Happy New Year Singapura!

“Kayaknya ini bakal jadi tahun baru pertama di Singapura yang ujan,” seorang teman berkomentar.
“Nggak mungkin!” Gue menjawab mantab.
“Gimana nggak mungkin, ini model ujan yang nggak bakal berenti gitu, lho.”
“Kalian kok pada nggak percaya sama pemerintah Singapur sih? Gue yakin, ujan bakal berenti sebelum perayaan tahun baru dimulai!”
“Masa sih pemerintah Singapur bisa ngatur ujan? Ini alam gitu loh!”
“Yee.. Loe kayak baru tinggal di Singapur taon kemaren, mana pernah Singapur itu tidak terkendali! Bencana alam aja jarang!”

Tahun ular yang akhirnya datang itu mengingatkan gue pada sebuah percakapan di sebuah sore, pukul 4 tanggal 31 Desember 2012. Gue bersama ketiga teman sedang duduk ngupi-ngupi cantik di sebuah kafe sambil menatap hujan yang turun membandel di Singapur sejak pukul 2 siang tadi. Teman-teman yakin, ini bakal jadi tahun baru kelabu Singapura, di mana akhirnya, alam menunjukkan kekuatannya yang sejati.

Tapi pengalaman tinggal 4 tahun di Singapura yang sempurna membuat gue yakin, bahwa pemerintah Singapura tidak akan membiarkan di satu hari di mana Singapura dimuat di koran internasional, paragrafnya akan seperti ini:
Di Sidney, perayaan tahun baru berlangsung meriah dengan kembang api di hadapan Opera House. Di Jakarta, biarpun semrawut, desek-desekan sambil bunuh-bunuhan, perayaan tahun baru berlangsung semarak. Di Singapura, kembang api tahun baru dibatalkan karena hujan.

No…no..no.. This is just not gonna happen. Singapura tidak akan membiarkan hujan menghancurkan perayaan tahun baru yang sudah sold out dijual ke turis Indonesia dan mengambil risiko bahwa perayaan tahun baru 2014 bakal kurang laku karena banyak yang bilang, ‘ga asik ah taon baruan di Singapur, sering ujan!’

Sekitar pukul 9 malam kurang dikit, hujan ternyata masih membandel. Teman-teman gue sudah mulai senyum kemenangan, menandakan bahwa konspirasi politik gue ternyata tidak valid.

Sekitar pukul 10 malam, ujan berenti. Langit cerah. Perayaan kembang api pada pk 12.00 berlangsung meriah. Hujan baru turun lagi menjelang subuh.

“Tuuuu kannn!!! Apa gue bilang! Percayalah sama PAP! They know the best!!” Gue tersenyum penuh kemenangan sambil menyebut partai mayoritas di Singapura, yang punya lama kuasa dan total persentase mirip Golkar di Jaman Orba.
“Iya deh…bener.. Tapi gila juga ya, masa ujan aja bisa diatur sih?” teman mengaku kalah namun kagum.

Gue senyum-senyum kecil. Kuncinya hanya sedikit riset untuk menang dalam taruhan kali ini. Seolah hidup itu memang tidak adil, tidak pernah sekalipun kegiatan penting Singapura diganggu oleh hujan. Coba saja hitung, berapa kali National Day Parade, perayaan kembang api ulang tahun Singapura diguyur hujan! Satu kali. Gue yakin, itu di masa Singapura baru melepaskan diri dari Malaysia. Mungkin pawang ujan dari Pahang, Penang dan Johor dikerahkan guna membubarkan perayaan kemerdekaan.

Gue tidak tahu sekarang, tapi selama empat tahun di Singapura (2004-2008), gue membuat pengamatan: Hujan pada musim hujan, akan berhenti pada: Jumat malam (Sekitar selepas pk. 20.00), Sabtu sore (sekitar selepas pk. 17.00). Dan akan dimulai lagi pada hari Minggu sore (sekitar selepas pk. 17.00).Tidak peduli bahwa hujan dengan intensitas tinggi selalu muncul sepanjang Minggu hingga Kamis setiap malam, langit Jumat dan Sabtu bisa dibilang relatif cerah ceria.

Kalau terjadi sekali sekali tentunya kebetulan belaka. Tapi kalau terjadi setiap musim hujan selama empat tahun? Rasanya ada kekuatan tersembunyi yang mampu mengatur ujan. Entah mistis entah science, tentunya ada kekuatan yang membuat dunia ghoib dan IPTEK mengikuti kehendak roda kapitalisme negara.

Ini baru ngomongin ujan. Selepas perayaan tahun baru warga Singapura berbondong-bondong balik ke stasiun MRT. Barikade dan pengaturan sudah dibuat guna menghindari injek-injekan. Jalur dibuat memutar berular. Controlled. Bagus, kan?

Tentu saja kontrol itu baik dan perlu. Bisa dibayangkan betapa nyebelinnya jika rencana melepas setres setelah satu minggu bekerja dengan nongkrong-nongkrong di kafe outdoor sepanjang Jumat malam, jadi batal gara-gara hujan. Atau semua juga tahu betapa ribetnya jalan-jalan di Orchard Road yang becek karena hujan di hari Sabtu sore yang padat. Kaki jadi belecetan comberan, belum lagi baju seksi jadi dekil kena daun terbang.

Atau siapa yang mau Sunday Brunch-nya dirusak hujan yang bikin gloomy dan moody? Kalau hujan turun di sore hari setelah semua orang pulang tentu bisa dimaafkan. Sekaligus agar sungguh semuanya bisa mempersiapkan diri untuk produktivitas di hari Senin.

Tentu saja, jadwal hujan yang ‘kebetulan’ tidak pernah mengganggu roda bisnis dan kesejahteraan warga adalah sesuatu yang indah dan patut disyukuri. Tapi mungkin yang terasa mengganjal adalah, do we need control in everything we do?
Apa enaknya hidup tanpa kejutan? Tanpa gerimis mengundang di malam minggu? Tanpa hujan yang turun tiba-tiba saat calon pacar berdiri di depan pintu dengan bunga tujuh rupa bak di film Korea? Mungkin rencana penembakan selalu berhasil sukses dengan prediksi cuaca 100 persen akurat. Tapi bagaimana dengan nilai romantisme yang mengiringi rencana penembakan tersebut?

Secara ‘kebetulan’ juga, Singapura baru saja mendapatkan ranking paling rendah dalam hal kebahagiaan hidup. Masyarakat Singapura dalam voting, memiliki tingkat optimisme paling rendah dan merasa paling tidak dihargai dalam hidup di dunia. Setingkat lebih rendah dibandingkan negara kaya perang, Irak dan Armenia.

Artinya, bahkan manusia yang terancam bom bunuh diri harian serta dijadikan korban perang perebutan minyak, merasa lebih punya harapan hidup dan merasa lebih dihargai dibandingkan mereka yang weekend-nya selalu bebas hujan.

Terlepas dari segala kekurangan dan keganjilan metode survey ini, sepertinya ada sebuah keganjilan lain yang dipertanyakan di sini. Ada berbagai teori tentang penyebabnya. Seorang jurnalis Singapur mengatribusikan pada pengalaman buruk bangsa sebagai ‘masyarakat kuli’ yang hidup susah di Cina daratan. Sepertinya mentalitas itu terbawa bahkan hingga mereka sudah bisa mempekerjakan masyarakat lain jadi kulinya.

Kalau gue, mencurigai si kontrol ini, yang meski baik, membuat negara rapi, cantik, tertib, bersih senantiasa, toh tidak membuat tahun baru gue lebih indah dibandingkan mereka yang menikmati car free night. Karena salah satu yang pasti kena kontrol adalah setiap individu dalam masyarakat yang jika perbuatan terkontrolnya diakumulasikan, akan menjadi satu masyarakat yang tertib dan menghasilkan lingkungan yang bersih dan rapi.

Dan siapa manusia, suka dikekang? Seperti cerita seorang teman yang punya bisnis mengedarkan lagu rohani yang kemudian ditelepon dengan pernyataan ‘kami tadinya menyadap kamu karena curiga kamu teroris, tapi setelah kami sadap, ternyata kamu bersih dan kami sekarang udah nggak menyadap lagi , ya..’

Penyadapan adalah salah satu bentuk kontrol yang membuat gue, warga negara lain, merasa lega karena teroris pasti nggak akan damai berkeliaran. Pernyataan pada sadap sudah dicabut juga mungkin membuat sang teman lega karena sudah nggak disadap. Tapi coba bayangkan betapa asemnya pikirannya ketika tahu ternyata selama ini dirinya ‘dikontrol’. We could do that!

Tapi back again, ini hanya hipotesa gue saja. Mungkin mayoritas orang memang suka dikekang, karena merasakan sungguh dampak dikekang. Dan full control memang dibutuhkan karena hakikatnya manusia adalah harus dikontrol. Karena seperti kata seorang teman, ‘cuma eloe doang sama Oknum R tuh yang nggak suka tinggal di Singapur! Yang lain mah hepi-hepi aja!’

*Dan respon kami adalah, ih banyak kali! Cuma pada nggak brani ngaku!’

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *