“Loe kenal sama pasangan yang nikah gara-gara cinta, nggak Gy?”
Pertanyaan menohok itu diajukan di tengah padatnya tempat duduk yang tersusun saling menempel dalam sebuah kafe yang buka 24 jam. Gumpalan asap rokok yang mengepul dari hampir semua pengunjung, menciptakan awan putih yang menyesakkan, seolah menambah berat pertanyaan yang baru diajukan.
Gue berpikir sesaat lalu mengangkat wajah gue dari botol bir yang sedang gue putar-putar itu. Seperti biasa, teman yang patah hati, gue yang mabok. Semacam penyaluran emosi dari satu individu dan dihempaskan lewat gue.
“Not much from my circle of friend,” gue menggumam menjawab, lalu kembali meluruskan tatapan pada meja penuh bercak yang tidak sempat dibersihkan setelah pengunjung sebelum kami.
Not from my circle of friends, gue mengulangi lagi jawaban gue. Alangkah mengkhawatirkannya. Jawaban seperti itu hanya muncul dari dua kondisi: 1) temen gue jarang ada yang udah nikah 2) Sangat sedikit mereka yang menikah karena cinta karena ketika kenal dekat, terlihatlah borok-boroknya.
Seperti pasangan yang memicu pertanyaan sulit malam ini. The Royal Couple, begitu kami mengenal mereka. Yang pria adalah investor dari negeri seberang. Tampan, cerdas, sudah pasti kaya raya. Yang perempuan, punya bentukan bak model-modelan. Macam Anggun yang pulang dari Perancis. Seorang co-founder sebuah perusahaan yang sedang berkembang lucu-lucunya.
Pernikahan mereka dilangsungkan meriah di dua kota, Jakarta dan Bali. Ratusan undangan menghadiri pesta tersebut. Namun di after party, mempelai wanita menangis tersedu-sedu. He’s not the one, katanya. Menyatakan penyesalannya menyerah pada keadaan.
Teman-temannya hanya mampu menghibur. Ya udah lah, mau diapain lagi, kata mereka. Setahun setelah pernikahan, foto kebahagiaan mereka bersama bayi lucu yang manis masih menghiasi media-media nasional. Namun jika ditanya, sang istri masih menjawab, he’s still not the one. But I have no courage to cut it off.
Lain lagi dengan seorang kenalan. Menikah dan tidak menikah, yang membedakan hanya cincin di jari manis. Selingkuh masih sama seringnya. Pulang ke rumah masih sama jarangnya.
Alasan ia kemukakan dengan senyum menggoda, I’m not a marrying kind, ujarnya sambil menjelaskan betapa ia adalah manusia berjiwa bebas yang ingin hinggap di dahan manapun. Cinta? Of course I love her, and if this piece of paper can make her feel happy and secure, I don’t mind giving it to her.
Sisanya, tentu saja banyak pasangan yang pamer selfie foto bahagia di berbagai foto dan kesempatan. Namun balik lagi, gue tidak cukup dekat dengan mereka sehingga mereka akan membagi kisah dibalik senyum itu. Sedangkan yang cukup dekat, lalu akan membeberkan hal yang senyata-nyatanya, yang membuat pasangan royal couple jadi nggak so royal.
Lantas, apa dong alasan mereka menikah kalau bukan karena cinta?
3 dari 4 pria yang jadi peserta riset kami menjawab: karena pernikahan sudah menjadi sebuah tujuan hidup di Indonesia, sehingga salah, sangat salah, jika seseorang yang normal memutuskan untuk ingin tidak menikah. One day, they MUST get married. Dan kalau buntut-buntutnya seperti itu, kenapa tidak hari ini saja? Biar beres.
Banyak yang lalu terjebak fenomena ‘pop culture’ mengutip istilah istri seorang kenalan. Tahu bahwa pasangannya dipuja banyak orang, merasa ya ini lah the one, buruan digarap. Tapi ternyata setelah punya, ah, nggak segitunya, lalu hidup menjadi hambar.
Kalau sudah begini, bener-bener ketemu the ONE, menyesal nggak? Ya nyesel. Sekarang juga sudah nyesel, demikian mereka mengakui, menyatakan selingkuhan dan mantan pacar ternyata lebih indah dari istri sendiri. Tapi kalau bener ketemu, kalau kagak?
Being unmarried is just not an option. Meskipun ternyata kehidupan pernikahan terasa lebih seperti neraka dengan istri yang menelpon 15 menit sekali karena tahu suaminya punya kecenderungan selingkuh.
Tapi bukannya memang seperti itu sudah lama? Berapa banyak orang tua yang menikah karena cinta, bukan karena dijodohkan atau, well, sudah cukup umur? Kenapa sekarang jadinya masalah dan menimbulkan begitu banyaknya ketidakbahagiaan?
Gue menyimpulkan, karena sebanyak ide-ide kuno bertahan dan menguasai masa kini, hidup sudah berubah. Ada lebih banyak opsi, lebih banyak kesempatan, lebih banyak idealisme.
Selepas kemerdekaan Indonesia dan pasca G30SPKI, hidup manusia yang lahir di negara ini boleh dibilang lumayanan. Cungpret Masyarakat kelas menengah macam gue ini makin banyak jumlahnya. Kami adalah mereka yang pinter-pinter banget juga enggak, kaya-kaya banget juga enggak, tapi menikmati pendidikan cukup dan bisa kerja tanpa terpaksa.
Artinya, angkatan ini diberi keleluasaan untuk memilih pekerjaan bukan hanya sekadar butuh makan, tapi yang memberi kepuasan batin. Tidak seperti jaman penjajahan di mana orang harus kerja paksa, atau kemudian harus kerja, kami bisa milih kerja yang disuka.
Kebahagiaan, jadi nilai yang valid untuk diperjuangkan. Kalau kerja aja harus bahagia, apalagi pernikahan. Akhirnya, kemungkinan merasa tidak puas dalam sebuah pernikahan menjadi semakin besar.
Keadaan ini diperburuk dengan besarnya kesempatan ‘mencari kebahagiaan yang hakiki’ di masa ini. Ada internet, jejaring sosial, aplikasi chatting untuk memfasilitasi perbandingan dengan hubungan lain. Ada fortune, Delta, Alexis untuk memfaslitasi perbandingan dengan hubungan (badan) yang lain.
Yang perempuan juga nggak kalah banyak godaannya. Ada kantor, ada girls nite out, ada arisan, ada lebih banyak akses untuk bertemu dengan orang lain, membuka hubungan yang baru, dan…merasa (lebih) bahagia.
Gawat dong Gy.. Bagaimana cara menghindari pernikahan tanpa cinta yang tidak membahagiakan? Teman bertanya resah.
Ya makanya jangan buru-buru! Gue menjawab spontan, membuat beberapa kepala menoleh penasaran. Yang gue amati, sekelumit dari mereka yang menikah lebih cepat, dan merasa bahagia adalah mereka yang punya pemikiran lebih sederhana. Lebih nggak banyak mau atau minta, lebih nggak idealis. Sehingga mereka juga mudah merasa cukup.
Sedangkan pasangan yang macam gue ini, yang punya cita cita ini itu, ketika menikah terlalu cepat, akhirnya malah berakhir mutung. Sebagiandari teman-teman yang sudah menikah di usia normal 20an kini sedang proses cerai atau menjalankan pernikahan kedua.
Sebagian sisanya, sedang menikmati perselingkuhan dengan orang-orang yang baru mereka temui di usia yang lebih matang. Atau dengan orang lama tapi ketemu lagi setelah lebih dewasa. Yang ketiban sial adalah mereka yang punya pikiran sederhana namun menikah dengan mereka yang pikirannya kompleks. Akhirnya tetep nggak ada yang bahagia.
Why don’t we give love some time? Kalau memang rasanya belum ketemu ya jangan dipaksakan. Kalau memang belum siap ya jangan disiap-siapin.
Seorang mantan pacar pernah mencetuskan melihat fakta teman-teman kita yang ternyata sudah menikah banyak yang bercerai. Untung ya, dulu kita nggak kawin, kalau iya, kita pasti sekarang udah cerai. Yang langsung gue jawab dengan tawa, Bro, kita pacaran aja putus, gimana kawin!
Sebuah pernyataan yang membawa gue flashback. Apakah ada yang salah dengan hubungan itu? Enggak juga. Aman-aman aja sih, we may insist harder and get married. Tapi ternyata, nothing wrong is not enough. There has to be, something really right.
Kini gue justru mengapreasiasi keputusannya mundur kabur tunggang langgang. A few people have the gut to propose to get married, and there are even fewer who have the gut to cancel off a bad marriage.
And I don’t think there should be a deadline for this. Setiap orang punya perkembangan mental yang berbeda-beda. Some might be ready at 20, some might be ready at 30, some might be ready at 50. Seperti seorang tetangga yang menikah di usia 57 tahun, dan bahagia.
Lalu bagaimana jika kesiapan itu tidak pernah datang? Bagaimana jika kita nggak pernah ketemu? Well, here’s where the problem is in our thinking. Karena masyarakat selalu meyakini bahwa menikah lebih baik daripada tidak menikah, apapun kondisinya.
What if my idea about growing up is not about husband and children? Bagaimana kalau definisi bahagia gue adalah hidup berkecukupan dikelilingi teman sejati tanpa menyesaki dunia ini? Apakah tidak sebaik kalau gue menikah lalu menyeret orang lain untuk berduka bersama gue yang saat ini masih nonkomital?
Ah itu kan sekarang, nanti pas tua juga nyesel. Tapii..apa bedanya? Menyesal nanti setelah tua karena ternyata ingin nikah, dibandingkan menyesal sekarang karena menikahi orang yang tidak dicintai?
Tentu saja, gue yakin, pasti ada banyak pernikahan dilandasi cinta di dunia ini. Suka sama suka. Bahagia dunia akhirat. Hanya saja, saat ini gue mungkin lupa. Oh, tiba-tiba gue inget.
“Ada bro!” Gue menjawab lantang, “oom tante gue!” Gue lalu bercerita tentang oom dan tante, pasangan yang bertemu di era agresi militer Belanda yang kedua.
Si tante adalah anak residen Belanda di Bandung. Oom, Cina-pribumi. Karena perbedaan latar belakang, mereka pun berpisah. Tante dinikahkan sama orang Belanda asli. Oom mengejar tante ke Belanda, dan tinggal di dekat pasangan tersebut seumur hidupnya.
Pernikahan pertama tante bahagia. Suaminya luar biasa baiknya, dan cukup berada. Hingga akhirnya suaminya meninggal karena kanker, dan Oom-Tante akhirnya bersatu di usia ke-50. Kini mereka hidup bahagia keliling dunia.
“Gy, nggak ada yang lebih cepetan dikit?”
“Itu cepet kok! Di pernikahan pertama tante gue juga bahagia! Itu foto almarhum suaminya masih disimpen di kamar tidur.”
“Maksud gue, nggak ada contoh yang lebih mudaan dikit? Yang era reformasi kek, masa jaman penjajahan banget nih!”
Gue nyengir, “ntar ya, gue pikir-pikir dulu,” lalu meneguk tetes terakhir dari botol bir di tangan. Pemikiran yang terlalu berat untuk sebuah akhir pekan!