Momment Alz-Vous
Kok gue ga ngerti ya? Gue melongo sambil meneliti croissant dengan deskripsi demikian di sebuah gerai roti ternama di Jakarta. Sembari membayar gue terus memikir-mikir. Kedengerannya Perancis, tapi kok gue ga pernah denger? Klo Inggris, lebih ga pernah denger lagi…
Kalimat broken English-broken French itu terus menerus menghantui gue bahkan setelah croissantnya tak lagi di mata. Naluri membawa gue untuk ingin sekali kembali ke toko roti tersebut dengan spidol merah, mencoret-coret dan melingkari serta meralat. Genjes!
Seolah menjadi ‘English-day’, di hari yang sama gue terpaksa menguping (habis mereka ngomongnya dengan semangat berbagi sama satu cafe), sekelompok remaja yang dengan riuh menggunjingkan Mercy, Jack Daniel’s, dan soundsystem dengan Bahasa yang nampaknya mendekati Bahasa Inggris. Setiap kali mereka bicara, gue menggumam meralat dalam hati.
Sumpah. Jangankan bahasa Perancis, Bahasa Inggris gue pun jelek. Gue cukup bernafas lega berhasil lolos dari fakultas jurnalisme di luar negeri tepat waktu. Bagi gue, semua itu adalah kombinasi taktik mencari pelajaran yang memungkinkan kelulusan, teknik menghindari guru-guru yang kritis grammar, dan keberuntungan, lots of it. Kalau waktu berulang, gue tidak akan mengambil jurnalisme dalam bahasa Inggris. Gue tidak yakin akan beruntung kali ini…
Jadi bukan, sungguh bukan kemampuan berbahasa Inggris (atau Perancis) warga Indonesia yang tidak merata yang membuat gue merasa terganggu. Gue paham dan menghargai, tidak semua orang mempunyai akses ke kursus Bahasa Inggris serta program pertukaran pelajar ke Amerika. Juga tidak semua orang tinggal di Kuta Bali.
Tapi yang mengusik hati gue adalah: Kenapa sih, jika memang tidak tinggal di Kuta Bali, jika memang tidak menguasai secara baik, dan jika tujuannya berkomunikasi dengan rekan sebangsa agar dimengerti, kenapa sih harus tetap maksa memakai bahasa tersebut? Emang jelek banget ya pakai Bahasa Indonesia aja? Emang nulis pake broken English jauh lebih keren daripada nulis pake EYD ya?
Ini bukan masalah nasionalisme. Gue pun pernah merutuki lahir dan besar di Indonesia, sehingga mengalami kesulitan ganda ketika memasuki kancah persaingan global. Menyesali mengapa orang tua gue tidak berpikiran selangkah lebih maju dengan menyekolahkan Margie kecil yang tak berdosa ke sekolah internasional.
Tapi mungkin gue sudah cape menolak nasib. Ternyata, tidak ada seorangpun manusia yang bisa menguasai dua bahasa secara sama baiknya, termasuk gue. Sepandai-pandainya kemampuan bilingual seseorang, pasti akan ada satu bahasa yang lebih dipilihnya dari yang lain. Bahasa yang digunakan ketika ia ingin berekspresi secara penuh. Bahasa dalam mimpi dan mengigau. Kebanyakan adalah mother tongue, atau kadang bahasa pergaulan sehari-hari.
Dan kalau ternyata bahasa itu cuma Bahasa Indonesia, si bangsa tempe yang kurang eksis ini, bisakah gue mengubah keadaan? Lebih jauh lagi, perlukah gue mengubah keadaan? Lebih penting mana? Dimengerti oleh mereka atau kita?
Setelah melihat nasib anak kecil tak berdosa lainnya yang dulu disekolahkan di TK Internasional, gue merasa, untuk seseorang yang tinggal di Indonesia, gue lebih beruntung. Gue tidak pernah mengalami pusing-pusing saat membaca soal cerita berhitung (meski tetap pusing saat menjawabnya). Tidak ada yang berani mem-bully gue dengan kata-kata karena gue akan cepat membalas dengan pantun-puisi yang lebih pedes. Juga tidak ada pedagang kaki lima yang berani mengetok gue karena tergagap saat tawar-menawar.
Lagian bahasa ini gak jelek-jelek amat kok. Jika ditilik, perbendaharaan diksinya luar biasa luas, juga terus berkembang seiring jaman. Coba lihat khazanah sastra dalam negeri. Haruslah diakui gue sangat menikmati tulisan Dewi Lestari, dan dalam hati menghina Cinta Laura yang tidak bisa menikmatinya seperti gue.
Dan jangan lupa, dengan kemampuan bereproduksi yang sangat menakjubkan dari rakyat Indonesia, Bahasa kita termasuk salah satu yang paling banyak digunakan di dunia. Memang tidak pernah masuk survey karena londo di luar sana yakin bahwa orang Jawa hanya bicara bahasa Jawa dan tidak Indonesia. Tapi orang suku Tengger tetep paham kok pas gue nanya jalan.
Coba juga tempatkan diri kita di posisi bangsa lain. Kita aja benci idup mati mendengar Cinta Laura dengan Broken Indonesian-nya. ? Bayangkan betapa dendamnya para bule karena bahasanya disalahgunakan habis-habisan? Apa kita nggak kasihan sama orang Inggris?
Setiap bahasa adalah warisan budaya. Di dalamnya ada tradisi dan jendela akan kehidupan sebuah masyarakat. Makanya, jika menggunakan bahasa orang, alangkah baiknya jika diterapkan dengan benar, sebagai penghormatan terhadap identitas bangsa tersebut.
Gue paham, sebagai warga dunia, kita hendaknya saling berkomunikasi dalam bahasa universal, yang kini statusnya dipegang Bahasa Inggris. Dan dalam berlatih, Ga ada noda ga belajar. Semakin banyak menggunakan, semakin banyak salah, semakin cepat bisa. Para turis bule, sahabat dekat dan guru bahasa Inggris memang tidak keberatan kita latihan bersama mereka.
Tapi rasanya seorang manusia akan bisa lebih berkontribusi lebih pada dunia jika ia dipahami oleh ratusan juta orang daripada tidak sama sekali. Dan gue rasa kita paling bisa dipahami jika berekspresi dengan bahasa yang paling nyaman kita gunakan, bahkan jika ternyata bahasa yang nyaman itu cuma bahasa Indonesia.
Jika ratusan juta orang itu sudah paham, ratusan juta yang lain dapat dengan mudah disentuh. Haruki Murakami tidak pusing-pusing menulis dengan bahasa asing. Ia menuliskan semuanya dengan bahasa Jepang dan membiarkan para penerjemah bekerja keras menyadur karyanya.
Tentunya disini tetaplah berlaku aturan, If you have it, flaunt it! khalauw thernyatha khitha phaling nyaman pakhai bhahasya Inggries, or…Pranchies, gue akan senang-senang saja ditanya kabarnya dengan berkata: Comment allez-vous?