“Kenapa beli mobil sih, Mar?” seorang teman bertanya heran ketika melihat pembelian impulsif gue.
“Mau jawaban yang pendek apa panjang?”
“Pendek aja.”
“Ya udah, gue suka mobilnya,” jawab gue pendek.
“Hah?”
Ini highlight akhir tahun gue. Maklum. Mobil itu gue beli di akhir tahun. THR juga belum turun. Di tengah bulan-bulan nanggung itu siapa yang kepikiran beli mobil baru. Apalagi gue juga bukan orang kaya yang bingung cara menghabiskan uang.
Tidak ada yang salah juga dengan UGE, si mobil lama. Biarpun umurnya sudah 5 tahun, kilometernya belum mencapai 50.000. UGE memang jarang dipakai ke luar kota. Lagipula, keperluan menyetir gue cuma sekadar apartemen-kantor yang sejarak satu halte busway saja.
Kalau ditanya alasan sebenarnya, adalah karena suatu hari gue datang ke sebuah acara. Ketika melihat acara tersebut, gue berpikir, daripada gue mengeluarkan uang untuk membuat acara yang sedemikian, mendingan duitnya buat beli mobil baru.
Tentu saja gue menemukan banyak hal yang bisa dimiliki dibandingkan menggelar acara yang sedemikian. Tapi memang ‘beli mobil’ ada pada peringkat teratas pengeluaran yang lebih worth it.
Sepulangnya dari acara tersebut, gue menelpon si mamih menyatakan niatan gue membeli mobil baru.
“Emang ada duitnya?”
“Ada.”
“Yang lama buat mami pake?”
“Ya boleh.”
“ya sudah, beli aja”
Keesokannya gue mendatangi sebuah dealer mobil dan men-DP mobil tersebut. Setelah drama bramakumbara bahwa ternyata jenis mobil tersebut baru akan masuk ke Indonesia bulan Febuari dan orang-orang gila-gilaan menaikkan DP, hingga harganya mirip mobil setingkat di atasnya, gue menarik DP dan pindah dealer beli mobil lain.
Saat itu sudah beberapa bulan dari booking pertama dan tentu saja gue bisa membatalkannya jika gue mau. Tapi sudah kadung niatan, maka mobil tetap gue beli. Dan kini, gue mengendarai mobil yang akan selalu mengingatkan gue pada acara yang gue hadiri tidak lebih dari 15 menit saja.
Ini bukan keputusan impulsif pertama yang gue ambil nggak pakai mikir panjang. Pernah tahu alasan utama gue mau sekolah di Singapura? Sesederhana bahwa seorang pemuda yang gue taksir punya cita-cita bersekolah di sana.
Mengingat Singapur kecil, lagipula orangnya juga nggak banyak yang cakep, gue pikir gue akan punya kans lebih besar merebut lagi hati pemuda ini. Ide brilian ini kemudian terpupus begitu saja saat gue diterima, dan dia tidak. Worst, kenyataan ini malah membuat beliau semakin minder, merasa gue pintar, dia tidak. Nggak tau aja, gue juga sebenernya nggak lulus tes, tapi karena gue pandai membual mengarang, gue diterima di jurusan teknik setelah meyakinkan dosen bahwa gue selalu bermimpi kuliah teknik sipil.
Gue menghabiskan satu tahun pertama gue di Singapura dengan penuh amarah, mempertanyakan mengapa gue harus kuliah di sini.
Selain dua keputusan ini, tentu saja ada banyak keputusan penting life changing experience lainnya yang gue ambil, tanpa pemikiran yang matang. Kalau pilih universitas dan menghabiskan dana darurat aja gue terbawa nafsu sesaat, apalagi keputusan lain yang lebih sepele.
Entah berapa kali gue mendadak liburan karena kepikiran aja. Kemarin gue ke Singapura gara-gara sewot lihat tiket ke Jogja yang melambung tinggi. Ih daripada ke Jogja mending ke Singapur, lupa bahwa tujuan kedua destinasi tersebut berbeda. Gue tetap ke Jogja minggu depannya.
Menyesal? Oh tentu saja. Sering. Selalu. Keputusan tanpa pikir panjang itu biasanya akan menyisakan berbagai masalah yang timbul tanpa diperhitungkan sebelumnya.
Seandainya gue tidak pakai acara beli mobil baru, gue bisa menggunakan uangnya untuk investasi lebih besar di usaha yang sedang gue jalani ini. Gue nggak perlu ragu langsung sewa gudang segede-gede gaban, lalu nyogok bea cukai sana-sini.
Ada juga banyak hal yang gue rasa akan jadi berbeda, seandainya gue tidak berkuliah di Singapura. Jodoh misalnya. Atau setidaknya gue akan punya lebih banyak teman, punya kehidupan remaja yang lebih normal, penuh sosialisasi dan aktivitas yang positif. Atau malah sebaliknya. Bisa juga.
Namun entah karena gue sudah terlalu sering asal memutuskan, entah karena sudah kebal, gue tidak pernah sungguh-sungguh meratapi dampak keputusan yang gue ambil.
Penyesalan terhadap si mobil baru hanya bertahan ketika tabungan gue dipotong paksa di saat pembayaran. Begitu mulai kebut-kebutan di jalan, segala duka lara gue langsung hilang. Uang bisa dicari, tapi kebahagiaan tidak. Jelas sekali mobil ini terbukti lebih baik daripada menggelar acara yang belum tentu membuat gue bahagia itu.
Sebanyak gue merutuki masa muda gue yang direnggut Singapura, gue juga tidak bisa membayangkan bagaimana hidup gue jika tidak berkuliah di sana. Gue mungkin tidak akan menemukan kesenangan aneh ketika menulis, karena sibuk dengan pilihan karir menjadi insinyur.
Sometimes, you just have to let life perform its magic. Untuk membiarkan takdir memberi kejutan, yang manis maupun yang benar-benar mengejutkan. Mempunyai hidup yang terencana dan terkontrol memang pasti menyenangkan. Segala konsekuensi negatif bisa dihindari atau setidaknya ditanggulangi. Tapi ah, apa serunya hidup yang demikian?
Membiarkan hidup mengalir dan mengizinkan takdir menggiring jalan, kadang membuat gue bisa menemukan kejutan manis di sudut tikungan. Seburuk apapun konsekuensinya, toh berdasarkan pengalaman gue, tetap dapat diatasi.
Seperti kata Oknum R ketika gue meratapi embargo ekspor yang tiba-tiba muncul, “aduh Margie, emang kenapa sih kalau kita gagal? Ya udah, kita tutup toko, loe balik lagi ke kerjaan loe yang sekarang, cari bisnis yang lain.”
Lagipula, seberapapun hebatnya seseorang merencanakan kehidupannya, toh pasti juga akan ada kejutan yang muncul di tengah-tengah. Kejadian yang terjadi tanpa diduga, oleh keputusan yang maha kuasa. Dan ketika kejutan itu muncul, gue berharap gue jadi lebih siap menghadapinya, karena sudah kebiasaan santai menghadapi konsekuensi tak terduga.
Itulah sebabnya mungkin gue tidak pernah kapok, bahkan kadang sengaja, untuk tidak terlalu banyak mikir saat mengambil beberapa keputusan. Rugi. Sudah mikir banyak-banyak, toh tetap akan ada ruang untuk menyesal. Mending dipasrahkan saja dan diterima dengan hati lapang.
Terlalu banyak kesempatan, terlalu banyak keseruan, terlalu banyak orang-orang menyenangkan, yang lewat saat gue masih mikir. Meski tentu saja, ada banyak kesempatan, keseruan, dan orang-orang menyenangkan yang juga tidak jadi lewat gara-gara gue terlalu gegabah, tapi karena gue nggak tau, nggak pernah gue sesali.
Dan metode seperti inilah yang akhirnya membawa gue pada pilihan banting setir karir. Kadang, saat berada di konferensi buah-buahan, atau saat mengurus phytosanitary di terminal kargo, gue bertanya-tanya sedang apa gue di sana dan kok bisa gue ada di sana.
Semuanya kan berawal dari bualan kami bahwa Indonesia adalah lahan penuh kesempatan dan kita bisa jual APA SAJA, dan herannya, ada yang percaya, lalu beli.
Ah tapi, tanpa usaha ini, mana pernah gue menyadari berapa banyak ilmu yang bisa gue dapatkan dari para petani, supir truk dan petugas karantina. Lagipula, kalau ada di usaha ini, gue bisa memakai mobil gue untuk keliling puter-puter area offroad, lumayan, keputusan gegabah gue, bisa berguna di keputusan gegabah lainnya!