Takdir memang kejam. Of all other places…of all the time…dari smua kafe, rumah makan, pesta, silaturahmi…gue harus ditakdirkan untuk bertemu kembali dengan Mas Mantan di ruang tunggu DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN.
Damn it.damn it.damn it.damn it.damn it.damn it. Gue menyumpah dalam hati begitu menspot keberadaan mas mantan di posisi 5 bangku tunggu dari gue. Saat kunjungan dokter adalah masa paling un-glam dalam sejarah hidup gue. Ini adalah detik-detik dimana gue akan berusaha tampil sekucel mungkin, seharian tidak cuci muka agar semakin dekil untuk memberi beban moral kepada dokter gue. Dokter gagal! Muka saya belum bersinar! Try harder!
Biasanya jika kondisi penampilan kurang prima, gue cukup membenamkan wajah gue dalam buku yang gue bawa untuk mengisi waktu luang. Tapi hari ini, of all other books, gue sedang membaca buku self-help tentang memahami lelaki. (Sungguh, ini bukan buku gue! Tapi gue belum sempet membeli buku baru, sehingga asal menjambret buku yang sampulnya warna warni nge-jreng yang terdampar di lemari buku gue! Sungguh!)
Gue langsung diterjang dilemma. Semakin tinggi gue mengangkat buku gue untuk menutupi muka dekil gue, semakin jelas terbaca judul buku gue: HE’S JUST NOT THAT INTO YOU. Duh! Skalian aja pake tempelan di jidat: saya tidak laku! Terpaksa memekarkan jemari gue untuk menutupi judul buku sambil mengangkatnya tinggi-tinggi sambil semakin konsen membaca.
Seolah mengetahui kegalauan isi hatiku, bab yang sedang gue baca adalah He’s just not that into you if he’s breaking up with you. Bab ini membahas tata cara berhadapan dengan mas mantan. Menurut buku, gue harus menghadapinya dengan tegar dan percaya diri. Jangan pernah berharap lagi. Yang sudah ya sudah, masi banyak pria yang tidak ingin kehilangan kamu.
Rasa sentiment gue terhadap buku salah comot ini semakin menjadi-jadi. YAA…YAA..YAA…paham! Dasar buku tidak berguna! Ga perlu buku ini untuk memberi tahu bagaimana harus bersikap secara tepat. Gue cukup tau bahwa sikap mana yang bodoh dan mana yang akan menyelamatkan harga diri. Am smart enough to know that!
Atau..apa karena gue merasa cukup pintar gue malah terlihat bodoh dengan menghibur diri: I DON’T WANT HIM BACK!….. Right?
Gue jadi teringat temen-temen cewe gue yang sering banget gue cela2: guoblokkk! Meski mengaku cerdas dan tenar, banyak yang tetep tidak menunjukkan kemampuan meng-handle lelaki secara cermat. Ada yang rela jadi selingkuhan. Lalu ada yang setia menunggu janda si mantan pacar! Ada yang rela digantung bertahun-tahun, diperbabukan, dibohongi. Dan yang terakhir, ada yang bgitu paniknya menghadapi pria yang sudah tidak lagi peduli pada dirinya di ruang tunggu dokter.
Kalau dilihat, kami bukan termasuk kaum wanita dijajah pria sejak dulu… Sebaliknya, kami lulus sarjana dari skolah berakreditasi dengan prestasi bisa disesajarkan dengan laki-laki. Kami sudah dibekali pendidikan seks sejak SD kelas 6. Rata-rata aktif, punya pikiran yang kritis, pragmatis, berani, mandiri dan menjunjung tinggi emansipasi. Dan aku optimis…dengan karier kami, tanpa lelakipun kami bisa tetap hidup sehat.
Dari segi penampilan juga kami bukan yang pas-pas-an banget. Sebagian dari kami bahkan bisa meng-claim lebi cantik dari 60% perempuan di dunia ini. Istilahnya jika clubbing tanpa pasangan pastilah dapet kenalan satu dua semalam. Bukan congkak bukan sombong, (sombongpun kami anggap wajar, emang mampu sih!) tapi kamilah kaum yang disebut…eligible.
Tapi tetep aja, bahkan seorang penulis scenario Sex & The City, yang adalah wanita berbakat, cerdas, articulate, yang tentunya akan kita assume: ahli dalam hal hubungan, bisa curhat, “So there’s this guy I broke up with and we had sex again and it was great but he never calls me other than that, and I was thinking maybe he was just busy….”Kamu tahu..aku tahu..dia dipermainkan…
Apakah mungkin, justru karena kami eligible kami jadi sombong? Dan seperti di kasus manapun juga, kesombongan selalu berbuah ketakaburan? Sebagai perempuan yang berpendidikan, bertampang dan bermartabat, penolakan bukanlah hal yang akrab ditelinga. Sehingga akhirnya, It’s just doesn’t make sense kalau ada cowo yang just not that into us (atau dalam kasus gue: just not that into me..anymore!)
Daripada ditolak, kami lebih memilih mengkompromi segala aturan-aturan yang lain, asalkan tetap bersama. Never mind cowonya ga pernah ditembak, I love the freedom! Never mind cowonya uda punya istri…I’m too busy for a steady relationship anyway. Dan buat gue, I really mind penampilan gue dihadapan mas mantan. Meskipun semuanya sudah berakhir ratusan tahun yang lalu, tapi gue tidak akan sanggup menerima kalau gue sudah tidak sempurna lagi baginya. I can’t accept rejection. No..No…
Bahkan terkadang, lebih baik untuk mencari kambing hitam (termasuk diri sendiri) daripada menyadari bahwa some guys aren’t just for us. Dia ga suka saya yang egois…dia pergi karena saya mengabaikannya selama 3 tahun… Tanpa pernah terpikir jika seseorang bener-bener mencintai kita, he’ll make us become a better person and he’ll wait for that. Jauh lebih tidak memalukan untuk membuat alasan-alasan yang sangat wajar daripada menyatakan well…I AM attractive, but I can’t be attractive to everyone, and he just doesn’t find me attractive. (…anymore..anymore..anymore…).
Tahap selanjutnya, segala norma buatan baru dan alasan-alasan itu tiba-tiba menjadi kebenaran buat gue. Kesombongan telah menutup nurani gue sehingga sulit..ohh..sungguh sulit untuk jujur pada diri sendiri. Misal: ga masalah dengan hubungan tanpa status, I can be with whoever I want and so can he. But we still know our priorities. Lalu mulailah ter-internalisasi-kan: it’s fun, it’s carefree. It’s ideal. Terkadang memang itulah kejujuran, tapi terkadang kejujuran itu berkata: it sucks. It hurts.
Menatap mas mantan di ujung ruangan, gue menghitung dalam 30menit ini saja, berapa banyak gue membohongi diri gue. Satu…Gue bilang ke diri gue sendiri, I want to look great because I want him to regret what he has missed. Kejujuran yang menyakitkan: guelah satu-satunya orang yang menyesal telah menolak pria yang setia menanti gue selama 3 tahun. Dua…Gue membaca buku He’s Just Not That Into You dan berkata buku ini cuma untuk perempuan jajahan siti nurbaya. Kejujuran yang menyakitkan: Gue telah melakukan skitar 90% dari kebodohan-kebodohan wanita dalam buku tersebut. Tiga…he can’t hurt me anymore, I was the one who dump him for another guy and another guy for another guy! Kejujuran yang menyakitkan: Yes! Of course it hurts! How could you just move on! Eloe! yang pake acara macem katakan cinta di depan satu skolah! Semua atas nama menolak rasa ditolak yang hinggap dalam hati.
MARGARETA ASTAMAN! Lamunan buyar, usaha kamuflase hancur ketika Mbak suster memanggil menandakan giliran gue diperiksa sudah tiba. Sekilas seluruh mata (yap! Termasuk mata mas mantan) mengarah ke gue…
“Margy, kan!”
Nyureng-nyureng dikit, mata menyipit, pura-pura ga inget…”Ehh! halo…Sorry..duluan ya…”
Maaf..kebiasaan menjaga gengsi memberikan reflex untuk pura-pura ga inget untuk mengisyaratkan, kamu ga penting..lagi! Dadaaaa…