hancur dan harus mengungsi. Siapapun di dalamnya hidup dalam ketakutan.

 

Itulah sebabnya gue berkata sekarang ‘STAND UP!’ Lawan diskriminasi bahkan jika itu bukan urusan kamu. Karena stiker PRIBUMI itu milik semua orang Indonesia yang telah memilih kewarganegaraan Indonesia, terlepas dari suku, agama, ras, bibit bebet bobotnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *